REVIEW - CAPTAIN AMERICA: BRAVE NEW WORLD

Tidak ada komentar

Sam Wilson (Anthony Mackie), seorang pria kulit hitam, kini jadi simbol bangsa setelah mengenakan seragam dan tameng Captain America, namun memilih bekerja di bawah Thaddeus "Thunderbolt" Ross (Harrison Ford), presiden kulit putih sekaligus mantan jenderal yang sama sekali jauh dari citra "pengayom keberagaman". Captain America: Brave New World punya potensi besar untuk menampilkan potret terkait kompleksitas wajah politik masa kini. 

Sayangnya, naskah yang ditangani oleh lima penulis (Rob Edwards, Malcolm Spellman, Dalan Musson, Julius Onah, Peter Glanz) tampil mengecewakan akibat tak tahu pasti fokus mana yang hendak dikedepankan. Isu ras? Negara yang terpecah belah akibat politik? Tensi antar bangsa dengan kepentingan masing-masing? Atau proses personal sang protagonis meneruskan nama besar pendahulunya?

Langkah filmnya mengekspansi dua judul yang seolah jadi anak tiri MCU, yakni The Incredible Hulk (2008) dan Eternals (2021), sesungguhnya patut diapresiasi. Alkisah, pasca naik tahta sebagai Presiden Amerika Serikat, Ross berupaya membuktikan diri pada publik serta putrinya, Betty (Liv Tyler), bahwa ia sudah sepenuhnya berubah. Dipimpinnya proses menyatukan berbagai negara terkait pemanfaatan sumber daya (sebuah logam yang namanya sudah sangat familiar di budaya populer) di Pulau Celestial yang terbentuk dari jasad Tiamut. 

Konflik pecah tatkala di sebuah pertemuan di Gedung Putih, Isaiah Bradley (Carl Lumbly) alias si "Captain America yang terlupakan" tiba-tiba melakukan penembakan terhadap sang presiden. Sam yang ingin membuktikan bahwa Isaiah tidak bersalah mesti melakukan investigasi, yang mempertemukannya dengan Samuel Sterns (Tim Blake Nelson), ilmuwan yang bermutasi setelah terkontaminasi darah Bruce Banner. 

Kentara bahwa selaku sutradara, Julius Onah ingin meneruskan pendekatan Captain America: The Winter Soldier (2014) dengan memposisikan Brave New World lebih dekat ke ranah thriller politik ketimbang kisah superhero generik. Musik garapan Laura Karpman pun hadir sebagai pendukung visi sang sutradara, kala memperdengarkan alunan khas spionase di tengah obrolan antar karakternya.  

Tapi naskahnya gagal mendukung niat baik tersebut. Tatkala jajaran pemainnya tampil baik    Carl Lumbly memberi gambaran menyakitkan tentang individu yang menyimpan trauma pada penjara (baca: pria kulit hitam yang telah berulang kali dihancurkan oleh ketidakadilan penegakkan hukum negara), Anthony Mackie semakin memupuk karisma sebagai Captain America, dan Harrison Ford menguatkan bobot emosi filmnya terutama di paruh akhir    kisahnya justru bergulir tanpa energi.

Sederhananya, Captain America: Brave New World punya alur yang membosankan. Selain kompleksitas yang luput diperdalam, sebagai thriller politik ia gagal tampil mencekam akibat ketiadaan urgensi. Penonton tidak diberi impresi bahwa protagonisnya harus berpacu dengan waktu, dan dampak mematikan telah menunggu apabila ia gagal. Sam dan Joaquin Torres (Danny Ramirez) hanya mondar-mandir mengumpulkan petunjuk tanpa ancaman berarti, dan ketika ada ancaman mencuat di tempat lain, keduanya bisa dengan cepat mendatangi sumber bahaya. 

Padahal tersimpan potensi sedemikian besar di sini. Tidak perlu membahas masalah politik berskala internasional. Karakter Sam Wilson yang meneruskan identitas Captain America tanpa serum prajurit super, sehingga membuatnya kerap kepayahan meski cuma menghadapi segerombolan prajurit manusia, sudah menjadi modal menarik. Tapi sekali lagi, naskahnya bak kebingungan melakukan proses penggalian.

Setidaknya pertarungan Captain America melawan Red Hulk yang dijadikan materi jualan utama, walau tidak berlangsung lama dan telah mengungkap money shot-nya di trailer, mampu menjadi highlight di babak ketiga. Sebuah pertarungan brutal bak konfrontasi David dan Goliath, yang memaksa Sam terdesak ke batas kemampuannya. 

Tidak ada yang benar-benar berantakan dalam cara Julius Onah mengarahkan aksi, namun ia belum mampu menerjemahkan gaya bertarung Captain America dengan lemparan tamengnya yang lincah. Kesan dinamis yang harusnya hadir, dilenyapkan oleh penyuntingan yang terlampau ekstrim dan artificial. Tidak buruk, tapi (sama seperti keseluruhan filmnya) generik. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: