30/09/19

A SHAUN THE SHEEP MOVIE: FARMAGEDDON (2019)

0 View
Dua faktor penentu kepuasan menonton A Shaun the Sheep Movie: Farmageddon adalah seberapa suka anda akan humor British dan seberapa banyak referensi soal judul-judul fiksi ilmiah klasik dalam filmnya yang bisa anda tangkap. Di antara jalinan plot familiar milik sekuel Shaun the Sheep Movie (2015) ini, kedua hal di atas berjasa menghadirkan hiburan menyenangkan dengan kreativitas di luar dugaan. Belum menonton film pertama atau serial televisinya? Bukan masalah, sebab kisah Farmageddon berdiri sendiri.  

Peternakan Mossy Bottom tampak seperti biasa. Dipimpin oleh Shaun (Justin Fletcher), para domba selalu memancing kekacauan, sehingga Bitzer (John Sparkes) si anjing dibuat kerepotan. Hingga suatu malam sebuah UFO mendarat, menciptakan kehebohan massal di seluruh penjuru kota. Awak pesawat tersebut adalah Lu-La (Amalia Vitale), alien kecil menggemaskan yang bisa menggerakkan barang-barang bak pemilik kemampuan telekinesis.

Shaun pun memutuskan mengantarkan Lu-La—yang tersasar sampai ke peternakannya—kembali ke pesawat, tanpa menyadari bahwa sebuah organisasi mirip Men in Black sedang memburu Lu-La, dalam misi yang dipimpin Agen Red (Kate Harbour). Bisa ditebak, mayoritas 87 menit durasinya dipenuhi aksi kejar-kejaran konyol. Naskah garapan Mark Burton dan Jon Brown tidak menerapkan modifikasi formula sedikit pun, membangun alurnya berbasis kekacauan demi kekacauan di tiap lokasi yang disinggahi karakternya.

Keunikannya terletak pada gaya melucu. Burton dan Brown menolak setengah-setengah membangun kekonyolan, organisasi misterius yang jadi lawan para protagonis pun tidak digambarkan sebagai sosok mengerikan, jauh dari kesan kompeten, kerap melakukan deretan kesalahan bodoh, tidak terkecuali Agen Red yang mengira Bitzer dalam balutan kostum astronot adalah alien. Pun saat menyentuh ranah slapstick yang biasanya kerap jadi jalan keluar malas, Farmageddon menawarkan kreativitas, seperti dicontohkan “adegan supermarket” saat duo sutradara, Will Becher dan Richard Phelan, memvisualkan ide-ide absurd para penulisnya guna membangun kekacauan sarat kelucuan.

Sebagaimana sempat disinggung di paragraf pertama, gagasan kreatif para pembuat film ini turut tertuang dalam selipan-selipan referensi untuk berbagai film maupun serial fiksi ilmiah sebutlah 2001: A Space Odyssey (1968), E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Close Encounters of the Third Kind (1977), hingga seri The X-Files. Bentuknya beragam, dari penggunaan musik, adegan, elemen cerita, sampai pernak-pernik lain.

Diproduksi oleh Aardman Animations (The Pirates! In an Adventure with Scientists!, Shaun the Sheep Movie, Early Man),teknik stop-motion claymation masih tetap memanjakan mata. Sekali waktu Farmageddon bisa membuat kita lupa bahwa filmnya dibuat menggunakan tanah liat, khususnya di gambar-gambar wide shot maupun ketika elemen fiksi ilmiah tengah jadi sorotan (Lu-La memamerkan kekuatannya, perjalanan luar angkasa, dan lain-lain), kemudian baru tersadar sewaktu kamera menyorot karakternya dari dekat dan memperlihatkan sisa-sisa sidik jari di wajah mereka.

Upaya Farmageddon menambahkan elemen dramatik tidak selalu berjalan lancar. Penggunaan lagu pop berlirik sendu (Everything I do is just my way to escape you) guna mengekspresikan kegetiran batin karakternya terasa mengganggu, mengingat ini merupakan animasi di mana tokoh-tokohnya tidak bertutur kata layaknya manusia pada umunya. Tapi kekurangan itu mampu terobati melalui konklusi menyentuh hati ketika (secara tak terduga) salah satu karakter memperoleh bobot emosi. Tatkala reuni keluarga bertemu terwujudnya kenangan masa kecil. Hangat.

6 komentar :

  1. Aardman emg selalu nyuguhin stopmotion yg fresh yg kocak abis, dibandingin sama prequelnya gimana mas? Sedemen itu soalnya sama installment pertamanya.

    BalasHapus
  2. Sayang banget XXI ngasih jatah layar yang sangat sedikit, semua bioskop XXI terdekat dari rumahku gak ada yg nayangin Shaun the Sheep :(

    BalasHapus
  3. Hayya mana nih bang? 😂😂😂

    BalasHapus
  4. Sama film pertamaya bagus mana min. Film pertamanya suka bgt sih, endingnya bikin terharu.

    BalasHapus
  5. Ditunggu secepatnya mas review jokernya

    BalasHapus
  6. Anonim3:16 PM

    Hayya? Ke laut aje.

    Biasanya gak mau dikritik,
    Maunya dipuji-puji. So typical .

    BalasHapus