THE WAY BACK (2020)

2 komentar
Lepas dari kostum Batman, Ben Affleck kembali memerankan pria berkehidupan kelam yang terluka akibat tragedi masa lalu. Tapi saat The Caped Crusader merupakan salah satu hasil kerja paling mengecewakan dari sang aktor (walau ia meyakinkan sebagai Bruce Wayne dengan tampilan fisik bak versi live action serial legendaris Batman: The Animated Series), The Way Back jadi salah satu performa terbaiknya. Mungkin Afflect tidak memerlukan topeng untuk tampil maksimal, sebagaimana karakternya dalam film ini, yang perlu membuka diri guna beranjak dari “lubang hitam”.

Affleck memerankan Jack Cunningham, seorang pekerja konstruksi yang tiap hari menenggelamkan diri dalam alkohol. Sepulang kerja ia mampir ke bar, saat mandi ia membawa sekaleng bir, sembari kerja pun ia diam-diam membekali diri dengan minuman keras. Istrinya, Angela (Janina Gavankar), meninggalkannya dan kini telah menata ulang hidup dengan memperoleh pekerjaan mapan serta menemui pria baru. Berbeda dengan Jack, Angela tidak menatap dunia melalui sudut pandang yang kelam.

Apa yang membuat Jack punya sudut pandang tersebut? Pelan-pelan The Way Back bakal mengungkapnya. Alasan kehancuran Jack, maupun hal-hal lain seperti proses penebusan kesalahan hingga elemen drama olah raga yang filmnya miliki, sejatinya klise. Tapi naskah buatan Brad Ingelsby, yang kemudian diterjemahkan oleh penyutradaraan Gavin O'Connor (Warrior, The Accountant), berusaha menjauhkan diri dari pendekatan klise dengan menekan dramatisasi, yang membiarkan penonton menyimpulkan secara mandiri, fakta-fakta mengejutkan nan menyakitkan seputar karakternya.

Jack memang pemabuk, tapi saya bisa berempati dengan kejengahannya, dengan betapa mengesalkan saat kamu sedang jatuh, orang-orang justru rutin melempar kritik, bertanya, “Kenapa kamu menghancurkan hidupmu? Kenapa kamu tidak bangkit?”, tanpa memahami rasa sakitnya. Apalagi sang istri meninggalkannya. Tentu Angela tidak keliru. Dia pun terluka. Dia pantas memperbaiki kehidupannya. Tapi tidak bisa disangkal, itu memperburuk kondisi Jack.

Di sinilah akting Ben Affleck berkontribusi. Bermain subtil, Affleck bukan mengimitasi rasa sakit lewat tampilan luar. Seolah rasa sakit itu benar-benar menggerogoti dari dalam, menciptakan kerapuhan yang tak sampai membuat penonton membencinya. Kita ingin ia bangkit, termasuk saat Jack ditawari melatih tim basket SMA Katolik Bishop Hayes, tempat di mana dahulu Jack dikenal sebagai salah satu pemain terbaik di kalangan pelajar.

Seperti sudah saya sebut, The Way Back turut merambah keklisean drama olah raga. Serupa Jack, kondisi Bishop Hayes tengah hancur-hancuran. Prestasi tiarap, kuantitas tim terbatas, sementara para pemain tak punya disiplin memadai. Arahnya mudah ditebak. Kedua belah pihak akan saling menyadarkan. Masalahnya, tidak ada keintiman antara Jack dengan anak-anak asuhnya. Interaksi mereka di luar pertandingan dan pembahasan taktik begitu terbatas, untuk bisa membuat penonton merasa terikat, kemudian mendukung aksi mereka di lapangan.

Gavin O'Connor memang handal mengolah drama secara elegan, tapi tidak soal unsur olah raga. Sekuen latihannya, jangankan menambah insight mengenai basket, menghibur dan menyulut adrenalin pun tidak. Begitu pun pertandingannya, yang kebanyakan cuma diisi potongan-potongan momen singkat yang tak signifikan, seperti rangkaian highlights yang footage-nya tak diseleksi. O’Connor gagal membuat penonton melebur dalam ketegangan aksi saling kejar skor.

The Way Back bisa saja terus menempuh jalur formulaik, berhenti pada titik yang oleh film kebanyakan, bakal dipakai sebagai puncak kejayaan karakternya. Alih-alih demikian, Brad Ingelsby justru membawa kisahnya terus berlanjut, membuat filmnya seolah memiliki babak keempat. Keputusan itu dilakukan sebagai bentuk penolakan simplifikasi terhadap dinamika psikis individu yang tengah berduka. Andai memilih konklusi sesuai formula, The Way Back hanya akan membuat protagonisnya mengejar hari kemarin, bergantung pada “the good old glorious day”. Tapi “the good old glorious day” tersebut hanya dijadikan pijakan untuk memasuki kejayaan sesungguhnya. Jack mengintip sisi manis masa lalu guna menghadapi kepahitan yang juga telah lalu, kembali ke sosok lamanya yang lebih baik, lalu berusaha melangkah maju.


Available on CATCHPLAY

2 komentar :

Comment Page:
adnanman mengatakan...

Iya sih bang. Pas baca sinopsisnya mirip2 film kayak coach carter. Tp emang feel pertandingannya kurang greget. Mungkin penulis naskahnya bingung mau buat film drama olahraga atau studi karakter alkoholik gitu kali ya ?

Rasyidharry mengatakan...

Nggal juga. Tujuannya jelas kok kayak udah ditulis di paragraf terakhir.