MANTAN MANTEN (2019)

23 komentar
Tanpa perlu menyertakan embel-embel “film budaya”, Mantan Manten justru melahirkan karya yang layak disebut “culturally significant” , di mana kesakralan pernikahan ditekankan, mistisisme diperlakukan secara indah selaku bagian kerohanian sekaligus hubungan manusia dengan semesta, sementara women’s empowerment dipaparkan tidak secara eksplosif tanpa kehilangan baranya. Inilah film Indonesia terbaik 2019 untuk sementara.

Mantan Manten dibuka layaknya kebanyakan film soal proses karakternya menyadari bahwa hidup lebih dari sekedar uang. Nina (Atiqah Hasiholan) adalah manajer investasi ternama yang mengusung jargon “I believe in money, I believe in people”. Dialah definisi modern akan “wanita sukses”. Karirnya cemerlang bergelimang penghargaan, pun ia baru saja dilamar oleh sang kekasih, Surya (Arifin Putra). Semua sempurna, sampai ayah Surya (Tyo Pakusadewo) menusuk Nina dari belakang, menjadikannya kambing hitam dalam kasus investasi palsu.

Seketika, Nina kehilangan segalanya, kecuali sebuah villa di Tawangmangu, yang sayangnya, belum secara resmi balik nama. Nina pun mendatangi Marjanti (Tutie Kirana) si pemilik rumah guna meminta tanda tangan. Marjanti setuju, dengan syarat, Nina bersedia menjadi asistennya sebagai pemaes (dukun manten) selama tiga bulan. Kehabisan opsi, meski berat hati, Nina menyepakati syarat tersebut. Kita tahu ia akhirnya bakal menemukan “rumah” di sana, dan saya berharap filmnya lebih banyak memperlihatkan kesulitan Nina beradaptasi demi melengkapi proses yang dilalui.

Menyusul berikutnya adalah tuturan mengenai keikhlasan yang dipenuhi kelembutan juga kedamaian. Mayoritas nuansa itu datang dari penggunaan budaya Jawa beserta filosofi di dalamnya. Marjanti—yang kembali menunjukkan kepiawaian aktris senior Tutie Kirana berolah rasa—bertindak sebagai medium penyampai pesan di atas.

Naskah hasil tulisan Jenny Jusuf (Filosofi Kopi, Wonderful Life, Critical Eleven) bersama sang sutradara, Farishad Latjuba (Mantan Terindah), menggunakan pemaes, selaku profesi yang tak asing dengan sisi klenik (Pada satu momen, hanya dengan meniupkan asap rokok, Marjanti mampu membetulkan ukuran baju mempelai pria), untuk mengenalkan penonton kepada bagaimana masyarakat Jawa memandang mistisisme sebagai bagian keseharian, yang alih-alih memancing ngeri, justru menyimpan keindahan tersendiri.

Jarang saya menemukan film kita melakukan hal demikian (terdekat adalah Sunya tiga tahun lalu). Hubungan manusia dengan yang tak kasat mata, dari “hantu” sampai Tuhan, ditampilkan penuh jiwa. Berkat sensitivitas penyutradaraan Farishad Latjuba, adegan sederhana seperti memohon ampun kepada Tuhan pun amat menyentuh, meski hanya dibarengi kalimat “Gusti Allah nyuwun ngapura” yang sudah jamak kita dengar langsung di kehidupan sehari-hari.

Menggunakan kata “manten” di judulnya, Mantan Manten tak lupa mengingatkan kita akan kesakralan pernikahan, yang belakangan mulai tertelan modernisasi. Entah melalui interaksi kasual antar-tokoh yang mengalir mulus tanpa kesan dipaksakan hadir untuk menyampaikan pesan, maupun adegan upacara pernikahan di babak ketiga, yang dieksekusi beitu indah. Filmnya bersedia menaruh perhatian terhadap esensi tiap ritual sebagai simbol doa bagi keberlangsungan pernikahan. Implementasi nuansa tradisional dalam musik garapan Windra Benyamin (Babi Buta Yang Inginn Terbang, Pai Kau) pun turut memperkuat rasa.

Mencapai akhir, selain cerita mengenai pencarian makna hidup, Mantan Manten juga berperan selaku kisah empowerment yang menjabarkan, betapa serupa perspektif Jawa, keikhlasan berbeda dengan mengalah, bahkan bisa memberikan kemenangan lebih besar. Berpijak pada elemen itulah Atiqah mendapat kesempatan memamerkan akting subtil penuh daya. Nina tak mengucapkan banyak kata, namun wajahnya memancarkan kekuatan luar biasa. Tatapan tegas ditambah senyum kebanggaan miliknya membuat bulu kuduk berdiri.

Bukan akibat terintimidasi, melainkan karena menyadari jika saat itu, Nina telah memenangkan pertarungan tanpa harus menyerang balik bersenjatakan amarah. Nina menang, sebab para “musuh” merasa malu, menyadari betapa buruk dan kerdil mereka, lalu menaruh hormat kala melihat sang wanita tak bisa diruntuhkan.

Mungkin beberapa falsafah bakal kurang cocok bagi sebagian pihak, termasuk saya. Tapi Mantan Manten mengajak penontonnya supaya tak mengamati lewat satu perspektif dan pengalaman belaka. Begitu saya coba menerapkan itu dalam proses menyikapi masalah-masalah yang ditawarkan filmnya, hasilnya seperti yang diucapkan Marjanti. Beban saya terangkat. Mantan Manten meninggalkan kedamaian di hati, meski di beberapa titik air mata terlalu sulit dibendung.

23 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

entah kenapa, deskripsi mas rasyid tentang ending filmnya mengingatkan saya akan ending crazy rich asian wkwk

Chan hadinata mengatakan...

Bru mau bilang begitu.. jgn2 satu universe yah mas.. wkwk
Mas.. ini visinema punya siapa sih?? Gak ada india2nya kh kyk punjabi, soraya, parwez dkk??

Anonim mengatakan...

selalu berharap banyak sama film-film dari visinema, ngeliat review film ini yang bagus kayanya ga bakal mikir dua kali buat nonton, bahkan di weekend.

Safri mengatakan...

Sayangnya rilis berbarengan dengan film DC dan Disney, jadi jam tayangnya sedikit. Dan penayangan pertamanya kemarin aja sepi. Hopeless kalau bakal bertahan lama di bioskop.

Unknown mengatakan...

Baru kemaren mulai tayang, hari ini Mantan Manten sudah harus berbagi studio dengan film lain..

Padahal review dari Mas Rasyid sangat bagus yak, dari segi bintang sebenarnya menjual juga kan -lupakan sejenak kasus mpok Ratna- , gala premiere dan promosi sepertinya gencar jugak..

Gimana tuh menurut pendapat Mas Rasyid?

dim mukti mengatakan...

adegan ngeroko menjelang ending sama tatapan nina sama ayahnya surya itu favorit sih..

Rasyidharry mengatakan...

@anonim Mirip-mirip beda emang. Bedanya, di CRA, si cewek tetap melakukan konfrontasi "vulgar". Persamaannya di konteks merelakan dan menyakralkan pernikahannya.

@Chan Hahaha nggak ada. Murni punya pasangan Angga-Anggia. Makanya pendekatan mereka beda sama kebanyakan PH kan.

@Safri Yah, kalau itu apa mau dikata. Tapi jatah layar 167 (kalau nggak salah) sebenarnya nggak tergolong dikit amat. Cuma memang kurang rame.

@Unknown Terpengaruh juga sama beberapa show yang bermasalah. Saya sendiri kemaren show di-cancel karena file film belum ready. Problem yang sering terjadi di Visinema, termasuk Terlalu Tampan kemaren yang penayangan hari pertama banyak dipotong karena itu. Tapi gimana ya, track record jumlah penonton Visinema kan sebenernya memang nggak luar biasa. Keluarga Cemara pengecualian ya, karena unsur nostalgia & familiaritas.

Chan hadinata mengatakan...

Iya.. bru cari2 artikel angga.. salut sih.. strategi monetisasi visinema,, gimana caranya bikin film bagus dan tetap laris.. gak melulu sbagai pengeruk uang tanpa meniñggalkan kualitas
Semoga tetap istiqomah
In visinema we trust

Rasyidharry mengatakan...

Yes, makanya seneng juga Keluarga Cemara laris. Bisa gaswat itu kalau flop. Seenggaknya sekarang ada tambahan napas sambil nunggu film hits berikutnya

jazzeldiyast mengatakan...

Bintangnya tinggi :D :D

Anonim mengatakan...

Wadidawww tinggi amat bintangnya, filmnya lagi sesuai suasana hati ya mas? ��

KOKO mengatakan...

Poster nya Mantan Manten ini menipu.. filmnya kelam. Begitu keluar Bioskop ada perasaan legowo sama apa ya. Susah sih di jelasin.

Anonim mengatakan...

@koko: setuju kalo posternya menipu. tapi kalo filmnya dibilang kelam gak juga sih...ceritanya mengalir, gak bikin banyak berpikir. Pemilihan Dodit Mul yang tampil di lumayan banyak scene memberikan kesegaran di film yang lumayan serius temanya.

Mungkin yang Koko maksud kelam karena ada beberapa adegan yg berhubungan dengan ritual tokoh utama sebagai perias / dukun manten?
Dari beberapa artikel yang saya baca, memang seperti itu ritual sang dukun sebelum melakukan paes kepada pengantin perempuan.

Well anyway, pemberian 4,5 bintang ini memang layak buat film Mantan Manten. Tema yg gak lazim ternyata bisa diangkat dan dibuat menarik di tangan F Latjuba dan tim Visinema

KOKO mengatakan...

Kelam disini yang saya maksud bukan jelek mas . Tapi lebih gimana ya. Kaya seolah buat perenungan diri sendiri aja gitu. Saya setuju kok kalo Mantan Manten ini jadi film terbaik Visinema tahun ini. Sayang. Film sebagus ini musti turun layar dengan cepat..

Rasyidharry mengatakan...

Tapi bener itu kalau dibilang posternya tricky. Karena kalau dijual sebagaimana adanya ya pasti lebih nggak laku lagi.

Fikry mengatakan...

Mungkin bagi orang jawa, film ini ngena banget dengan budaya mereka. Tapi saya dari minang masih kurang nangkep dengan tema budaya/ritual film ini. Dramatisasinya juga lempeng2 aja

Rasyidharry mengatakan...

Wajar kalau di film (bukan cuma Mantan Manten) ada kesenjangan budaya. Buat penonton yang bukan dari budaya yang filmnya angkat, fungsinya jadi pengenalan. Sama juga di urusan dramatisasi subtil yang bukan untuk semua orang. Tapi karena itulah saya apresiasi tinggi film ini. Belum banyak film arus utama kita yang "menolak" overdramatization.

Ulik mengatakan...

Sudah saatnya atiqah mengangkat piala citra. Jamila,maida,never lies,wonderfull,likas, kapan lagiii

Rasyidharry mengatakan...

Setuju. Sejauh ini sih pesaingnya baru Raihaanun (27 Steps of May) & Maudy Koesnaedi (Ave Maryam). Mungkin nanti ketambah salah satu cast Bebas atau Raihaanun juga di Twivortiare. Film lain belum ada gambaran.

Ulik mengatakan...

Juri kadang lebih melihat film2 kaya 27 steps of may apalagi melihat permasalahan keluarga atiqah kayanya agak berat. Harusnya dia udah menang dari jamila dan sang presiden ketimbang laura basuki

Rasyidharry mengatakan...

Laura Basuki itu tahun berikutnya. FFI 2009 yang menang Titi Sjuman (Mereka Bilang, Saya Monyet!). Atiqah dapat nominasi, tapi buat film 'Ruma Maida'.

Ulik mengatakan...

Hahaha malu deh sok tau

Anonim mengatakan...

Atiqah di Jamila lebih mirip orang sakau drugs, lebay aktingnya