Sejak dulu sinema beserta aktor di dalamnya (baca: selebritas) selalu jadi tempat penonton "jelata" menggantungkan angan. Setelah menjalani penatnya keseharian dunia nyata, orang ingin dibawa melayang di tengah kegemerlapan para selebriti, entah di dalam maupun balik layar. Gemerlap itu berwujud paras rupawan, penampilan trendi, barang mewah, jalan-jalan ke luar negeri dan tentunya cinta sejati. Teruntuk Indonesia di mana budaya menonton di bioskop masih sering dianggap bentuk kemewahan, segala gemerlap tadi cenderung mendominasi layar televisi, baik melalui sinetron maupun FTV. Pecinta televisi khususnya dari usia remaja awal lebih menggemari romantisme berkilau macam itu daripada cerminan realita atau high concept di layar lebar.
Maka jangan heran tatkala "Magic Hour" berhasil mendatangkan lebih dari 850.000 penonton dan bertengger di posisi kelima daftar film Indonesia terlaris tahun 2015. Masih diarahkan oleh Aspe Kusdinar dan menampilkan dua main cast sama (Michelle Ziudith & Dimas Anggara), "London Love Story" coba mengulang kesuksesan pendahulunya bermodalkan formula serupa ditambah setting luar negeri yang tengah menjadi trend. Segala konflik dimulai saat Dave (Dimas Anggara) menolong Adelle (Adila Fitri) yang hendak bunuh diri melompat dari jembatan. Tapi seperti "remaja galau" pada umumnya, Adelle justru merasa takut dan meminta tolong pada Dave. Adelle pun untuk sementara waktu tinggal di apartemen Dave. Hanya butuh semalam bagi Adelle mulai flirting meski baru saja coba bunuh diri karena batal menikah.
Pertama, begitu cepatnya Adelle jatuh cinta jelas bukan disebabkan pesona Dave (intensi filmnya), but because she's such a bitch. Kedua, pilihan Dave tidak berbuat apapun (you know what I mean) pada perempuan cantik yang selalu menggodanya (plus tinggal seatap) tidak memberi kesan bahwa Dave pria sejati yang menjaga cintanya pada sang mantan kekasih meski sudah setahun menghilang entah kemana (intensi filmnya juga), but because he's such an idiot. Kemudian kita diperkenalkan pada Caramel (Michelle Ziudith) yang memang semanis popcorn rasa karamel. Sama seperti Dave, Caramel kesulitan membuka hati pada pria bernama Bima (Dion Wiyoko). Tapi ini wajar, mengingat berbagai tindakan norak dari Bima seperti menerobos antrian di restoran pizza tempat Caramel bekerja hanya untuk memaksa gadis pujannya berkencan. Itu bukan romantis, tapi memalukan.
Mungkin anda bertanya-tanya kenapa setelah baris kalimat serius di paragraf pertama tulisan saya berubah menjadi "sindiran sayang" pada paragraf berikutnya. Sindiran di atas kerap saya gunakan untuk mengulas film berisi kebodohan akut, dan harus diakui "London Love Story" khususnya untuk naskah memang menghadirkan rangkaian kebodohan. Tapi semua itu disengaja. Target pasar film ini memang bakal menganggap cara tokohnya menyikapi percintaan sebagai suatu hal romantis. Mereka akan "meleleh" menyaksikan perjalanan cinta Dave dan Caramel, tidak peduli meski "rasa sinetron" seperti momen penuh kebetulan atau adegan kecelakaan terasa dominan. Tidak peduli, karena itulah yang mereka sukai, ketika dramatisasi cinta berlebihan (dianggap) berbanding lurus dengan romantisme.
"London Love Story" adalah bentuk escapism sempurna berkat kehadiran aspek-aspek gemerlap di atas. Melihat si tampan Dave dan si cantik Caramel mengejar cinta walau harus melalui banyak ujian, tak lain merupakan gambaran cinta sejati idaman para remaja. Keduanya menetap di London, mengenakan pakaian mahal, tinggal di apartemen dan memiliki mobil mewah. Kombinasi semua itu membentuk formula ampuh supaya penonton melayang di impian akan kesempurnaan hidup, sejenak melupakan betapa realita tak seindah harapan. Belum lagi naskah karya Sukhdev Singh dan Tisa TS membombardir telinga kita dengan rentetan quote percintaan, yang lagi-lagi membuat penonton remaja berteriak histeris (serius, itu kejadian nyata), meski penggunaan kalimat puitis itu tidak sinkron dengan gaya bicara tokohnya sehari-hari.
Saya tahu film ini bodoh, tapi biar bagaimanapun saya manusia biasa, hingga tak mungkin sepenuhnya menolak "pesona duniawi" tadi. Terlebih sutradara Asep Kusdinar mampu menarasikan cerita dengan cukup baik. Walaupun kental unsur FTV, Asep sadar ia tengah membuat film bioskop, sehingga penghantaran dramatisasi tidak sampai taraf annoying. Penggunaan flashback juga tidak sampai membuat jalannya alur acak-acakan. Di jajaran cast, Michelle Ziudith paling menonjol berkat kapasitasnya menghantarkan adegan emosional meski belum mencapai taraf luar biasa. Menghibur atau tidaknya film ini tergantung seberapa jauh anda bisa menerima "unsur anak muda" nya. Bagi saya sendiri "London Love Story" adalah guilty pleasure berisikan segala pernak-pernik FTV yang disaat bersamaan terasa memuakkan sekaligus memabukkan.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
dari awal saya sdh tdk tertarik buat menonton film ditambah banyak film baru yg keluar semakin tdk ada niat mau nonton ...dan setelah baca komentarnya makin tdk ingin menonton hehee
BalasHapusDibanding film lain yang rilis hari ini memang LLS kelasnya jauh di bawah :)
Hapussayang nya film surat dari praha sudah menghilang masa tayangnya..saya agak menyesal blm menonton film itu
HapusBulan Februari-April film lokal bertebaran, jadi kalo ada yang bagus mendingan tiga hari pertama langsung tonton
HapusDi kota saya malah gak ditanyangin...
Hapusiya padahal surat dari praha baru tayang seminggu...makanya rencananya besok mau nonton yg talak 3
BalasHapusMantap! Minggu depan "A Copy of My Mind" :)
Hapusiya a copy of my saya tunggu juga..
BalasHapusP
Hapus