Mengapa rakyat biasa seperti kita mesti melek politik? Apa perlunya peduli pada gonjang-ganjing negara? Bukankah semuanya takkan memberi pengaruh langsung ke hidup kita? The Seed of the Sacred Fig yang mewakili Jerman di Academy Awards 2025 membantah segala anggapan tadi. Betapa kondisi di rumah kita yang nyaman bisa saja mengimitasi, lalu menjadi miniatur bagi situasi negara.
Rezvan (Mahsa Rostami) dan Sana (Setareh Maleki) mendapati kebebasan mereka mulai direnggut ketika sang ayah, Iman (Missagh Zareh), naik pangkat menjadi hakim investigasi di Tehran. Sang ibu, Najmeh (Soheila Golestan), meminta keduanya bersikap lebih berhati-hati demi menjaga reputasi keluarga. Apalagi di tengah memanasnya demonstrasi terkait kewajiban memakai hijab pasca kematian misterius Mahsa Amini, identitas para "pegawai rezim" seperti Iman banyak yang dibocorkan di internet.
Iran memang tak ubahnya penjara. Di dunia nyata, lihat bagaimana Mohammad Rasoulof selaku sutradara film ini, beserta para aktrisnya, terpaksa kabur ke Jerman demi menghindari hukuman hanya karena menyuarakan kritik melalui sinema. Di ranah yang lebih mikro (rumah), Rezvan dan Sana mulai merasakan kondisi serupa. Misal saat mereka dilarang mewarnai rambut dan kuku.
Kekangan dalam hal sederhana di atas pelan-pelan makin tereskalasi, dan terlihatlah paralel antara rumah dan negara yang sama-sama seperti penjara. Kemudian pada suatu malam Iman pulang membawa pistol pemberian kantor. "Supaya kita sekeluarga aman", ucapnya menjawab kekhawatiran Najmeh. Sebagaimana orang-orang di puncak kekuasaan negeri, Iman dihantui ketakutan, yang akhirnya menciptakan tindakan otoriter. Ketakutan bahwa kelak mereka akan jatuh sehingga kehilangan kekuasaan.
Naskah buatan Mohammad Rasoulof mampu menjustifikasi durasinya yang mencapai 168 menit. The Seed of the Sacred Fig bukannya mengulur waktu, melainkan memang perlu durasi sepanjang itu. Sang sutradara piawai membangun situasi mencekam serta mengaduk-aduk emosi penonton dengan membawa kita menyaksikan setumpuk ketidakadilan. Puncaknya saat Iman kehilangan pistolnya dan mulai mencurigai Rezvan si putri sulung. Benarkah ada yang mencuri pistol tersebut? Atau Iman hanya lupa meletakkannya di suatu tempat?
Ketika paranoia si pemegang kuasa membesar, kebebasan individu lain pun makin menipis. Rezvan dan Sana harus berkomunikasi melalui chat di rumah, bahkan mendapati kamar mereka digeledah guna mencari keberadaan pistol Iman. Oh, sudahkah saya menyebut bahwa kedua gadis muda ini tidak pernah benar-benar tahu detail pekerjaan ayah mereka? Nampaknya para pemimpin diktator memang gemar menutupi fakta.
Babak ketiganya sempat agak keluar jalur tatkala berevolusi menjadi thriller dengan skala yang jauh lebih besar. Terlalu besar dan cenderung draggy sampai membuat dampak emosinya mengecil. Bukannya tanpa arti, karena Rasoulof memposisikan babak ketiganya sebagai representasi opresi yang tambah mematikan, sedangkan di saat bersamaan perlawanan dari rakyat pun semakin gencar. Kekerasan tak lagi dapat dihindari.
Sesekali filmnya menyelipkan rekaman asli yang memperlihatkan situasi demonstrasi di mana banyak kekerasan dilakukan oleh pihak berwajib kepada rakyat jelata. Melalui The Seed of the Sacred Fig, Mohammad Rasoulof sudah melahirkan sebuah teriakan guna menyadarkan mereka yang masih menutup mata, sekaligus menyuarakan seruan untuk melawan.
(JAFF 2024)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar