Karena sejak kecil ia senang memanjat perabotan di rumah,
demi keamanan, orang tua Maggie Nichols mendaftarkannya ke tim USA Gymnastics,
sebab di sana ada matras yang memadai serta pelatih mumpuni. Siapa sangka,
justru “keamanan” jadi sesuatu yang tak didapatkan Maggie, setelah ia dan
ratusan atlet lain menjadi korban pelecehan Larry Nassar selaku dokter tim.
Tapi Athlete A memperlihatkan bahwa
kasus itu lebih besar, lebih terstruktur, daripada aksi terkutuk satu individu
biadab yang menghancurkan impian, bahkan hidup gadis-gadis berbakat.
Apa jawaban untuk pertanyaan, “Apa yang diperlukan seorang
atlet agar berprestasi?”? Saya yakin, “disiplin” dan “kerja keras” merupakan
jawaban yang paling sering muncul.Tidak salah, namun publik banyak yang tak
menyadari, bahwa romantisasi atas perjuangan demi mengharumkan nama bangsa, berpotensi
melahirkan tindakan-tindakan abusive, baik
yang bersifat seksual, kekerasan fisik, maupun mental. Duo sutradara Bonni
Cohen dan Jon Shenk (An Inconvenient
Sequel: Truth to Power) mengeksplorasi isu di atas, dengan mengikuti
investigasi tim jurnalis The Indianapolis Star.
Maggie Nichols— yang sebelum mengungkap jati dirinya, disebut
oleh media sebagai “Athlete A”— mengawali
perjalanan penuh fakta mencengangkan ini, dengan mengisahkan bagaimana karirnya
berbalik 180 derajat. Berstatus salah satu atlet senam terbaik di Amerika,
mimpinya bergabung dalam tim olimpiade 2012 harus dikubur, ketika ia gagal
terpilih. Bukan karena penurunan performa atau cedera, melainkan gara-gara
laporan terkait pelecehan seksual oleh Larry, yang dilayangkan oleh orang tua
Maggie.
Steve Penny, selaku Presiden USA Gymnastics, meminta Keluarga
Nichols agar tak melapor pada polisi, karena menurutnya, itu bakal mengganggu
investigasi yang dilakukan pihaknya, yang konon melibatkan FBI. Tentu investigasi
itu tak pernah terjadi. Bahkan kelak terungkap kalau FBI terlibat kongkalikong
dengan Steve Penny.
Athlete A tidak mengusung model bertutur baru.
Masih memakai wawancara bergaya talking
head, sambil disisipi stock footage dari
beragam sumber. Keunggulan Cohen dan Shenk adalah perihal membangun intensitas
melalui ketepatan memilih serta menyusun kombinasi footage, yang diperkuat musik gubahan Jeff Beal.
Walau bermuara di satu titik (pelecehan), film ini sejatinya
memiliki banyak cabang, yang tak sebatas memperlebar cakupan hingga kehilangan
fokus, melainkan memperdalam tiap cabang guna memperoleh satu pemahaman utuh. Proses
investigasi menjadi medianya. Media mengunjungi ruang personal para penyintas,
mengajak kita mengamati proses mereka menata ulang hidup kemudian menyusun lagi
mimpi yang sempat mati, hingga membuat Athlete
A, meski mengangkat persoalan kelam, tak berakhir di nada suram. Sesuatu
yang pantas didapatkan oleh para penyintas hebat ini.
Para “enabler”
sering berkata, “Kenapa tidak melawan?”, “Kalau menikmati ya bukan pelecehan”,
dan beragam pernyataan tolol lain. Athlete
A tak lupa menyoroti itu, coba menyelami, isi pikiran gadis-gadis itu kala
pelecehan terjadi. Untuk sampai ke sana, kita perlu mundur sedikit, kembali ke
soal romantisasi “berjuang mengharumkan nama bangsa”.
Di era 70-an, kejuaraan didominasi negara Eropa Timur,
khususnya Rumania yang mengandalkan Nadia Comaneci, yang mengubah wajah dunia
senam. Kalau atlet dari dekade sebelumnya kebanyakan adalah orang dewasa, sejak
kesuksesan Nadia, atlet bocah mulai diandalkan. Semua didorong ambisi blok
Eropa Timur menaklukkan superioritas Amerika Serikat. Menyadari jika tubuh anak
lebih memungkinkan melakoni gerakan-gerakan ekstrim, dipimpin pasutri Bela dan
Marta Karolyi, Rumania menjalankan program pelatihan bagi anak, guna
menciptakan atlet sempurna, yang mematuhi instruksi bak robot. Merasa Ivan
Drago di Rocky IV hanya fiktif semata?
Pikir lagi.
Bocah-bocah ini digembleng. Dihina fisiknya saat melakukan
kesalahan, dipukul kala gagal menjalankan perintah. Gangguan makan jadi hal
biasa. Menstruasi, bahkan proses pendewasaan, ditunda secara paksa. Ketika Bela
dan Marta membelot ke Amerika, metode itu pun diterapkan di sana. Hari-hari
mereka sebagai bocah atau remaja awal dipenuhi siksaan fisik dan mental, lalu
datang seorang pria yang nampaknya ramah. Pria itu membela, membuat mereka tertawa
lewat lelucon-lelucon di tengah neraka bernama “training camp”. Kemudian pria itu memasukkan tangannya ke vagina. Bocah-bocah
itu bakal berpikir, “Dia baik. Dia dokter yang hebat. Aku beruntung bisa berada
di sini. Jadi sebaiknya aku diam”.
Kekuasaan disalahgunakan. Bukan cuma oleh Larry, pula
pihak-pihak yang menutupi perbuatannya demi berbagai kepentingan. Bahkan
setelah banyak laporan masuk pasca artikel dari The Indianapolis Star, Larry
masih melenggang bebas. Dianggap sebagai pahlawan di balik keberhasilan tim
Olimpiade Amerika Serikat, dipandang mulia setelah mendirikan yayasan anak
autis, bahkan mencalonkan diri sebagai ketua komite sekolah, di mana 2000 orang
memilih dirinya.
Itulah mengapa klimaksnya demikian emosional. Berlatar
persidangan, Athlete A menyuguhkan courtroom drama yang empowering, di mana kondisi berubah
total. Sang pelaku penyalahgunaan kekuasaan menjadi sosok kerdil tanpa kuasa,
tanpa kekuatan. Saya pun sangat mengapresiasi bagaimana film ini menolak “cari
sensasi”, dengan tidak mempertontonkan pemandangan vulgar seputar pelecehan
demi memprovokasi penonton. Memang itu tak perlu. Sebab, siapa saja yang perlu
diprovokasi agar mau mengutuk perbuatan Larry, sama biadabnya dengan si pelaku.
Available on NETFLIX
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar