"Gowok" adalah sebutan bagi perempuan yang bertugas mengajari laki-laki yang belum menikah perihal rumah tangga, terutama cara memuaskan hasrat sang istri. Ketika dua karakter film ini terlibat aktivitas seksual dalam adegan yang tak terlalu jinak untuk ukuran film lokal arus utama, saya mendengar beberapa penonton cekikikan. Mungkin penonton zaman sekarang lebih membutuhkan edukasi seks dibanding karakternya yang hidup di tahun 1950-an.
Andaikan Gowok: Kamasutra Jawa menghabiskan 132 menit durasinya (versi uncut) guna menyoroti perjalanan seksual secara total, saya akan menyebutnya salah satu film lokal terpenting dalam beberapa waktu terakhir. Sayangnya tidak. Naskah yang ditulis sang sutradara, Hanung Bramantyo, bersama Aci dan ZZ Mulja Salih, bertualang terlampau jauh meninggalkan persoalan seksualitas.
Kisahnya bermula di Bumirejo tahun 1950, ketika Ratri (Alika Jantinia) masih menimba ilmu pergowokan dari Nyai Santi (Lola Amaria). Inilah fase terbaik filmnya, sebab penonton pun diajak mempelajari seluk-beluk tradisi yang telah punah tersebut. Kita memahami ritualnya, kita pun tahu bahwa istilah "Gowok" berasal dari nama Goo Wook Niang, perempuan Tionghoa yang memperkenalkan tradisi itu pasca tiba di tanah air bersama Laksamana Cheng Ho.
Seksualitas bukan hal jorok di sini. Daripada memperlakukannya sebagai pokok bahasan tabu (alasan mengapa masyarakat kita miskin edukasi hingga mudah menertawakan adegan "panas"), Gowok: Kamasutra Jawa memandang seks layaknya ritual suci nan agung, di mana sanggama merupakan wujud penyatuan suci antara dua manusia yang saling cinta. Tapi seksualitas pun menyimpan sisi gelapnya, yang disulut oleh nafsu tak terkendali.
Suatu ketika, datanglah Kamanjaya (Devano Danendra), putra seorang camat yang hendak digowok oleh Nyai Santi sebelum berkuliah. Lalu timbul masalah: Kamanjaya dan Ratri justru saling jatuh cinta. Bahkan keduanya melanggar aturan kala nekat mengintip ritual Nyai Santi di bawah air terjun, dalam sebuah adegan yang meniupkan nuansa magical realism ke dalam kisahnya.
Penceritaan Gowok: Kamasutra Jawa mulai mengembang terlampau besar hingga keluar jalur sewaktu kisahnya melompat ke tahun 1965. Di luar seksualitas dan romansa ala Romeo & Juliet yang telah muncul sedari awal, elemen-elemen lain turut memenuhi alurnya, dari cerita pemberdayaan, konflik pelik sarat konspirasi seputar keluarga bangsawan, dan tentunya konflik politik. Seorang Hanung Bramantyo takkan melewatkan latar 1965 tanpa menyinggung soal PKI bukan?
Proses bercerita ibarat guliran sebuah roda. Supaya bisa berputar, ia memerlukan angin sesuai takaran. Tapi jika diisi secara berlebihan, alih-alih berjalan, roda itu bakal meledak. Demikianlah kondisi film ini. Bukannya mengerucut, kisahnya justru terus dan terus membengkak. Sulit untuk menaruh kepedulian, apalagi saat karakter minor yang baru diperkenalkan di paruh kedua, mendadak diberi porsi besar pada konklusinya.
Nantinya dikisahkan bahwa Ratri tak lagi ingin mewarisi ilmu gowok milik Nyai Santi. Didasari saran Kamanjaya, dia bergabung ke dalam organisasi perempuan yang jadi cikal bakal Gerwani demi menggapai mimpinya sendiri. Apa pastinya mimpi Ratri? Entahlah. Sebelum berambisi mendukung keinginan Ningsih (Annisa Hertami) mendirikan sekolah perempuan, Ratri terus menyebut kata "mimpi" tanpa pernah mengelaborasinya.
Setidaknya paruh kedua film ini memberi suntikan daya melalui akting para pemainnya. Raihaanun (Ratri dewasa) dengan martabat tinggi di tiap tutur katanya, serta Reza Rahadian (Kamanjaya dewasa) yang kembali bertransformasi dan secara mulus melafalkan dialek ngapak, berhasil jadi penawar tatkala filmnya makin hilang arah.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar