LITTLE WOMEN (2019)

6 komentar
Pada era #MeToo, apabila digarap oleh sineas lain, adaptasi layar lebar ketujuh dari novel klasik berjudul sama karya Louisa May Alcott ini bisa jadi lahan presentasi radikalisme SJW, di mana romantisme mungkin dihilangkan karena dipandang melemahkan. Tapi di tangan Greta Gerwig selaku sutradara sekaligus penulis naskah, Little Women berpesan secara sehat, dengan menyeimbangkan idealisme perihal kritik sosial dengan kompromi terhadap tuntutan industri. Justru keseimbangan semacam ini punya tingkat kesulitan paling tinggi.

Protagonisnya bernama Jo March (Saoirse Ronan), gadis muda yang berambisi meniti karir sebagai penulis. Beberapa cerita pendeknya berhasil diterbitkan di surat kabar, hanya saja sang editor mewajibkan agar Jo membuat tokoh utama wanitanya menikah di akhir cerita. Apakah Jo merupakan proyeksi Gerwig sendiri, yang berjuang menghadapi benturan idealis versus realistis sebagai seorang seniman? Mungkin baginya melahirkan karya ibarat pernikahan, di mana gagasan romantisme ideal mesti berkompromi dengan strategi ekonomi.

Kisahnya tersaji secara non-linear. Latar tahun 1868 membuka filmnya. Saat itu Jo menjadi guru di New York sembari tetap berusaha mewujudkan mimpinya menulis, mengharuskannya terpisah dari keluarganya. Jo punya tiga saudari: Meg (Emma Watson) yang mendambakan pernikahan dan kehidupan mapan, Beth (Eliza Scanlen) si pemalu, dan Amy (Florence Pugh) si bungsu yang paling bersemangat. Guna membawa penonton berkenalan dengan kepribadian masing-masing puteri keluarga March serta hubungan di antara mereka, alurnya rutin mundur ke tahun 1861, kala keempatnya tinggal bersama sang ibu, Marmee (Laura Dern), yang dikenal penyabar, sementara ayah mereka pergi berjuang di Perang Sipil. Meramaikan hidup mereka adalah kedatangan Laurie (Timothée Chalamet) si pemuda berkepribadian menyenangkan dari rumah mewah di seberang yang hatinya terpikat oleh Jo.

Tidak semua lompatan antar masa berjalan mulus, khususnya terkait pemilihan timing perpindahan yang acap kali lemah dalam membangun keterkaitan, tetapi pilihan gaya narasi ini bukannya tanpa tujuan. Jelang akhir, Jo dan Amy sempat terlibat diskusi singkat mengenai substansi kisah keluarga March diangkat menjadi sebuah novel. Berlawanan dengan Jo, menurut Amy, kehidupan domestik yang sekilas biasa itu bakal terasa berharga jika dituangkan ke dalam tulisan. Poin itu pula yang ingin dicapai Gerwig melalui cara bertuturnya. Bagaimana peristiwa-peristiwa masa lalu menjadi kenangan berharga yang terekam di memori karakter. Nantinya, dampak singgungan antara kedua masa tersebut memuncak dalam momen paling meremukkan hati milik filmnya.  

Semakin berharga, sebab seperti pada Lady Bird tiga tahun lalu, Gerwig masih piawai memancarkan kesan hangat sebuah rumah, yang lagi-lagi bukan sebatas dimaknai sebagai bangunan tempat berteduh, melainkan termasuk orang-orang tercinta juga kenangan-kenangan di sana. Kesan yang makin nyata berkat sinematografi Yorick Le Saux (I Am Love, Clouds of Sils Maria, High Life) plus orkestra gubahan Alexandre Desplat (Argo, The Grand Budapest Hotel, The Shape of Water). Kalau gambar-gambarnya serasa memeluk lembut, maka musiknya mencengkeram hati.

Gerwig pun masih mempertahankan sensitivitasnya menyulut getar-getar rasa melalui pemandangan humanis berbasis interaksi intim antar tokoh, sembari tetap bersedia menghembuskan sentuhan humor, termasuk melalui Aunt March (Meryl Streep) yang tak henti berpetuah mengenai kewajiban menikahi pria kaya. Penulisan Gerwig ditambah sisi witty Streep membuat wanita tua satu ini, meski sering terdengar menyebalkan, takan menjadi sasaran kebencian.

Little Women diberkahi ensemble cast jawara. Saoirse Ronan menampilkan beratnya kegamangan hati wanita yang mengidamkan kemandirian dan kebebasan sekaligus artis yang dihadang tembok tebal bernama “realita”; Emma Watson adalah Emma Watson yang kebintangannya sukar diredam; Florence Pugh begitu baik menangani kompleksitas individu egois yang sejatinya kerap terluka; dan Eliza Scanlen akan menarik simpati setelah tampil meyakinkan memerankan gadis lembut berhati emas. Di luar empat saudari tersebut masih ada Timothée Chalamet lewat pesona khasnya, serta Laura Dern yang menegaskan bahwa 2019 berada di genggamannya sebagai satu lagi karakter ibu penuh kasih dalam film Greta Gerwig.

Little Women ibarat wujud kedewasaan dan kebijaksanaan Gerwig, yang memahami betapa suatu perjuangan buta tanpa cinta yang sebatas didorong kebencian atau ambisi takkan berarti, seberapa benar dan besar perjuangan itu. Sesekali kompromi perlu dilakukan. Bukan berarti mengalah, melainkan merangkul. Sebagai penutup, mari membicarakan beberapa data. Filmnya memperoleh pendapatan $164 juta (empat kali lipat biaya produksi), banjir pujian dari kritikus (skor 95% di Rotten Tomatoes), memuaskan penonton umum (skor A- di CinemaScore), dan menyabet enam nominasi Academy Awards. Greta Gerwig berhasil merangkul banyak kalangan sehingga meraih kemenangan besar.

6 komentar :

Comment Page:
Nouvaleka mengatakan...

Secinta itu saya sama filmnya. Hahaha. Btw line waktu si Meg ngobrol sama suaminya ttg kebahagiaan suami istri itu jempol bgt. Dialog di film ini gaada yg sia2. Semuanya juara.

Meuthia Nabila Pratiwi mengatakan...

Aku kok malah agak bosen yaa sama film ini. Cuma ketolong sama cast nya gitu jadi lebih hidup

INDOXXI mengatakan...

Seru sih ini filmnya .

Dewa mengatakan...

Bagus banget....dibanding versi susan sarandon dan winona ryder

Hesti mengatakan...

Scene favorit waktu Beth meninggal. Urutan adegannya yang flashbavk bisa bikin naik(senang) lalu tiba2 di alur maju nangis, apalagi scenenya dibuat tanpa dialog dan sempat tanpa musik cuma main ekspresi pemainnya

Acehflix21 mengatakan...

ACEHFLIX21 Nonton Streaming dan Download Film Bioskop Online LK21 - ACEHFLIX21 Tempat Nonton Movie Online Cinema 21 Subtitle Indonesia terlengkap subtitle Indonesia gratis online download