21/08/25

REVIEW - MATERIALISTS

0 View

Acap kali film romantis hadir layaknya dongeng dilengkapi pesan moral untuk tidak memandang sesuatu berdasarkan nilai komersial belaka. Tapi kita hidup di era yang cenderung mengedepankan sudut pandang sebaliknya, dan sebagai komedi romantis yang lahir pada era modern semacam itu, Materialists sadar betul akan fenomena tersebut, lalu alih-alih mengerdilkan satu sisi, memilih untuk menyeimbangkannya. Materi dan cinta tidak bisa eksis seorang diri. 

"Apakah film yang diputar keliru?", begitu pikir saya sewaktu melihat adegan sepasang manusia purba dimabuk asmara. Tapi memang itulah cara Celine Song membuka filmnya. Diciptakannya komparasi, betapa dahulu jatuh cinta sungguh sederhana. Lompat ke ratusan tahun berselang, rangkaian bunga cantik saja tak cukup untuk meluluhkan hati pasangan. Ada banyak pertimbangan kompleks yang mesti dipikirkan.

Tata kamera arahan Shabier Kirchner menangkap kesibukan kota New York yang segera mengingatkan ke judul-judul romcom klasik, seiring perkenalan kita dengan Lucy (Dakota Johnson), karyawan perusahaan pencarian jodoh yang dikenal sebagai makcomblang terbaik. Sudah sembilan pasangan berujung mengucap janji suci setelah dipersatukan oleh Lucy. Di matanya, kecocokan dua manusia hanyalah penerapan rumus matematika. 

Lucy sendiri tidak buru-buru mencari pasangan. Jika kelak harus menikah, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan laki-laki yang bukan cuma punya fisik rupawan (wajah ganteng, tubuh tinggi), pula kaya raya. Semakin banyak perempuan masa kini yang memasang standar serupa sehingga mendapat cap "matre" atau "terlalu pilih-pilih", seolah para laki-laki tidak memasang banyak standar dan sekadar mementingkan kemurnian hati.

Tapi toh deretan permintaan beberapa klien Lucy menunjukkan fakta sebaliknya. Laki-laki dengan obsesinya terhadap gadis muda beserta segala tetek bengek tampilan fisik lainnya juga tidak kalah ruwet. Materialists berhasil menyentil paham seksis yang sudah mengakar terlalu kuat di masyarakat tersebut. 

Sampai di pesta pernikahan salah satu kliennya, Lucy berkenalan dengan Harry (Pedro Pascal), kakak dari pengantin laki-laki. Seorang pebisnis kaya raya dengan paras tampan, perawakan tanpa cela, selera mode kelas tinggi, penuh sopan santun pula. Sesosok laki-laki sempurna, yang saking langkanya, diberi status "unicorn" oleh perusahaan tempat Lucy bekerja. Di pesta yang sama, Lucy bertemu lagi dengan mantan kekasihnya, John (Chris Evans), yang bekerja sebagai pelayan katering di sela-sela upayanya mewujudkan mimpi menjadi aktor. 

Song tidak menunggu lama sampai menumbuhkan api cinta segitiga di antara protagonisnya. Kali pertama tiga individu tersebut berada dalam satu frame, sang sutradara dengan jeli menciptakan momen canggung yang amat menggelitik. Begitulah bentuk elemen komedi Materialists. Bukan kekonyolan luar biasa, melainkan satir untuk menertawakan dinamika percintaan modern, yang presentasinya berpijak pada realisme.

Di kebanyakan film romantis, John bakal otomatis jadi figur jagoan. Seorang "people's champion" dari kalangan akar rumput, yang tak bergelimang harta dan berjuang keras mewujudkan cita-cita, baik dalam hal profesi maupun percintaan. Sudah selayaknya penonton dibuat berharap agar Lucy memilih John dalam romcom semacam ini bukan? 

Menariknya, lewat sebuah kilas balik, Materialists membuat penonton bisa memahami alasan Lucy menjadi seorang materialistis, dan mengapa John bukanlah tipikal jagoan dalam film romantis. Song tidak mau menenggelamkan Lucy dalam kenaifan cinta, tapi juga enggan menjadikannya mesin penakar nilai komersial tanpa hati. Dakota Johnson dengan tatapan yang senantiasa menawarkan afeksi terhadap lawan bicaranya, mampu membentuk karakter Lucy sesuai visi sang sutradara tersebut. 

Mana yang lebih baik? Harry dengan kekayaan serta keeleganan tutur katanya, atau John yang setelah sekian tahun masih mengingat minuman favorit Lucy? Pada akhirnya Materialists bukanlah soal pihak mana yang akhirnya dipilih, melainkan pengingat supaya kita bersedia meluangkan waktu untuk menimbang kedua sisi secara matang-matang. Bukan pula tentang pencarian atas kesempurnaan (Harry dan John memiliki "cacatnya" masing-masing), sebab mungkin benar adanya, bahwa "true perfection has to be imperfect". 

2 komentar :

  1. What? Nilainya 4,5? Kok menurutku B aja ya romcom ini. Visually stunning, but plot just common thing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aspek kan gak plot ajah, kalo plot mah bisa mirip jodoh boleh diatur nya warkop DKI hehehehe. Tapi acting, eksekusi, dll nya kan emang keren

      Hapus