Normalnya saya mengharapkan kondisi studio yang tenang saat menonton, namun sekali waktu ada pengecualian. Misal di film MCU. Sorak sorai bercampur tepuk tangan meriah para penggemar justru dicari demi pengalaman teatrikal yang maksimal. Tapi tidak pernah terbayang pengalaman serupa bakal dimunculkan oleh sebuah film bertema perselingkuhan yang diangkat dari kisah nyata viral di Tiktok.
Tontonan macam Ipar Adalah Maut tentunya bukan barang baru di perfilman tanah air. Layangan Putus misalnya. Sama-sama bertema perselingkuhan, pula hasil adaptasi konten media sosial. Tapi belum ada yang digarap sekuat kisah yang awalnya diviralkan oleh Eliza Sifa (berdasarkan cerita pengikutnya) ini. Setiap teriakan serta caci-maki yang terdengar di studio bukanlah bentuk gangguan, melainkan luapan emosi yang mewakili isi hati.
Entah kebetulan atau ada alasan lain, suami tak setia di film ini pun bernama Aris (Deva Mahenra). "Mas Aris", begitu ia dipanggil dengan penuh kasih sayang oleh istrinya, Nisa (Michelle Ziudith). Citra Aris memang begitu sempurna. Seorang pria soleh, suami penyayang, ayah penuh cinta, sekaligus dosen teladan.
Kesempurnaan tanpa cela justru semestinya meninggalkan rasa curiga, tapi Nisa terlanjur menaruh rasa percaya kepada Mas Aris. Alhasil, ketika sang ibu (Dewi Irawan) meminta Nisa memperbolehkan adiknya, Rani (Davina Karamoy), tinggal di rumahnya selama berkuliah, ia langsung setuju. Nisa si perempuan religius melupakan perkataan Rasulullah yang diriwayatkan sebuah hadis: "Ipar adalah maut".
Kita semua tahu Aris bakal berselingkuh dengan Rani. Bukannya melucuti kesenangan saat menonton, pemahaman itu malah menambah daya hibur. Pasalnya, naskah buatan Oka Aurora (Ayah Mengapa Aku Berbeda?, Strawberry Surprise, Layangan Putus) jeli menyelipkan baris-baris kata yang mengandung "petunjuk" mengenai perselingkuhan yang bakal terjadi. Setiap ada kata semacam itu terdengar, seisi studio langsung kompak menggerutu, mengeluhkan kepalsuan Mas Aris.
Begitu juga terkait alurnya yang mengikuti formula ala drama opera sabun yang super dramatis. Sekali lagi, pemahaman akan formula tersebut mendorong penonton menantikan tibanya berbagai momen khas genrenya (salah satunya saat Nisa menangkap basah sang suami). Ketika momen-momen itu akhirnya datang, eksekusinya memuaskan.
Di kursi sutradara, Hanung Bramantyo paham betul tipikal film seperti apa yang target pasarnya mau. Alurnya bergerak dalam tempo cepat tanpa basa-basi, sementara pengadeganannya serba gamblang apa pun emosinya, didukung oleh kemegahan di segala sisi, dari tata musik hingga sinematografi.
Di antara jajaran pemain, Michelle Ziudith adalah yang paling berhasil memunculkan semangat yang sama. Apalagi saat Nisa mengonfrontasi Aris terkait perselingkuhannya. Seolah belajar dari kitab akting ala "Golden Age of Hollywood", Michelle tampil eksplosif, melontarkan teriakan diiringi ekspresi serta gestur serba "besar".
Ipar Adalah Maut berhasil menghibur lewat segala lini, termasuk humor yang dimotori Susilo "Den Baguse Ngarso" Nugroho sebagai Junaedi si dosen penyuka tebak-tebakan garing, Devina Aureel sebagai Manda yang merupakan teman terdekat Nisa, hingga penampilan singkat dari Asri Welas.
Tapi walau berstatus popcorn cinema, film ini menolak bersikap bodoh. Perspektif naskahnya dalam memandang perselingkuhan cenderung berimbang, termasuk dengan ketiadaan cap "pelakor" bagi perempuan yang terlibat perselingkuhan. Ipar Adalah Maut membuktikan bahwa masih ada ruang bagi peningkatan kualitas di tipikal film seperti ini.
rame euy satu bioskopp
BalasHapusagak kurang/lemah di pemahaman "why" nya sihh menurut saya
BalasHapus