REVIEW - BILA ESOK IBU TIADA

Tidak ada komentar

Mengadaptasi novel berjudul sama karya Nagiga Nur Ayati, Bila Esok Ibu Tiada memang sebuah tearjerker dengan tujuan utama menguras air mata. Tapi film garapan Rudy Soedjarwo ini juga tidak lupa menjaga kelayakan dalam bercerita. Dibawakannya cerita mengenai kerinduan akibat kehilangan, yang berujung meninggalkan retak dan jejak-jejak ketidaksempurnaan. 

Semua diawali oleh kematian Haryo (Slamet Rahardjo), yang selama ini bertindak bak penyatu di keluarganya sebagai ayah serta suami. Kepergian Haryo turut menghapus perekat di keluarganya. Sepeninggal sang suami, Rahmi (Chrsitine Hakim) kesulitan beranjak dari jurang duka. Hanya ada kerinduan menyakitkan di hari-harinya. 

Haryo dan Rahmi memiliki empat anak: Ranika (Adinia Wirasti) si sulung yang sukses membangun perusahaan, Rangga (Fedi Nuril) si musisi idealis yang belum memperoleh kontrak rekaman, Rania (Amanda Manopo) si aktris televisi, dan Hening (Yasmin Napper) si bungsu dengan jiwa seni tinggi. Keempatnya kini jarang berkumpul. Bahkan sewaktu sang ibu ulang tahun, mereka terlambat pulang ke rumah. 

Rudy Soedjarwo sadar betul pentingnya momen ulang tahun Rahmi untuk menggambarkan dinamika tokoh-tokohnya. Dibantu tata kamera garapan Ade Putra Adityo, Rudy memakai format single take untuk mempresentasikan peristiwa tersebut. Secara teknis, eksekusinya memukau. Sempitnya ruang makan tak membatasi gerak lincah kamera, tapi malah dipakai sebagai penguat rasa sesak yang makin menyeruak seiring emosi yang perlahan mengalami eskalasi. 

Melalui momen tersebut, saya seketika dibuat memahami karakternya, baik terkait sisi individual mereka, maupun hubungan dengan satu sama lain. Semua penampilnya pun diberi kesempatan bersinar. Adinia Wirasti yang nampak dominan dan kuat walau sejatinya tersiksa oleh rasa lelah, Fedi Nuril yang beranjak dari citranya untuk memerankan pria dengan kepercayaan diri rendah, Amanda Manopo yang piawai meledakkan emosi, hingga Yasmin Napper yang mengubur segala kegetiran sebagai cara menghormati kakak-kakaknya. 

Keempatnya pandai berbicara dan melempar argumen tanpa pernah kehabisan kata, namun tidak tahu cara mendengarkan. Mereka luput mendengarkan sang ibu yang hanya ingin merasakan lagi hangatnya kebersamaan keluarga di hari ulang tahunnya. 

Ada kalanya penceritaan Bila Esok Ibu Tiada terganggu akibat kurang mulusnya transisi antar peristiwa. Terkadang karena lemahnya departemen penyuntingan, tapi tidak jarang pula kekurangan berasal dari naskah hasil tulisan Rudy Soedjarwo, Oka Aurora, dan Adinia Wirasti (kredit penulisan perdananya) yang menggerakkan kisahnya secara kasar. 

Tapi dibanding banyak tearjerker Indonesia bertema keluarga, Bila Esok Ibu Tiada membawa bobot lebih lewat eksplorasi mengenai kerinduan. Kisahnya tampil lebih kelam. Setelah puluhan tahun bersama, Rahmi kehilangan arah setelah kepergian Haryo. Dia kehilangan belahan jiwa serta alasannya melanjutkan kehidupan. Puncaknya adalah sebuah close-up yang Rudy pakai untuk menangkap performa luar biasa dari Christine Hakim dan Slamet Rahardjo. Saat itulah kerinduan tidak lagi tertahankan, begitu pula air mata saya sebagai penonton.

Bila Esok Ibu Tiada tidak memaksakan diri menampilkan kebahagiaan sempurna di penghujung ceritanya. Sebaliknya, seperti seni kintsugi yang dipakai untuk memperbaiki tembikar, filmnya mengajak kita untuk turut serta merayakan ketidaksempurnaan dan sisi rapuh manusia beserta semua kehilangan-kehilangan yang takkan bisa dihindari. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: