REVIEW - SMALL THINGS LIKE THESE

Tidak ada komentar

Pernah merasakan keresahan kala dini hari yang membuatmu kesulitan terlelap? Terkadang ia berasal dari "hantu" masa lalu, namun ada kalanya dipicu permasalahan masa sekarang. Small Things like These yang mengadaptasi novela berjudul sama karya Claire Keegan menggambarkan situasi di atas. Si protagonis tahu betul solusi apa yang mesti diambil guna mengusir keresahannya, tapi sukar menentukan, apakah ia sebaiknya bertindak atau berdiam diri menikmati kenyamanan yang telah dimiliki.

Hidup Bill Furlong (Cillian Murphy) jauh dari gelimang harta, tapi usaha batu bara yang susah payah ia bangun, setidaknya mampu memenuhi kebutuhan sang istri, Eileen (Eileen Walsh), beserta lima putri mereka. Kehangatan senantiasa memenuhi rumah keluarga Bill, yang terletak di New Ross, Irlandia, di mana Gereja Katolik berperan besar dalam hidup masyarakatnya. 

Suatu ketika, Bill yang tengah mengantar batu bara ke biara yang dikepalai oleh Suster Mary (Emily Watson), melihat pemandangan janggal. Seorang gadis remaja nampak berteriak histeris, menolak untuk dipaksa tinggal dalam biara tersebut oleh orang tuanya. Bill tahu ada yang tidak beres dengan biara tersebut, namun hanya berdiri sembari diam-diam mengawasi. Itulah awal dari dilema batinnya. 

Naskah buatan Enda Walsh mendesain Small Things like These sebagai satu proses observasi besar. Penonton mengobservasi Bill, sementara Bill mengobservasi lingkungan sekitarnya. Aktivitas "memperhatikan" lebih banyak terjadi ketimbang perbincangan verbal, informasi penting yang membentuk narasinya pun tidak disuapkan paksa pada penonton. Kita dituntut mengobservasi, mengolah data, lalu menarik kesimpulan sendiri. 

Sesekali muncul kilas balik mengenai masa kecil Bill, yang meninggalkan banyak luka di hatinya bahkan hingga dewasa. Bill yang tiap malam pulang dengan tubuh kotor karena batu bara memang bisa mencuci noda di tangannya, tapi tidak dengan noda di hatinya. Bill terus terjaga sampai dini hari, sampai membuat Eileen bertanya-tanya, permasalahan apa yang menimpa sang suami. 

Ceritanya terinspirasi dari skandal mengenai Suaka Magdalena, institusi yang dijalankan oleh Gereja Katolik untuk mempekerjakan paksa para perempuan yang dianggap berdosa. Eileen tidak sepenuhnya buta akan fakta tersebut. Bahkan mayoritas warga kota menyadarinya. Tapi karena hampir tiap sendi kehidupan New Ross dikuasai oleh pihak gereja, mereka memilih menutup mata sambil menyibukkan diri memikirkan kado apa yang ingin diterima di Malam Natal.

Tatkala konsumerisme telah menggantikan kebaikan hati sebagai esensi semangat Natal, di situlah para pemegang kuasa keji berkedok pemuka agama bebas bertindak semena-mena. Menariknya, film ini enggan memotret Eileen (atau warga lain yang menyarankan Bill untuk tidak bersuara) sebagai orang jahat. Mereka cuma rakyat jelata tanpa privilege untuk melawan, lalu terpaksa tunduk akibat dikendalikan oleh rasa takut. Eileen meminta Bill agar tidak melawan Suster Mary dan biaranya, sebab putri-putri mereka bersekolah di sana. Poin yang masuk akal. 

Tim Mielants selaku sutradara membiarkan penonton terserap dalam rangkaian kesunyian yang ia bangun. Pengarahannya minim letupan, termasuk pada momen intens tatkala Suster Mary mengonfrontasi Bill yang menerobos masuk ke biara. Emily Watson tidak memerlukan bentakan guna menegaskan presensinya sebagai "iblis keji bertopeng anak Tuhan". Figurnya intimidatif, namun dengan tutur kata penuh ketenangan yang dilandasi keyakinan atas kuasanya. 

Di kutub berlawanan ada Bill yang menyadari bahwa ia tidak punya kuasa untuk melawan dan berbuat kebaikan. Cillian Murphy mendefinisikan pendekatan akting subtil. Setumpuk kekalutan yang mengganggu Bill mungkin tidak tertuang secara gamblang, tapi semuanya terekam di sorot mata, serta permainan ekspresi mikro sang aktor. Sekali lagi, semuanya adalah perihal proses observasi. 

(Klik Film) 

Tidak ada komentar :

Comment Page: