06/02/25

REVIEW - NOSFERATU

0 View

Beberapa waktu lalu publik baru dirundung duka akibat kepergian David Lynch, yang meninggalkan setumpuk ilmu tak ternilai bagi dunia sinema. Melalui Nosferatu, Robert Eggers menunjukkan bahwa mungkin saja dialah penerus sahih dari prinsip-prinsip Lynchian. Bukan perihal surealisme, tapi bagaimana sang sineas mendesain karyanya bagaikan mimpi buruk.

Semasa muda, Ellen (Lily-Rose Depp) yang dihantui kesepian memimpikan kedatangan "malaikat pelindung". Dia pun memanggil ke arah kelam malam, dan segera menerima jawaban, namun bukan dari malaikat, melainkan iblis pengisap darah bernama Count Orlok alias Nosferatu (Bill Skarsgård). Beberapa tahun berselang, Ellen menikahi Thomas (Nicholas Hoult) dan berusaha hidup sebagai pasutri yang bahagia.

Masa lalu Ellen dan Count Orlok memberi pembeda dengan film aslinya, Nosferatu A Symphony of Horror (1922) yang merupakan adaptasi tak resmi dari novel Dracula karya Bram Stoker. Ketika Thomas bertugas mendatangi kastil Count Orlok dengan tujuan menyerahkan surat kontrak pembelian tanah, itu bukanlah kebetulan sial melainkan perwujudan akal bulus iblis guna menarik manusia menuju lembah kegelapan. 

Kisahnya bukan lagi tentang vampir yang terobsesi pada pandangan pertama pada perempuan yang hanya ia kenal lewat foto. Lebih dari itu, Eggers yang turut menulis naskahnya, menjadikan Nosferatu sebagai representasi upaya individu beranjak dari hubungan destruktif yang pernah mengurungnya di masa lalu. 

Apakah Ellen bakal berserah pada hasrat gelap yang bersemayam dalam dirinya, atau beranjak bangun lalu melangkah ke arah cahaya? Eggers memandang kebiasaan para vampir seperti Count Orlok untuk beraksi di tengah kegelapan sembari menghindari matahari layaknya mimpi buruk yang menghantui orang-orang di malam hari. Alhasil, Nosferatu juga dikemas demikian. 

Berbagai departemennya, dari pengadeganan Eggers serta sinematografi garapan Jarin Blaschke yang atmosferik, hingga penyuntingan dari Louise Ford yang tak jarang mempermainkan persepsi penonton akan realita, menciptakan pengalaman dreamlike. Nosferatu ibarat romantisasi bunga tidur, yang kerap dideskripsikan oleh karakternya memakai barisan kalimat puitis indah bernuansa Shaekespearean, bahkan di saat ia mendatangkan ketakutan bahkan kematian. 

Dibanding karya-karya sang sineas sebelumnya, Nosferatu adalah film Eggers yang paling "bersahabat", karena eksistensi berbagai formula khas horor arus utama seperti jumpscare, teror dalam mimpi, hingga momen saat sang protagonis mengalami kesurupan sembari kayang. Terdengar familiar, tapi tidak pernah menjadi generik berkat pendekatan yang sang sutradara pakai. 

Jajaran pemainnya tidak kalah luar biasa. Bill Skarsgård memodernisasi figur Count Orlok, hingga alih-alih monster tanpa akal, ia lebih nampak seperti sesosok tiran keji nan menyeramkan. Memerankan Albin Eberhart von Franz yang berstatus karakter orisinal, Willem Dafoe kembali memamerkan kesintingan magnetis yang senantiasa mencirikan gaya aktingnya. Tapi Lily-Rose Depp, berbekal kemampuan menangani emosi serta kehebatan mengolah gerak tubuh, membuatnya jadi penampil terbaik. 

Perhatikan saat Ellen perlahan hendak memasuki fase trance yang kerap ia alami sejak kepergian sang suami. Tubuhnya bergetar hebat, dan Lily-Rose membuat kita meyakini bahwa gerakan itu merupakan sesuatu yang berada di luar kendalinya. Ellen terkekang dalam kontrol sang iblis, sebelum klimaksnya menampilkan power play yang menggambarkan proses seorang perempuan merebut kendali atas dirinya (termasuk seksualitasnya), sedangkan si laki-laki hancur akibat tak kuasa mengendalikan hasratnya. Saat itulah protagonisnya terbangun dari mimpi buruk.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar