TIME TO HUNT (2020)

1 komentar
Time to Hunt merupakan film Korea Selatan pertama yang berkesempatan tayang di Berlinale Special, sebuah program dalam Festival Film Internasional Berlin yang menyoroti film dengan format unik dan/atau punya relevansi topik. Berlatar dunia distopia, di sini tidak ada neon warna-warni, hologram, maupun mobil terbang. Semua seperti dunia kita sekarang, hanya lebih suram, pun gedung-gedung terbengkalai jamak dijumpai, di mana banyak di antaranya merupakan toko yang ditinggalkan sang pemilik selepas gulung tikar.

Tidak ada pemberontakan robot, tidak ada perang saudara, tidak ada ledakan nuklir penghancur segala. Dari berita yang secara berkala sayup-sayup terdengar dari televisi, kita tahu Korea Selatan mengalami krisis finansial. IMF menolak memberikan dana bantuan tambahan. Demonstrasi buruh akhirnya jadi pemandangan sehari-hari. Tidakkah itu terasa relevan? Begitu dekat, kita bisa membayangkan bila situasi serupa terjadi pada realita.

Mata uang won hancur lebur dan cuma dollar yang masih punya nilai. Banyak orang bebas membawa senjata api. Tapi bukankah senjata api di film aksi merupakan kewajaran? Korea Selatan berbeda dengan Amerika Serikat. Pertaturan tentang senjata begitu ketat, di mana seluruh senjata api yang dipakai untuk aktivitas berburu hingga olah raga mesti disimpan di kantor polisi. Coba perhatikan. Bukankah film aksi Korea Selatan lebih sering mengedepankan perkelahian tangan kosong atau dengan senjata tajam?

Di tengah kekacauan, hiduplah empat sahabat: Jang-ho (Ahn Jae-hong), Ki-hoon (Choi Woo-shik), Sang-soo (Park Jung-min), dan Joon-seok (Lee Je-hoon) yang baru keluar dari penjara. Joon-seok mendekam dalam bui agar ketiga kawannya lolos, sewaktu aksi mereka merampok toko perhiasan tidak berjalan mulus. Berharap memakai uang hasil rampokan untuk memulai hidup baru di Taiwan, Joon-seok harus kecewa saat situasi carut-marut ditambah aturan-aturan ekonomi baru membuat uang mereka nyaris tak bersisa.

Yoon Sung-hyun (Bleak Night) sebagai sutradara sekaligus penulis naskah tidak langsung membawa filmnya tancap gas. Dibangun pelan-pelan, setelah melewati 30 menit, barulah kita melihat Joon-seok memimpin teman-temannya melakukan aksi gila, yakni merampok kasino tempat Sang-soo bekerja. Berbeda dengan perampokan sebelumnya, kali ini, begitu karyawan kasino menyalakan alarm, alih-alih polisi, sekelompok premanlah yang turun tangan mengejar keempat protagonis kita. Risikonya bukan mendekam di penjara, melainkan meregang nyawa.

Beruntung mereka berhasil lolos dan berteriak kegirangan melihat setumpuk uang di dalam tas. Semakin keras teriakan bahagia itu ketika Sang-soo tidak lupa membawa pergi harddisk berisi rekaman CCTV kala perampokan dilangsungkan. Andai mereka tahu ada rekaman lain yang tersimpan di harddisk tersebut, mungkin teriakan tadi berubah jadi teriakan ketakutan, dan mereka akan berharap Sang-soo lupa menjalankan tugasnya.

Siapa sangka, akibat sekeping harddisk, seorang pembunuh misterius bernama samaran Han (Park Hae-soo) sampai memburu mereka. Han adalah antagonis yang bak tak punya emosi humanis. Baginya, membunuh ibarat hiburan di waktu senggang. Ditambah tatapan dan senyum dingin Park Hae-soo, membuatnya makin mengerikan. Sosok Han tak ubahnya pembunuh dari film-film slasher (Atau Terminator? Atau Anton Chigurh dari No Country for Old Men?).yang berjalan santai mendekati mangsanya dan bisa tiba-tiba muncul di mana pun. Bagaimana bisa dia tahu hotel tempat Joon-seok dan kawan-kawan menginap?

Sung-hyun menyuntikkan elemen thriller kental tidak hanya melalui villain-nya. Dibantu sinematografer Lim Won-geun, sang sutradara mengincar nuansa atmosferik lewat pencahayaan minim yang didominasi warna hijau atau merah. Melengkapi visualnya, departemen audio pun berjasa membangun intensitas. Primary, musisi hip hop sekaligus produser yang telah berkolaborasi dengan banyak nama besar (Zion. T, Simon D, MBLAQ, Jessi, EXID, JB, dan lain-lain), memproduksi musik yang membantu usaha Sung-hyun menggedor jantung penonton melalui aksi kucing-kucingan dan baku tembak bertempo cepat. Tata suaranya pun sempat pamer kreativitas sewaktu meleburkan bunyi alarm mobil dengan musik chaotic, hingga sampai pada titik di mana penonton sulit membedakan mana suara alarm, mana musik.

Urusan teknis aksi, Time to Hunt memang nyaris tanpa masalah. Di luar itu, sayangnya lain cerita. Penulisan terhadap keempat protagonisnya lemah. Mereka membosankan, tidak digali secara memadai, sehingga tak menyisakan alasan bagi penonton untuk menaruh kepedulian. Alhasil, tiap adegan aksinya rehat sejenak, dinamika seketika lenyap. Datar. Persoalan terkait naskah ini sayangnya berlanjut sampai akhir.

Menjelang klimaks, Sung-hyun tiba-tiba menyertakan satu pihak tambahan, yang fungsinya hanya semacam deus ex machina yang mengkahiri konfik sedemikian gampang, daripada alat bantu menambah keseruan dan/atau kompleksitas konflik. Yoon Sung-hyun memilih tak menuntaskan proses perkembangan karakternya demi menjadikan Time to Hunt sebagai setup bagi sekuel yang jauh lebih menarik. Padahal ada potensi emosi yang cukup tinggi, tersimpan dalam ironi tentang seseorang yang pergi mencari kedamaian, namun begitu tiba di tujuan, ia justru dihantui ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah. Banyak rasa berkecamuk dalam dirinya, tapi tidak ada kedamaian.


Available on NETFLIX

1 komentar :

Comment Page:
tegar mengatakan...

Ini film lumayan menegangkan, ga sy sangka, bakal semenarik ini klo melihat 30menit diawal.pas 30 menit terakhir malah kendor filmnya, hrsnya banyak kesempatan han bs bunuh joon seok, tp dilepas gt aja.hrsnya bs selesai 90menit aja nih film, abis itu siapin deh sekuel lanjutan yg kayanya bakal lebih keren.