04/02/16

NORM OF THE NORTH (2016)

0 View
Hingga saat ini, saya masih bisa menikmati tontonan berpangsa pasar anak-anak. Sebagai contoh saya terhibur menonton "Curious George" berbekal segala kesederhanaan berbalut selipan pembelajarannya. Bahkan jika benar-benar senggang, saya beberapa kali menyaksikan "Teletubbies" di YouTube. Dua acara tersebut adalah contoh tontonan anak yang bagus, mampu menyeimbangkan hiburan dan pendidikan, tapi paling penting tidak membuat orang dewasa "tersiksa". Disaat acara televisi masih bisa disaksikan sendiri oleh anak di rumah, lain cerita dengan film bioskop. Mustahil mereka datang sendirian. Pasti orang tua, kakak atau kerabat lain berusia dewasa ikut menemani. Karena itu hanya ada rating "semua umur", bukan "anak kecil".

"Norm of the North" jelas dibuat dengan harapan mampu memberikan hiburan bagi penonton muda. Ceritanya sederhana, berisikan petualangan dan tarian dari para hewan yang bisa bicara. Norm adalah beruang kutub sekaligus calon raja di Antartika. Masalahnya, sebagai hewan buas, Norm justru tidak memiliki kemampuan berburu. Hatinya terlalu lembut untuk tega menerkam singa laut sebagai bahan makanan. Tapi dia punya dua kelebihan yang tidak dimiliki hewan lain: bisa bicara bahasa manusia dan twerking. Dua hal itu menjadi senjata Norm tatkala seorang manusia bernama Mr. Greene berniat membangun perumahan mewah di Antartika. Demi menyelamatkan rumahnya, Norm berangkat ke New York guna menggagalkan rencana tersebut.
Bahkan dari tampak luarnya saja film ini sudah buruk. Pada era dimana Pixar mengembangkan photo realistic imagery lewat "The Good Dinosaur", kualitas visual "Norm of the North" memang terasa murahan. Tentu membandingkan dua film dengan perbandingan bujet hampir 1:10 tidaklah bijak, tapi bahkan bila dirilis satu dekade lalu pun visualnya masih buruk. Gambar kaku berisikan objek "kotak-kotak" turut diperparah oleh kemalasan animatornya mendesain karakter. Pada sebuah adegan kala sekumpulan lemming menari, terlihat gambarnya merupakan hasil multiplying satu desain. Sewaktu setting berpindah ke New York, jika jeli anda akan mendapati beberapa figuran manusia muncul berulang-ulang. Walau sekedar background character, itu cukup membuktikan kemalasan pembuatnya.

Ceritanya pun bernasib serupa. Saya tidak menuntut naskah cerdas dari film seperti ini, tapi setidaknya janganlah terlampau bodoh. Kekurangan bukan dikarenakan kisahnya terlalu sederhana, sebaliknya, bumbu intrik politis dan korupsi dunia real estate memperlihatkan ambisi berlebihan dari naskah supaya nampak pintar. Ambisi itu tak sejalan dengan kemampuan, sehingga banyak menimbulkan pertanyaan akibat kebodohan naskahnya. Bayangkan anda menemani anak/adik, lalu mereka bertanya "maksudnya korupsi gimana?" atau korelasi alat cara kerja alat pengukur dukungan masyarakat. Penulisnya tidak malas, hanya mengalokasikan energi mereka pada aspek yang salah.
Semestinya petualangan sederhana saja sudah cukup, dimana fokus terbesar terletak pada usaha menjadikan Norm karakter likable. Modal dasar sesungguhnya telah dimiliki melihat seperti apa sosok Norm: hewan bertubuh besar, berbulu lebat, bertingkah laku clumsy. Karakteristik serupa pernah berhasil diterapkan dalam "Kung Fu Panda". Bahkan tiga lemming berbekal keanehan mereka jelas diharapkan memberi dampak sama sebagaimana penonton jatuh cinta akan Minions. Sayang, baik karakter utama maupun sidekick tidak diberi momen cukup guna menggaet ketertarikan penonton. Mereka lebih banyak digunakan sebagai penghantar komedi slapstick monoton tak lucu. Kegagalan membuat penonton terikat pada karakter juga berarti kegagalan menyuntikkan "hati". Jangankan gejolak rasa, sepercik kehangatan pun tak ada. Film ini sedingin setting-nya.

Sekalinya menghibur adalah saat nomor musikal mulai mengisi, tapi itupun disebabkan deretan lagu catchy. Sutradara Trevor Wall tampak miskin kreativitas dalam pengemasan nomor musikal. Apa dilakukan oleh Trevor Wall selalu sama, entah melemparkan karakternya terbang ke atas, bergabung dalam tarian massal, atau twerking dari Norm. Maaf saja, tapi goyangan pantat beruang berlapis animasi buruk sama sekali tidak menghibur. But maybe it's just me. Maybe I'm too old for this shit. Maybe I'm too serious. Masih terdapat kemungkinan anak atau adik anda yang masih kecil merasa terhibur karena film ini. Namun jika anda ingin mereka mendapat hiburan berbobot berselipkan sedikit pesan berharga, sebaiknya jauhi "Norm of the North" dan bersabar menantikan "Kung Fu Panda 3" bulan depan.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

2 komentar :