REVIEW - TUMBAL DARAH

Tidak ada komentar

Tumbal Darah bukannya tanpa cela. Dibanding dua horor garapan Charles Gozali sebelumnya (Qodrat dan Pemukiman Setan) ia cenderung inferior. Tapi di saat bersamaan, kolaborasi antara Magma Entertainment, Wahana Kreator, dan Sinemaku Pictures ini memiliki sesuatu yang jarang ditemui di film horor tanah air, yakni protagonis likeable yang dapat dengan mudah kita dukung perjuangannya. 

Jefri (Marthino Lio) namanya. Di tengah pandemi, ia berusaha bertahan hidup sebagai penagih utang demi membiayai persalinan sang istri, Ella (Sallum Ratu Ke), yang sebentar lagi melahirkan anak kedua mereka. Beberapa tahun lalu, Jefri menyaksikan kematian si putri sulung akibat kebakaran dan masih menyimpan duka hingga kini. 

Menarik menyaksikan film arus utama diisi oleh para karakter yang berasal dari Indonesia Timur, dengan cerita universal yang tak harus membahas isu-isu spesifik daerah tersebut (seperti saat Jordan Peele mengisi Us dengan jajaran aktor kulit hitam tanpa menjadikannya film tentang ras). 

Jefri punya semua alasan untuk berpaling pada kegelapan. Profesinya pun amat memungkinkan itu terjadi, namun ia menolak kehilangan perasaan. Pertama kali kita berkenalan dengan Jefri, ia menagih utang di toko seorang pria tua (Epy Kusnandar), terlihat gahar kala melempar ancaman dengan mengiris tangannya sendiri, tapi berujung memberi "si klien" kelonggaran. Jefri tak sampai hati menambah penderitaan rakyat jelata semasa pandemi. 

Momen tersebut memudahkan penonton bersimpati lalu mendukung seluruh pertarungan yang kelak Jefri alami. Apalagi Marthino Lio tampil luar biasa menghidupkan karakter yang bak perwujudan sempurna dari figur "jagoan ala sinema aksi Hong Kong" yang kerap jadi rujukan Charles Gozali. Tangguh secara fisik (Jefri terlihat begitu badass kala dengan santai menangkis pukulan supaya bisa mengangkat panggilan telepon di sebuah adegan) tetapi memiliki kelembutan hati dan takkan berpikir dua kali untuk berkorban demi orang-orang terkasih. 

Teror berdarah mulai Jefri temui ketika tiba waktunya bagi Ella untuk melahirkan. Naskah buatan Charles Gozali dan Arief Ash Shiddiq melempar kritik terhadap penanganan COVID di negeri ini saat pihak berwenang digambarkan hanya cerewet menyuruh rakyat miskin memakai master tapi lalai memberi bantuan. Begitu pula saat tidak ada rumah sakit yang mau membantu persalinan Ella, tapi dengan senang hati menerima orang kaya, sekalipun ia terdakwa kasus korupsi. 

Tibalah Jefri di klinik bersalin milik sepasang suami istri, Iwan (Donny Alamsyah) dan Sandra (Agla Artalidia), serta asisten mereka, Bakar (Aksara Dena). Tentunya itu bukan klinik biasa, melainkan kedok bagi sebuah praktik pesugihan yang memerlukan tumbal manusia. Jefri pun mesti segera kabur dari ancaman mematikan di klinik tersebut, sekaligus menolong sang istri yang sekarat.

Masalahnya, naskah Tumbal Darah tak mampu menegaskan urgensi dari kondisi yang seharusnya amat mendesak tersebut. Jalinan alurnya bergerak terlalu santai untuk sebuah kisah yang mengharuskan tokoh utamanya berpacu dengan waktu. Alhasil, begitu banyak ruang kosong sepanjang 92 menit durasinya yang tersaji kurang padat. 

Belum lagi soal ketiadaan misteri (selepas Jefri melihat langsung cara Iwan dan tim "menangani" pasien lain, praktis tiada tanda tanya lagi yang tersisa) serta hadirnya beberapa adegan dengan eksekusi canggung. Contohnya saat salah satu karakter secara tidak sengaja menusuk karakter lain. Pada momen tersebut naskahnya hendak melempar subteks yang sesungguhnya tragis sekaligus puitis, namun ketiadaan build-up memadai, juga pilihan shot yang kurang tepat, berujung cuma menghasilkan pemandangan konyol. 

Beruntung, penanganan Charles Gozali terhadap adegan aksi masih sekuat biasanya. Dibantu tata kamera arahan Hani Pradigya yang (sebagaimana dalam dua kolaborasi terakhirnya dengan sang sutradara) bergerak dengan begitu dinamis, Charles menghantarkan berbagai baku hantam yang terasa brutal tanpa perlu secara berlebihan bergantung pada gore layaknya tren yang tengah menguasai pasar horor lokal. 

Di luar beberapa kekurangan pada departemen penceritaan, Tumbal Darah tetap memiliki pencapaian karena mampu menyeimbangkan otot dengan hati. Terasa beringas tapi juga lembut. Perihal kekuatan di aspek dramatik, pasca debut memikat di Women from Rote Island, Sallum kembali unjuk kebolehan mengolah emosi. Berkatnya, upaya Tumbal Darah melahirkan horor yang tak sekadar meletakkan fokus pada figur iblis dan bersedia mengedepankan humanisme pun mampu tercapai. 

(JAFF 2024)

Tidak ada komentar :

Comment Page: