Serupa judulnya, karya penyutradaraan terbaru dari Edwin ini adalah sesuatu yang berkabut. Penuh ketidakpastian, mengaburkan fakta, menolak memberi jawaban gampang, tidak hanya terkait misteri pembunuhan yang protagonisnya mesti pecahkan, pula soal hal yang lebih besar dan jahat, yakni sisi kotor negeri ini beserta setumpuk sejarahnya. Belum ada film Indonesia semacam ini, setidaknya di era modern.
Pulau Borneo yang membatasi Indonesia dan Malaysia menjadi panggung serangkaian kematian misterius. Di kasus pertama, ditemukan mayat dengan kepala terpotong. Anehnya, kepala dan tubuh mayat itu berasal dari dua korban berbeda. Sanja (Putri Marino) dikirim dari Jakarta guna membantu penyelidikan.
"Kacamatanya bagus. Cocok untuk Borneo Fashion Week", ucap Ipda Panca Nugraha (Lukman Sardi) menyambut kedatangan Sanja yang bakal jadi bawahannya. Kita segera menyadari bahwa Sanja berada di dunia di mana perempuan dipandang sebelah mata. Semakin kentara saat Panca menyatakan keraguan terhadap pernyataan saksi, hanya karena ia seorang "ABG perempuan".
Minimal Sanja tak bekerja sendiri. Thomas (Yoga Pratama) senantiasa mengulurkan bantuan sebagai figur yang dapat ia percaya. Tapi benarkah? Sebab seiring waktu, naskah buatan Edwin dan Ifan Ismail menegaskan bahwa tidak ada yang sepenuhnya jujur dan bersih di film ini. Selain seksis, dunia milik Kabut Berduri juga merupakan tempat di mana kebenaran sering terdistorsi.
Bukan cuma rapi menyusun misteri (meski melibatkan karakter dan informasi yang tidak sedikit alurnya tak pernah menjadi labirin yang menyesatkan), naskahnya pun piawai menanam petunjuk secara subtil, baik mengenai detail kasus maupun simbol-simbol yang memperkuat bangunan dunianya.
Dunia yang membiarkan para penguasanya "memotong" siapa saja, bahkan merayakannya sembari berdansa. Dunia yang dengan gampang membersihkan borok sejarahnya. Dunia yang bisa mematikan bagi manusianya hanya karena perbedaan "serong ke kiri atau serong ke kanan". Dunia yang menutupi dosa-dosa di atas. Kabut Berduri sejatinya merupakan proses Sanja (dan tentunya penonton) belajar membuka mata supaya bisa melihat kebenaran.
Departemen artistiknya pun patut menerima pujian. Sinematografi garapan Gunnar Nimpuno bersama musik gubahan Abel Huray dan Dave Lumenta bersatu menyusun atmosfer kelam nan mencekik. Efek praktikalnya pun, walau belum bisa dicap "luar biasa", telah mampu menghasilkan pencapaian solid.
Satu yang luar biasa adalah jajaran pemainnya. Yoga Pratama yang kembali bertransformasi bak bunglon, Yudi Ahmad Tajudin sebagai Pak Bujang yang tiap kehadirannya seperti magnet, dan pastinya Putri Marino sebagai detektif tangguh yang berusaha menutupi sisi dalamnya yang lebih rapuh. Putri menjadikan Sanja sebagai sosok yang tidak kaku. Ada kalanya ia bisa bersantai, menikmati tuak, sembari melempar canda bersama Thomas (yang di film arus utama bakal berkembang ke ranah romansa).
Melalui karakter Pak Bujang kita mengenal legenda mengenai Ambong, salah satu pemimpin organisasi komunis bernama Paraku yang konon masih bersemayam di hutan dalam wujud siluman atau hantu. Kabut Berduri mengingatkan pada eksistensi hantu yang menggelayuti negeri ini. Hanya saja, ada sekelompok manusia yang lebih mengerikan sekaligus lebih mematikan dibanding hantu tersebut.
(Netflix)
Film yang secara tepat menempatkan lagu anak-anak secara magis dan mistis.
BalasHapus