08/12/24

REVIEW - DARAH NYAI

0 View

Darah Nyai adalah film dengan karakter dukun hi-tech yang melakukan reverse-engineering untuk meningkatkan kualitas jimat, serta protagonis yang berkata "My baby, terus colinya sayang" saat tengah menyiksa korban. Berbekal naskah buatan Hikmat Darmawan dan Azzam Fi Rullah, Yusron Fuadi selaku sutradara telah melahirkan sinema eksploitasi yang bersikap peduli setan pada pakem pembuatan film serta tren industri.

Yusron dan tim tidak peduli kalau mereka dibekali bujet mikro, yang di sepanjang film nampak jelas membatasi kualitas teknis. Ketika ada efek CGI yang begitu kasar, resolusi gambar tak seberapa, atau penyuntingan canggung, prinsip untuk mengedepankan semangat bersenang-senang tetap diusung. 

Huruf bergaya klasik yang terpampang di kredit pembuka sembari diiringi musik elektronik 80-an gubahan Ekky Imanjaya, Wilman Anugerah, Rizki Mulyadi, dan Putra Seno, langsung secara lantang menyatakan intensi Darah Nyai memberi penghormatan pada judul-judul eksploitasi jadul, salah satunya Lady Terminator (1989) yang nama protagonisnya terselip di antara dialog film ini. 

Kisahnya berawal dari liburan sepasang kekasih, Rara (Violla Georgie) dan Ifan (Robert Chaniago) ke sebuah penginapan di area Pantai Selatan. Selepas terganggu oleh paksaan Ifan untuk berhubungan badan, Rara mendapat penglihatan mengenai pembunuhan sekaligus pemerkosaan terhadap seorang perempuan. Dari situlah ia mulai dirasuki oleh Nyai Sumekar (Jessica Katharina), salah satu dayang dari Nyai Roro Kidul, dan ditugasi memberi hukuman setimpal pada para pelaku. 

Jangan mencari alur kompleks di sini. Darah Nyai bukan film dengan cerita cerdas, tidak pula berambisi sok cerdas. Kisahnya tipis dan repetitif, sebatas kompilasi pembunuhan demi pembunuhan yang Rara lakukan sebagaimana film slasher pada umumnya. Tentu ini sebuah kesengajaan sehingga tak dapat disebut kekurangan (setidaknya bukan kelemahan fatal). 

Fokusnya bukan pada "memintarkan" jembatan yang menghubungkan tiap pembunuhan, tapi mengolah aksi brutal Rara sekreatif mungkin. Hikmat dan Azzam (yang di titik ini rasanya sudah layak disebut "master b-movie Indonesia") datang dengan setumpuk ide sinting di luar nalar terkait metode eksekusi yang protagonisnya pakai. Penis yang disetrika hingga terbakar, atau bola mata yang disedot menggunakan pipa air adalah beberapa contohnya. 

Di kursi sutradara, Yusron membungkus semua itu dengan penuh energi meski dihadapkan pada berbagai keterbatasan yang membuatnya tak benar-benar bisa memamerkan sadisme secara eksplisit. Terpenting, di bawah penanganannya Darah Nyai mampu mempersembahkan keanehan yang menghibur. 

Aneh. Begitulah film ini. Gaya pembunuhannya aneh, pilihan warnanya aneh, sentuhan humornya   yang kebanyakan berpusat pada interaksi Inspektur Yati (Vonny Anggraini) dan Briptu Komar (Adinegoro Natsir) yang mengusut tindakan Rara   pun aneh. Sesungguhnya saya mengharapkan klimaks dengan kegilaan yang jauh lebih tak terbendung, namun melihat "Kanjeng Ratu" yang merepresentasikan kegelapan sekaligus kekuatan muncul memberikan hukuman pamungkas pun bukan cara menutup penceritaan yang buruk. 

(JAFF 2024)

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar