Berbeda dengan banyak karya Alexandre Aja sebelumnya yang menawarkan ketegangan tingkat tinggi serta kekerasan, Never Let Go lebih memfokuskan diri pada penceritaan, yang utamanya membicarakan soal pola asuh. Walau sama sekali tidak baru, presentasi solid miliknya seolah jadi pembuktian bahwa sang sineas menolak terjebak dalam stagnasi karir.
Di sebuah kabin di tengah hutan, tinggal seorang ibu (Halle Berry) bersama dua putera kembarnya, Nolan (Percy Daggs IV) dan Samuel (Anthony B. Jenkins). Mereka tidak pernah bersinggungan dengan dunia luar, hidup terasing sembari mengandalkan alam sekitar sebagai cara bertahan hidup. Di suatu titik, ketika stok makanan habis sementara para hewan tak lagi nampak, mereka mulai menggoreng kulit kayu. Sebagai horor bertema survival, Never Let Go cukup berhasil memberi gambaran menarik tentang perjuangan karakternya.
Bukan cuma itu, mereka menerapkan aturan untuk mengikat tubuh memakai tali ketika berada di luar rumah. Penyebab gaya hidup aneh tersebut adalah karena sang ibu percaya bahwa iblis berwujud monster ular telah menguasai dunia, dan satu-satunya perlindungan adalah rumah mereka yang telah diberkati. Jika ada yang melepaskan ikatan tali tersebut, iblis bakal segera memangsanya.
Jika ada yang dicurigai "terkontaminasi" kegelapan si iblis, ia harus berlutut, mengucap sumpah suci, sambil menyentuh kayu yang telah diberkati. Ritual yang terdengar dibuat-buat. Apalagi cuma sang ibu yang bisa melihat sosok sang iblis, yang selalu hadir dalam wujud orang-orang terdekatnya yang telah tiada.
Seiring waktu Nolan meragukan segala cerita mengenai iblis tersebut, sedangkan Samuel bersikukuh untuk patuh pada perintah ibunya. Perpecahan mulai tumbuh, yang semua bermuara pada pertanyaan seputar pola asuh. Never Let Go adalah kisah tentang bagaimana orang tua yang "belum selesai" dengan dirinya sendiri, di mana hatinya masih dihinggapi ketakutan serta rasa bersalah dari masa lalu, berujung menularkan semuanya pada anak-anaknya sehingga mengganggu proses tumbuh kembang mereka.
Never Let Go ibarat perkawinan antara Dogtooth (2009) karya Yorgos Lanthimos dan The Village (2004) milik M. Night Shyamalan. Subteks terpendam mengenai dinamika ibu-anak di atas, ditambah pertanyaan standar mengenai "Apakah iblis itu memang ada?", memang merupakan hal-hal yang sudah berulang kali dikupas oleh film horor. Cenderung usang, tapi setidaknya, di luar babak ketiga yang agak kacau dalam menangani beraneka "rules" miliknya, naskah buatan Kevin Coughlin dan Ryan Grassby bertutur dengan lumayan rapi.
Jajaran pemainnya pun tampil baik. Berkat keberhasilan menangani gejolak emosi kompleks, dua pelakon ciliknya, Percy Daggs IV dan Anthony B. Jenkins, nyatanya mampu mengimbangi performa solid Halle Berry sebagai ibu yang psikisnya terus dikacaukan oleh luka-luka yang tak kunjung pulih.
Terkait teror, selain efektivitas beberapa jumpscare-nya dalam mengageti penonton, juga segelintir efek spesial mumpuni terutama sebuah efek praktikal di babak akhir, Aja tidak pernah benar-benar membawa intensitas filmnya ke titik puncak. Mungkin ambiguitas terkait eksistensi sang iblis menyulitkannya memaksimalkan ketegangan sebagaimana ia lakukan di karya-karya sebelumnya. Tapi sekali lagi, Never Let Go menawarkan hal yang jarang Aja tawarkan, yakni horor yang mengedepankan penceritaan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar