08/12/24

REVIEW - CROCODILE TEARS

0 View

Beberapa waktu lalu media sosial Indonesia sempat diramaikan oleh diskursus mengenai fenomena mistis. Walau saya percaya pada dunia gaib di luar nalar, saya pun percaya bahwa hal tersebut kerap dijadikan senjata membodohi rakyat jelata, dijadikan jawaban atas segala kejanggalan, di saat kita semestinya lebih memberikan atensi terhadap isu kesehatan mental. Dari situlah Crocodile Tears yang menandai debut penyutradaraan film panjang Tumpal Tampubolon menemukan relevansinya. 

Di usianya yang sudah dewasa, Johan (Yusuf Mahardika) masih tidak bisa lepas dari sang mama (Marissa Anita). Di siang hari, Johan membantu mengurus peternakan buaya, sedangkan di malam hari ia tidur dalam pelukan mamanya yang tak pernah penonton ketahui namanya (kredit hanya menuliskan "Mama"). Mereka tak terpisahkan, atau lebih tepatnya, Mama menolak melepas putranya. 

Sampai suatu ketika Johan berkenalan dengan Arumi (Zulfa Maharani), warga baru yang bekerja di sebuah tempat karaoke. Johan yang cenderung pasif dan pendiam, seketika jatuh cinta pada Arumi yang berani mengonfrontasi para laki-laki kampung(an) yang menggodanya. Mereka dimabuk asmara. Tapi ada satu masalah: Mama enggan membiarkan Johan jatuh ke pelukan perempuan selain dirinya. 

Dirumuskan di beberapa lab film dari berbagai negara, Crocodile Tears pun tersaji rapi (mengingatkan ke Autobiography karya Makbul Mubarak yang juga berawal dari lab film). Sangat rapi, hingga tidak sedikitpun ada cara bertutur yang terasa mengganggu. Semua sisi, dari penyutradaraan dan penulisan naskah yang sama-sama ditangani oleh Tumpal, maupun rangkaian departemen teknisnya, menampilkan kerapian serupa.

Kerapian di atas tetap terasa, bahkan di saat Crocodile Tears menjamah pokok bahasan yang lebih absurd. Di antara sekian banyak buaya, ada seekor buaya putih spesial yang dipercaya dapat melanggengkan hubungan romansa. Bukan cuma itu, Johan percaya sang mama, yang menganggap si hewan sebagai suaminya, memiliki koneksi khusus dengan buaya tersebut. 

Tumpal menjadikan buaya sebagai manifestasi trauma. Perwujudan luka masa lalu yang menyimpan kaitan dengan persoalan parenting, seperti cinta maternal sampai kesiapan orang tua memiliki anak. Trauma tersebut berpotensi menarik individu ke dalam jurang kegelapan sebagaimana dialami Mama, yang luka batinnya dipertontonkan secara luar biasa oleh Marissa Anita. 

Marissa mewakili wajah lain Crocodile Tears yang bermain-main dengan aspek thriller psikologis. Tangisannya yang kerap pecah di tengah malam, ketidakstabilan emosinya yang sukar diprediksi, pula tatapan kosongnya yang menerawang entah ke mana, memudahkan kerja Tumpal membangun atmosfer mencekam sekaligus menguatkan presentasi drama seputar kesehatan mental miliknya.

Sebaliknya, kedua muda-mudinya, yang diperankan dengan realisme tinggi oleh Yusuf Mahardika dan Zulfa Maharani, mewakili harapan. Seperti telur buaya yang senantiasa membusuk namun tetap dirawat oleh Johan, manusia pun berhak memperjuangkan (dan diperjuangkan) kehidupannya. 

(JAFF 2024)

1 komentar :

  1. Siapa lebih pantas FFI kemarin marissa atau nirina

    BalasHapus