Beberapa film dibuat secara asal-asalan, ada yang dibuat dengan tujuan "menyelesaikan pekerjaan", tidak sedikit pula yang digarap dengan upaya terbaik. Tapi cuma segelintir film yang begitu ambisius, ia dibuat sembari membawa misi untuk menjadi yang terbaik. Nomor satu. Hearbtreak Motel selaku adaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa masuk golongan terakhir.
Kisahnya menyoroti Ava Alessandra (Laura Basuki) si aktris ternama yang terjebak dalam hubungan toxic bersama kekasihnya, Reza Malik (Reza Rahadian). Reza juga seorang aktor. Keduanya bertemu di lokasi syuting, dan Ava segera terpikat pada kebaikan Reza yang selalu menemaninya menghadapi serangan panik. Sayangnya Reza segera menunjukkan wajah yang berbeda.
Sekilas terdengar sederhana, sampai kita dihadapkan pada penceritaan dari naskah buatan sang sutradara, Angga Dwimas Sasongko, bersama Alim Sudio, yang mengusung gaya non-linear. Terdapat tiga linimasi yang rutin beririsan: masa kecil Ava saat mendapati tindak kekerasan sang ayah kepada ibunya, potret hubungannya dengan Reza, dan terakhir adalah keping cerita yang paling memancing penasaran, yaitu saat Ava bekerja sebagai petugas kebersihan hotel dan berkenalan dengan salah satu tamu, Raga Assad (Chicco Jerikho).
Mengapa Ava mendadak beralih pekerjaan? Kapan tepatnya peristiwa itu terjadi? Teknik non-linear milik naskahnya terbukti efektif memancing rasa penasaran melalui segudang tanya, sebelum kemudian melempar beberapa kejutan tak terduga. Bukan sekadar untuk gaya-gayaan, sebab cara tutur itu berfungsi memburamkan batasan antara fiksi dan realita.
Pasalnya, seiring waktu sebagai aktris, Ava kerap mendapat peran seorang perempuan yang berurusan dengan laki-laki yang cuma tertarik menjadikannya hiasan. Sebatas tantangan untuk ditaklukkan. Nyatanya realita hidup sang aktris tidak jauh beda. Hanya saja, tidak seperti karakter-karakter peranannya, Ava cenderung pasrah. Seolah di realita, tanpa arahan sutradara dan panduan naskah, ia tidak tahu ke mana mesti melangkah.
Selain perihal penceritaan, ambisi Heartbreak Motel juga terpancar dari teknisnya. Orkestra megah gubahan Abel Huray menemani pameran tata kostum dan artistik yang terkadang membuat film ini tampil bak makjang (genre drama Korea) berbiaya mahal. Tapi tentu yang banyak dibicarakan adalah pemakaian tiga kameranya, yaitu digital, 35mm, dan 16mm.
Serupa eksplorasi naskahnya, keputusan Angga memakai tiga kamera pun bukan gaya-gayaan semata. Masing-masing kamera dengan ciri gambar masing-masing (16mm paling grainy, digital paling jernih, 35mm ada di antaranya) mewakili dinamika psikis si protagonis.
Dinamika tersebut kemudian dihidupkan dengan begitu emosional oleh kepiawaian Laura Basuki mengolah rasa, didukung Chicco Jerikho lewat karismanya, juga Reza Rahadian yang sukses melahirkan figur yang dengan senang hati dibenci oleh penonton. Bahkan Sita Nursanti sebagai Dahlia, salah satu karyawan di hotel tempat Ava bekerja, mampu mencuri perhatian meski dengan porsi terbatas.
Bagi saya kisah Ava di hotel memegang dampak terbesar. Hotel merupakan titik persinggahan. Sebuah "di antara", sebelum seseorang melanjutkan perjalanannya. Ketika akhirnya Ava memutuskan melanjutkan perjalanan hidupnya pasca singgah sejenak di hotel tempatnya merangkai keping-keping hati yang runtuh, film ini pun mencapai puncak emosinya.
wow, apakah Laura Basuki layak dapat nominasi Citra lagi melalui film ini?
BalasHapusRating 7/10.
BalasHapusAgak terganggu dgn penampilan Chiko sih, kurang rapi saja menurutku. Agak urakan penampilannya, apa memang seperti itu di novelnya. Padahal di posternya agak rapi