REVIEW - A MINECRAFT MOVIE

Tidak ada komentar

Sebelum logo rumah produksi menampakkan detailnya, beberapa anak yang duduk di belakang saya sudah serempak berteriak, "Mojang!", merujuk pada nama perusahaan asal Swedia yang mengembangkan game Minecraft, selaku sumber adaptasi oleh film ini. A Minecraft Movie memang diciptakan untuk mereka yang mencurahkan berjam-jam waktu memainkan game terlaris sepanjang masa tersebut (terjual lebih dari 350 juta kopi). 

Bagaimana dengan penonton awam (termasuk saya) yang tak memahami alasan kenapa istilah "chicken jockey" bisa sedemikian viral hingga menyebabkan keriuhan di studio tempat filmnya diputar? Tanda tanya bakal muncul berkali-kali. Bukan karena alurnya kompleks. Justru sebaliknya, timbul pertanyaan tentang mengapa segala hal di A Minecraft Movie begitu disimplifikasi. 

Mungkin karena para pembuatnya menjadikan generasi alpha selaku target pasar. Tapi bukankah bocah zaman sekarang sudah jauh lebih cerdas? Bukankah mereka tidak perlu disuguhi sekuen pembuka yang terkesan begitu malas membangun latar belakang? Di satu titik, salah satu karakternya mendadak menguasai kemampuan baru. Rekannya pun bertanya, "How do you know to do that?", yang dijawab, "Don't ask". Tidak bisakah LIMA penulis naskahnya muncul dengan alasan yang lebih meyakinkan? 

Steve (Jack Black), penjual gagang pintu yang lelah dengan kehidupan monoton miliknya, menemukan portal menuju Overworld, sebuah dunia yang tersusun atas balok-balok yang mudah dimanipulasi. Alhasil, Steve bisa bebas menciptakan apa pun di sana. 

Ketika Steve kewalahan menghadapi serbuan pasukan piglin dari dunia Nether yang dipimpin oleh Malgosha (Rachel House), datang bantuan dalam wujud empat individu yang tersasar ke dalam Overworld: Henry (Sebastian Hansen) si bocah jenius bersama kakaknya, Natalie (Emma Myers); Garrett "The Garbage Man" Garrison (Jason Momoa) si mantan juara dunia game yang kini hidup melarat; juga Dawn (Danielle Brooks) si agen perumahan. 

Sederhananya, A Minecraft Movie adalah film dengan segudang kebetulan di tiap sudut penceritaan yang seolah menandakan kemalasan dalam bercerita. Ketimbang mengolah alur mumpuni, naskahnya lebih tertarik melempar fan service dengan humor absurd selaku bumbu yang membuat A Minecraft Movie lebih terasa seperti shitpost ratusan juta dollar. Contohnya saat kita tiba-tiba disuguhi momen musikal diiringi lagu aneh berjudul Steve's Lava Chicken. 

Jack Black mencurahkan totalitasnya di sini. Mungkin tidak ada aktor lain yang bisa menangani momen over-the-top dengan semangat membara sepertinya. Black memilih pendekatan yang tepat karena ia tahu betul sedang bermain di film seperti apa. Begitu pula Jason Momoa yang bersedia memarodikan citra pria tangguh yang telah begitu lekat padanya. 

Padahal para penulisnya punya banyak opsi terkait arah pengembangan cerita. Sebutlah eksplorasi tentang "kreativitas tanpa batas" yang menjadi esensi permainannya. Benar bahwa karakter-karakternya membangun setumpuk hal aneh, tapi tidak banyak yang dapat dikategorikan sebagai "metode kreatif memecahkan masalah". 

Pesan yang diusung pun tersia-siakan. Di penghujung durasi, A Minecraft Movie bak ingin mengingatkan para pemainnya agar bisa menerapkan kreativitas mereka di realita alih-alih terus tenggelam dalam dunia fantasi. Pesan yang relevan sekaligus luar biasa penting ini gagal dimanfaatkan untuk menciptakan penceritaan memadai. Tatkala para protagonisnya berpisah dengan Overworld, tak ada ruang sedikit pun bagi dampak emosi, karena penonton luput dibuat memedulikan karakter maupun dunianya. 

Tidak terhitung pula deretan kalimat cringey yang naskahnya lahirkan. "First we mine, then we craft, let's minecraft!" merupakan salah satu contoh terbaik (atau terburuk?). Mungkin suatu hari kelak, segala kebodohan milik A Minecraft Movie bakal bertransformasi dari ejekan di internet menjadi film cult yang menandakan wajah suatu era. Tapi untuk sekarang, khususnya bagi penonton awam, ia hanyalah blockbuster yang tidak masalah bila dilewatkan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: OldestLatest