05/06/25

REVIEW - BALLERINA

0 View

Ballerina (dipasarkan dengan judul lengkap From the World of John Wick: Ballerina), selaku spin-off dengan latar di antara film John Wick ketiga dan keempat, adalah actioner yang hebat. Dia punya banyak hal yang membuat genrenya terasa usang, kemudian mengubah bagaimana keklisean itu berjalan. 

Misal ketika protagonisnya tengah memilih senjata. Kita semua familiar dengan "adegan wajib ada" yang membosankan ini. Mendadak filmnya mengecoh ekspektasi dengan mendatangkan baku tembak secara tiba-tiba. Lihat juga apa yang terjadi sewaktu tokoh utamanya mengendarai mobil untuk pergi dari lokasi pembantaian, pada sebuah momen yang biasanya hanya berstatus transisi antar adegan. 

Si protagonis bernama Eve (Ana de Armas), balerina yang dilatih sebagai pembunuh oleh Ruska Roma, organisasi kriminal tempat John Wick (Keanu Reeves) dahulu sempat bernaung. Eve yang termotivasi untuk mencari pembunuh sang ayah pun berlatih mati-matian. Dia berlatih balet hingga kakinya berlumuran darah, berkali-kali pula terkena lesatan peluru karet serta pukulan menyakitkan selama latihan, dalam training montage yang tersaji keren berkat iringan musik elektroniknya. Selama 125 menit durasi, departemen penyuntingannya jeli mengawinkan timing gerak karakternya dengan hentakan musik. 

Nantinya Eve mengetahui bahwa pembunuh sang ayah merupakan sekelompok sekte pembunuh yang diketuai oleh Chancellor (Gabriel Byrne). Tapi sebelum menumpahkan darah demi balas dendam, ia mesti melakoni misi perdana, yang mengharuskannya melindungi Katla Park (Choi Soo-young) di sebuah kelab malam. 

Ana de Armas mengenakan mantel bulu, lalu dengan kepercayaan diri yang sekuat tarikan gravitasi, berjalan dalam balutan gerak lambat. Karisma seorang jagoan laga jelas dimilikinya. Ketika melakoni baku hantam pun ia nampak meyakinkan. Untungnya di misi perdana tersebut, Even tidak secara ajaib langsung dibuat sehebat John Wick. Dia terjatuh ke lantai, bahkan ditendang hingga terlempar menghantam dinding kaca. Tata suaranya membuat semua pemandangan itu terasa menyakitkan. Tapi Eve selalu bangkit. Itulah keunggulan terbesarnya.

Di seri John Wick, orang-orang menggerakkan pistol dengan begitu mulus bak sedang menari, dan Len Wiseman yang duduk di kursi sutradara melanjutkan tradisi tersebut (walau konon banyak adegan aksi merupakan hasil reshoot di bawah arahan Chad Stahelski). Tapi Ballerina tidak sebatas mengulangi teknik gun fu. Naskah buatan Shay Hatten menyediakan setumpuk ide kreatif, yang banyak di antaranya jarang, atau malah belum pernah ditampilkan film-film lain.

Aksi lempar piring di dapur, penggunaan sepatu ski sebagai alat ganti pisau, sampai yang terbaik adalah sewaktu alat pelontar api yang kehadirannya di genre aksi belakangan ini sudah tak lagi spesial, mampu digunakan sebagai basis untuk sebuah momen luar biasa kreatif yang memadukan kebrutalan dengan keindahan. Daripada aksi biasa, di situ Eve dan lawannya bak tengah berduet dalam suatu pertunjukan tari kontemporer. 

Alurnya memang tidak memiliki kedalaman dan masih bergulir di formula kisah balas dendam ala kadarnya, meski babak ketiganya sedikit membawa kesegaran saat meminjam lalu memodifikasi formula horor folk. Kita pun takkan dibuat memedulikan Eve, apalagi terikat secara emosional dengannya. Tapi menilik rangkaian kreativitas di atas, ada pencapaian luar biasa tinggi yang lebih pantas untuk dirayakan, alih-alih mengeluhkan perihal penceritaan. 

2 komentar :

  1. Mantab. Klo disetarakan dengan John wick, ini setara John wick berapa menurut antum2?

    BalasHapus
    Balasan
    1. John wick 3 sih, secara latar juga lebih masuk ke yang ketiga

      Hapus