ATHLETE A (2020)

Tidak ada komentar
Karena sejak kecil ia senang memanjat perabotan di rumah, demi keamanan, orang tua Maggie Nichols mendaftarkannya ke tim USA Gymnastics, sebab di sana ada matras yang memadai serta pelatih mumpuni. Siapa sangka, justru “keamanan” jadi sesuatu yang tak didapatkan Maggie, setelah ia dan ratusan atlet lain menjadi korban pelecehan Larry Nassar selaku dokter tim. Tapi Athlete A memperlihatkan bahwa kasus itu lebih besar, lebih terstruktur, daripada aksi terkutuk satu individu biadab yang menghancurkan impian, bahkan hidup gadis-gadis berbakat.

Apa jawaban untuk pertanyaan, “Apa yang diperlukan seorang atlet agar berprestasi?”? Saya yakin, “disiplin” dan “kerja keras” merupakan jawaban yang paling sering muncul.Tidak salah, namun publik banyak yang tak menyadari, bahwa romantisasi atas perjuangan demi mengharumkan nama bangsa, berpotensi melahirkan tindakan-tindakan abusive, baik yang bersifat seksual, kekerasan fisik, maupun mental. Duo sutradara Bonni Cohen dan Jon Shenk (An Inconvenient Sequel: Truth to Power) mengeksplorasi isu di atas, dengan mengikuti investigasi tim jurnalis The Indianapolis Star.

Maggie Nichols— yang sebelum mengungkap jati dirinya, disebut oleh media sebagai “Athlete A”— mengawali perjalanan penuh fakta mencengangkan ini, dengan mengisahkan bagaimana karirnya berbalik 180 derajat. Berstatus salah satu atlet senam terbaik di Amerika, mimpinya bergabung dalam tim olimpiade 2012 harus dikubur, ketika ia gagal terpilih. Bukan karena penurunan performa atau cedera, melainkan gara-gara laporan terkait pelecehan seksual oleh Larry, yang dilayangkan oleh orang tua Maggie.

Steve Penny, selaku Presiden USA Gymnastics, meminta Keluarga Nichols agar tak melapor pada polisi, karena menurutnya, itu bakal mengganggu investigasi yang dilakukan pihaknya, yang konon melibatkan FBI. Tentu investigasi itu tak pernah terjadi. Bahkan kelak terungkap kalau FBI terlibat kongkalikong dengan Steve Penny.

Athlete A tidak mengusung model bertutur baru. Masih memakai wawancara bergaya talking head, sambil disisipi stock footage dari beragam sumber. Keunggulan Cohen dan Shenk adalah perihal membangun intensitas melalui ketepatan memilih serta menyusun kombinasi footage, yang diperkuat musik gubahan Jeff Beal.

Walau bermuara di satu titik (pelecehan), film ini sejatinya memiliki banyak cabang, yang tak sebatas memperlebar cakupan hingga kehilangan fokus, melainkan memperdalam tiap cabang guna memperoleh satu pemahaman utuh. Proses investigasi menjadi medianya. Media mengunjungi ruang personal para penyintas, mengajak kita mengamati proses mereka menata ulang hidup kemudian menyusun lagi mimpi yang sempat mati, hingga membuat Athlete A, meski mengangkat persoalan kelam, tak berakhir di nada suram. Sesuatu yang pantas didapatkan oleh para penyintas hebat ini.

Para “enabler” sering berkata, “Kenapa tidak melawan?”, “Kalau menikmati ya bukan pelecehan”, dan beragam pernyataan tolol lain. Athlete A tak lupa menyoroti itu, coba menyelami, isi pikiran gadis-gadis itu kala pelecehan terjadi. Untuk sampai ke sana, kita perlu mundur sedikit, kembali ke soal romantisasi “berjuang mengharumkan nama bangsa”.

Di era 70-an, kejuaraan didominasi negara Eropa Timur, khususnya Rumania yang mengandalkan Nadia Comaneci, yang mengubah wajah dunia senam. Kalau atlet dari dekade sebelumnya kebanyakan adalah orang dewasa, sejak kesuksesan Nadia, atlet bocah mulai diandalkan. Semua didorong ambisi blok Eropa Timur menaklukkan superioritas Amerika Serikat. Menyadari jika tubuh anak lebih memungkinkan melakoni gerakan-gerakan ekstrim, dipimpin pasutri Bela dan Marta Karolyi, Rumania menjalankan program pelatihan bagi anak, guna menciptakan atlet sempurna, yang mematuhi instruksi bak robot. Merasa Ivan Drago di Rocky IV hanya fiktif semata? Pikir lagi.

Bocah-bocah ini digembleng. Dihina fisiknya saat melakukan kesalahan, dipukul kala gagal menjalankan perintah. Gangguan makan jadi hal biasa. Menstruasi, bahkan proses pendewasaan, ditunda secara paksa. Ketika Bela dan Marta membelot ke Amerika, metode itu pun diterapkan di sana. Hari-hari mereka sebagai bocah atau remaja awal dipenuhi siksaan fisik dan mental, lalu datang seorang pria yang nampaknya ramah. Pria itu membela, membuat mereka tertawa lewat lelucon-lelucon di tengah neraka bernama “training camp”. Kemudian pria itu memasukkan tangannya ke vagina. Bocah-bocah itu bakal berpikir, “Dia baik. Dia dokter yang hebat. Aku beruntung bisa berada di sini. Jadi sebaiknya aku diam”.

Kekuasaan disalahgunakan. Bukan cuma oleh Larry, pula pihak-pihak yang menutupi perbuatannya demi berbagai kepentingan. Bahkan setelah banyak laporan masuk pasca artikel dari The Indianapolis Star, Larry masih melenggang bebas. Dianggap sebagai pahlawan di balik keberhasilan tim Olimpiade Amerika Serikat, dipandang mulia setelah mendirikan yayasan anak autis, bahkan mencalonkan diri sebagai ketua komite sekolah, di mana 2000 orang memilih dirinya.

Itulah mengapa klimaksnya demikian emosional. Berlatar persidangan, Athlete A menyuguhkan courtroom drama yang empowering, di mana kondisi berubah total. Sang pelaku penyalahgunaan kekuasaan menjadi sosok kerdil tanpa kuasa, tanpa kekuatan. Saya pun sangat mengapresiasi bagaimana film ini menolak “cari sensasi”, dengan tidak mempertontonkan pemandangan vulgar seputar pelecehan demi memprovokasi penonton. Memang itu tak perlu. Sebab, siapa saja yang perlu diprovokasi agar mau mengutuk perbuatan Larry, sama biadabnya dengan si pelaku.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: