REVIEW - HUMBA DREAMS

Tidak ada komentar
Dedikasi duet Riri Riza-Mira Lesmana, baik sebagai sutradara dan produser maupun sama-sama menduduki kursi produser, dalam mengeksplorasi daerah-daerah di Indonesia yang kurang terjamah sinema arus utama jelas patut diapresiasi, meski hasilnya tak selalu maksimal. Di setiap Laskar Pelangi (2008) selalu ada Pendekar Tongkat Emas (2014). Humba Dreams yang tak diputar di bioskop reguler sayangnya masuk kategori kedua.

Filmnya mengisahkan tentang Martin (JS Khairen), mahasiswa sekolah film Jakarta yang bercita-cita menjadi sutradara, yang baru saja kembali ke kampung halamannya di Sumba setelah sekian lama. Sejatinya Martin pulang dengan setengah hati, sebab ia sedang berada di tengah proses produksi film selaku tugas akhir bersama teman-teman kelompoknya. Tapi apa daya, sang ibu memaksa. Alasannya, dukun setempat menyampaikan kabar bahwa mendiang ayah Martin (yang walau sudah meninggal tiga tahun lalu belum juga dikuburkan akibat ketiadaan biaya) baru mendatanginya, berwasiat untuk memberikan suatu warisan pada sang putera.

Warisan tersebut berupa sebuah kotak berisi rol film 16 mm. Tapi guna memutar film itu, Martin perlu belajar cara memproses, juga mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Masalahnya, bahkan untuk mendapatkan akses internet saja, Martin harus menempuh jarak berkilo-kilo meter mengendarai motor butut yang juga peninggalan sang ayah. Sedangkan bahan yang diperlukan sukar ditemukan, sebab ada yang diberi cap ilegal oleh pemerintah, karena dianggap berpotensi jadi alat melancarkan aksi terorisme.

Humba Dreams menjadi sebuah road trip yang membawa Martin pada proses belajar sejarah. Sejarah yang bersifat kultural (mempelajari cara memutar film 16 mm), maupun kenangan personal alias memori (hubungannya dengan sang ayah). Riri Riza, yang bertindak selaku sutradara sekaligus penulis naskah, memakai pendekatan yang cenderung kontemplatif, melalui tempo lambat, kesunyian, serta still shot.

Tapi yang muncul justru setumpuk kekosongan di tengah durasi yang sejatinya cukup singkat (75 menit). Metode serupa kerap diterapkan film-film alternatif, di mana dari tuturan lambat dan peristiwa yang sekilas tak esensial, penonton berkesempatan mengobservasi, kemudian menemukan informasi-informasi baru dan rasa yang ditanamkan secara subtil. Hal itu tak dimiliki Humba Dreams. Kekosongan hanyalah kekosongan. Sewaktu Martin berkendara, kita sebatas melihat “Martin sedang berkendara”. Tidak lebih.

Patut disayangkan, mengingat filmnya menyimpan sederet hal menarik dan/atau penting yang bisa dipetik penonton. Dari tentang sinema itu sendiri, persoalan kesenjangan, isu buruh migran yang dipaparkan lewat subplot tentang banyaknya kasus orang hilang, dan tentu saja budaya Sumba. Musik daerah, kerajinan setempat, lanskap-lanskap indah pemandangan dari balik lensa kamera Bayu Prihantoro (Istirahatlah Kata-Kata), hingga aspek kultural lain. Semua itu hanya hiasan, dan perjalanan ini sekadar wisata ketimbang studi.

Keluhan serupa juga terasa di subplot romansanya. Martin bertemu Ana (Ully Triani), salah satu karyawan di homestay tempatnya menemukan internet. Ana tengah mencari suaminya yang telah bertahun-tahun tidak pulang selepas pergi ke Malaysia sebagai tenaga kerja. Saya gagal memahami dinamika psikis antara Martin dan Ana. Di satu titik, jangankan menyapa atau tersenyum, Ana bersikap dingin dan enggan menatap Martin, namun beberapa waktu berselang, ia mendadak bersemangat begitu mendengar Martin merupakan mahasiswa film.

Paling tidak, Ully Triani berhasil menjalankan pernah yang selama ini selalu dibebankan padanya: Menyelamatkan sebuah film. Baik di Stay with Me (2016) atau Labuan Hati (2017), Ully selalu jadi elemen terbaik, dan kondisi itu terulang di Humba Dreams. Kediamannya menyiratkan luka. Ada pergolakan besar di hati Ana, dan gerak-gerik Ully jelas memancarkan itu. Tapi pergolakan macam apa? Tidak pernah jelas. Bukan kesalahan sang aktris. Menjabarkannya adalah tanggung jawab Riri.

Konklusinya tak kalah bermasalah. Riri ingin menyampaikan soal individu yang lama merantau, dan secara tidak sadar sudah terlalu jauh “pergi meninggalkan rumah”, sebelum akhirnya kembali “pulang” berkat memori dan cinta. Ada pula perihal film yang punya kemampuan untuk memberi sumbangsih kepada masyarakat. Sayang, konklusinya malah mengesankan kalau Martin adalah individu yang meninggalkan kewajiban, menelantarkan teman-temannya setelah cukup lama mengombang-ambingkan mereka dalam ketidakpastian. Saya percaya, sesungguhnya bukan itu intensi Riri Riza, namun minimnya eksplorasi menghasilkan kejelasan yang juga minim. Humba Dreams merupakan film kaya gagasan pula sarat isu, tapi terasa hamba. Penuh tapi kosong.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: