Dua faktor penentu kepuasan
menonton A Shaun the Sheep Movie:
Farmageddon adalah seberapa suka anda akan humor British dan seberapa banyak referensi soal judul-judul fiksi ilmiah
klasik dalam filmnya yang bisa anda tangkap. Di antara jalinan plot familiar
milik sekuel Shaun the Sheep Movie (2015)
ini, kedua hal di atas berjasa menghadirkan hiburan menyenangkan dengan kreativitas
di luar dugaan. Belum menonton film pertama atau serial televisinya? Bukan
masalah, sebab kisah Farmageddon berdiri
sendiri.
Peternakan Mossy Bottom tampak
seperti biasa. Dipimpin oleh Shaun (Justin Fletcher), para domba selalu memancing
kekacauan, sehingga Bitzer (John Sparkes) si anjing dibuat kerepotan. Hingga
suatu malam sebuah UFO mendarat, menciptakan kehebohan massal di seluruh
penjuru kota. Awak pesawat tersebut adalah Lu-La (Amalia Vitale), alien kecil
menggemaskan yang bisa menggerakkan barang-barang bak pemilik kemampuan
telekinesis.
Shaun pun memutuskan mengantarkan
Lu-La—yang tersasar sampai ke peternakannya—kembali ke pesawat, tanpa menyadari
bahwa sebuah organisasi mirip Men in
Black sedang memburu Lu-La, dalam misi yang dipimpin Agen Red (Kate
Harbour). Bisa ditebak, mayoritas 87 menit durasinya dipenuhi aksi
kejar-kejaran konyol. Naskah garapan Mark Burton dan Jon Brown tidak menerapkan
modifikasi formula sedikit pun, membangun alurnya berbasis kekacauan demi
kekacauan di tiap lokasi yang disinggahi karakternya.
Keunikannya terletak pada gaya
melucu. Burton dan Brown menolak setengah-setengah membangun kekonyolan,
organisasi misterius yang jadi lawan para protagonis pun tidak digambarkan
sebagai sosok mengerikan, jauh dari kesan kompeten, kerap melakukan deretan
kesalahan bodoh, tidak terkecuali Agen Red yang mengira Bitzer dalam balutan
kostum astronot adalah alien. Pun saat menyentuh ranah slapstick yang biasanya kerap jadi jalan keluar malas, Farmageddon menawarkan kreativitas, seperti
dicontohkan “adegan supermarket” saat duo sutradara, Will Becher dan Richard
Phelan, memvisualkan ide-ide absurd para penulisnya guna membangun kekacauan
sarat kelucuan.
Sebagaimana sempat disinggung di
paragraf pertama, gagasan kreatif para pembuat film ini turut tertuang dalam
selipan-selipan referensi untuk berbagai film maupun serial fiksi ilmiah
sebutlah 2001: A Space Odyssey (1968),
E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Close Encounters of the Third Kind (1977),
hingga seri The X-Files. Bentuknya
beragam, dari penggunaan musik, adegan, elemen cerita, sampai pernak-pernik
lain.
Diproduksi oleh Aardman Animations
(The Pirates! In an Adventure with
Scientists!, Shaun the Sheep Movie, Early Man),teknik stop-motion claymation masih
tetap memanjakan mata. Sekali waktu Farmageddon
bisa membuat kita lupa bahwa filmnya dibuat menggunakan tanah liat,
khususnya di gambar-gambar wide shot
maupun ketika elemen fiksi ilmiah tengah jadi sorotan (Lu-La memamerkan
kekuatannya, perjalanan luar angkasa, dan lain-lain), kemudian baru tersadar
sewaktu kamera menyorot karakternya dari dekat dan memperlihatkan sisa-sisa
sidik jari di wajah mereka.
Upaya Farmageddon menambahkan elemen dramatik tidak selalu berjalan
lancar. Penggunaan lagu pop berlirik sendu (Everything
I do is just my way to escape you) guna mengekspresikan kegetiran batin
karakternya terasa mengganggu, mengingat ini merupakan animasi di mana
tokoh-tokohnya tidak bertutur kata layaknya manusia pada umunya. Tapi
kekurangan itu mampu terobati melalui konklusi menyentuh hati ketika (secara
tak terduga) salah satu karakter memperoleh bobot emosi. Tatkala reuni keluarga
bertemu terwujudnya kenangan masa kecil. Hangat.
Aardman emg selalu nyuguhin stopmotion yg fresh yg kocak abis, dibandingin sama prequelnya gimana mas? Sedemen itu soalnya sama installment pertamanya.
BalasHapusSayang banget XXI ngasih jatah layar yang sangat sedikit, semua bioskop XXI terdekat dari rumahku gak ada yg nayangin Shaun the Sheep :(
BalasHapusHayya mana nih bang? 😂😂😂
BalasHapusSama film pertamaya bagus mana min. Film pertamanya suka bgt sih, endingnya bikin terharu.
BalasHapusDitunggu secepatnya mas review jokernya
BalasHapusHayya? Ke laut aje.
BalasHapusBiasanya gak mau dikritik,
Maunya dipuji-puji. So typical .