Karya penyutradaraan teranyar Reka Wijaya (Bolehkah Sekali Saja Kumenangis) ini berpusat pada suami sekaligus ayah dengan segala ketidakmampuannya berpikir jernih, yang berujung pada serangkaian kesalahan. Protagonisnya mungkin kurang simpatik, tapi membuat film mengenai orang bodoh bukanlah kesalahan. Hanya Namamu dalam Doaku memperlihatkan laki-laki dengan prinsipnya yang menolak goyah, sebodoh apa pun itu.
Arga (Vino G. Bastian) awalnya menjalani rumah tangga harmonis bersama Hanggini (Nirina Zubir). Keberadaan putri mereka, Nala (Anantya Kirana), makin melengkapi kebahagiaan keluarga kecil tersebut. Lalu terjadilah guncangan tak terduga. Arga divonis menderita ALS (Amyotrophic lateral sclerosis), penyakit langka yang akan membuatnya kehilangan kemampuan motorik, sebelum akhirnya meninggal.
Manusia normal bakal memberitahukan kondisi itu pada keluarganya, mungkin membuat mereka terpukul sementara waktu, kemudian bangkit lalu berjalan beriringan hingga akhir hayat. Tapi didasari keenganan membebani Hanggini dan Nala, Arga memilih menyembunyikan penyakitnya. Hanya dua orang yang mengetahui kondisi Arga: Rio (Ge Pamungkas), sepupu sekaligus rekan kerjanya, kemudian Marisa (Naysila Mirdad), mantan pacarnya semasa SMA yang kini menjadi dokter. Sungguh jahat, egois, dan tentunya, bodoh.
Lambat laun Hanggini justru curiga bahwa Arga berselingkuh dengan Marisa. Nala yang cerdas pun segera memahami konflik orang tuanya. Arga enggan keluarganya terbebani, namun tanpa ia sadari, kebohongan itu malah memberi beban yang tidak kalah (atau bahkan lebih) berat. Begitulah laki-laki beserta kekakuan pikirnya yang sukar memandang permasalahan dari sudut pandang orang lain, juga tendensi mereka merahasiakan perihal yang sebaiknya tak dirahasiakan.
Santy Diliana dan Elin Yuma selaku penulis naskah paham betul sisi problematik dari laki-laki di atas. Apalagi bila telah berstatus kepala keluarga, yang membuat mereka membebani diri sendiri dengan beragam tanggung jawab, biarpun sang istri dan anak mengharapkan sebaliknya. Salah bila menganggap perempuan lebih keras kepala.
Hanya Namamu dalam Doaku mengambil risiko dengan bermain di garis batas antara "meromantisasi" dan "menyentil" fenomena tersebut. Bagi saya kuncinya terletak pada momen saat Rio dan Marissa, yang dipaksa oleh Arga menyembunyikan penyakitnya, nekat memberitahukan fakta itu pada Hanggini. Secara tidak langsung naskahnya membantah perspektif si protagonis, sehingga membuat filmnya masuk ke golongan kedua.
Akting jajaran pemainnya sungguh menawan, dari Vino yang mampu menghindari kesan karikatur kala di paruh kedua ALS telah merenggut banyak kapasitas motorik Arga, Nirina Zubir dengan ledakan emosinya yang terasa menusuk, hingga Anantya Kirana yang kembali menunjukkan kecerdasan akting layaknya pelakon dewasa. Ge Pamungkas pun cukup baik, hanya saja performanya di sebuah adegan pertengkaran dengan Nirina lebih efektif memancing tawa ketimbang pilu. Tapi metode pengarahan Reka Wijaya, terutama pilihan tata kameranya, turut bertanggung jawab atas kekonyolan tak disengaja itu.
Bagaimana membuat penonton terkoneksi dengan laki-laki seperti Arga? Ada alasan mengapa sinema arus utama cenderung menghindari tuturan yang memamerkan ketidaksempurnaan protagonisnya. Butuh kreativitas lebih untuk membuat penonton bersedia menaruh simpati, yang sayangnya belum film ini miliki. Bagaimana pengarahan Reka Wijaya menjauhi keklisean melodrama, dengan tak asal menggenjot kadar emosi hingga titik maksimal di tiap adegan memang patut diapresiasi, tapi di mayoritas kesempatan, Hanya Namamu dalam Doaku masih mengandalkan trik lama yang tak kuasa melandasi kompleksitasnya sendiri.
Di sepanjang kredit penutup kita melihat kondisi para penderita ALS di dunia nyata. Sembari berkaca-kaca, salah satu dokter yang menangani mereka menyamakan kematian pasiennya dengan "chapter buku yang sudah selesai ditulis oleh Tuhan". Momen tersebut jauh lebih indah, menyentuh, sekaligus kreatif dibanding yang filmnya tawarkan selama hampir dua jam.
Setidaknya, sebagaimana karya-karya Sinemaku lain, Hanya Namamu dalam Doaku menawarkan kesungguhan. Segala aspeknya dipastikan berjalan sesuai kaidah, mulai dari elemen medis mengenai ALS, pengingat untuk mencari opini kedua kala memeriksakan keluhan kesehatan, hingga perihal talak dan detail masa idah, yang oleh kebanyakan film bertema keluarga cenderung lalai diperhatikan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar