Diam-diam Lola Amaria adalah sineas
produktif, dengan catatan lima film dalam enam tahun terakhir, di mana sejak Jingga pada 2016, ia rutin merilis film setiap
tahun. Kenapa saya sebut “diam-diam”? Karena melihat catatan jumlah penonton,
produktivitas Lola rasanya tak banyak diketahui publik. Pun secara kualitas,
karyanya belakangan mudah terlupakan. Sama sekali tidak buruk, namun selalu
meninggalkan kesan, “Sebenarnya ini bisa bagus, tapi.....”.
Selalu bertindak selaku produser,
berarti Lola jeli mencari materi berpotensi, tapi lemah perihal eksekusi. Tidak
terkecuali 6,9 Detik, yang mengangkat
kisah hidup Aries Susanti Rahayu, atlet panjat tebing peraih medali emas cabang
panjat tebing kategori “speed” di
Asian Games 2018, yang dijuluki “Spider-Woman”.
Kisahnya membawa kita mundur menuju
masa kecil Aries (Kayla Ardianto) di Purwodadi, ketika ia mesti memendam rindu
kepada sang ibu (Brilliana Arfira), yang bekerja sebagai TKW di Arab Saudi.
Berbeda dibanding dua kakak perempuannya, sejak dini Aries sudah memperlihatkan
minat akan olah raga. Dia kerap menjuarai lomba lari antar sekolah, hingga akhirnya
mengenal panjat tebing, mulai mengikuti berbagai pelatihan, sampai akhirnya
meraih emas Asian Games 2018 di bawah tempaan keras pelatihnya, Hendra (Ariyo
Wahab).
Kisahnya mengalir mulus selama
sekitar 35 menit pertama (total durasi 78 menit). Naskah buatan Sinar Ayu
Massie (3 Hari untuk Selamanya, Sebelum
Pagi Terulang Kembali, Lima) merangkum drama ibu-anak hangat di tengah
paparan coming-of-age yang mampu
memberi pemahaman atas bagaimana masa lalu Aries membentuk sosoknya sekarang:
seorang wanita tangguh. Informatif, meski sederana pun belum mencapai tingkat “eksplorasi
mendalam”.
Pengarahan Lola menjauhkan filmnya dari jurang melodrama cengeng,
cenderung mendekati gaya sinema alternatif, di mana keintiman diutamakan,
dramatisasi dilakukan secukupnya, termasuk lewat minimnya pemakaian usik. 6,9 Detik memang ingin tampil sederhana,
memaksimalkan drama lewat interaksi normal sehari-hari. Sentuhan nasionalisme
pun dimunculkan tepat guna. Jargon-jargon macam “Kita satu Indonesia” masih
terdengar, tapi tidak dalam kadar berlebih (“Rumah Merah Putih”, I’m
waving at you).
Sayang, melewati selepas 35 menit, progres
ceritanya bergerak secepat lesatan Aries memanjat. Begitu buru-buru, seolah Lola
dan Sinar hanya tertarik bercerita tentang masa kecil sang protagonis, namun
sadar bahwa meninggalkan fase remaja Aries merupakan kemustahilan. Padahal di
situlah pergolakan batin Aries mencapai titik puncak. Rasa rindu terhadap ibu berubah
jadi benci, kelabakan menghadapi beratnya pelatnas, sempat lari ke alkohol
(dalam sekuen mabuk-mabukkan konyol ketika tim artistik lupa jika minuman keras
tidak berbuih seperti teh), hingga konflik percintaan yang cuma numpang lewat
beberapa detik.
Paling fatal adalah caranya meringkas
gesekan Aries dengan ibu. Mendadak semua usai, mendadak semua baik-baik saja.
Dampaknya, upaya menjembatani antara gejolak di tiap fase hidup Aries dengan
kesuksesannya gagal total tatkala perjalanan panjang penuh lika-liku sang juara
dikemas sebagai proses kilat, yang menjadikan keberhasilan Aries menyabet
medali emas kurang menggetarkan hati. Ini soal momentum. Karena tampil serba
kilat, saya tidak merasa terikat dan menanti-nanti momen bersejarah itu.
Terlebih klimaksnya hanya tersusun atas kompilasi rekaman pertandingan asli
seadanya.
Satu-satunya penyelamat paruh kedua
justru datang dari Aries Susanti Rahayu yang memerankan dirinya sendiri. Jelas
bukan akting kelas ajang penghargaan, tapi sukses mencapai tujuan yang ada di
balik penunjukkan dirinya sebagai pemain. Lola jelas mengincar kesan natural,
baik terkait elemen panjat tebing maupun drama, dan Aries mampu menghadirkan
itu. Andai saja filmnya menyisihkan waktu guna eksplorasi lebih jauh. Respon “andai
saja...” sayangnya masih mengakrabi karya-karya Lola Amaria.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar