REVIEW - MONOS

Tidak ada komentar
Dalam Monos, yang merupakan perwakilan Kolombia di ajang Oscar awal tahun ini, semuanya misterius. Di mana pastinya cerita berlatar? Siapa para remaja kemarin sore yang menjadi anggota kelompok militer Monos? Apa tujuan pembentukan mereka? Sedang terlibat di perang apakah Monos? Pertanyaan-pertanyaan itu sengaja dibiarkan tanpa jawaban oleh sutradara Alejandro Landes, yang turut menulis naskahnya bersama Alexis Dos Santos, guna menciptakan surealisme. Sebuah tontonan dreamy yang mengedepankan experience ketimbang penceritaan sesuai pola, meski pilihan tersebut tak selalu memperkuat.

Monos bermarkas di area pegunungan dengan dataran yang membentang bak tanpa ujung. Sebuah “negeri di atas awan” yang seperti kampung halaman kisah-kisah mitologi Nordik. Di sanalah para remaja itu mendapat pelatihan militer ketat dari atasan mereka yang dipanggil “The Messenger” (diperankan Wilson Salazar, yang juga mantan gerilyawan), ditugasi menjaga tahanan perang asal Amerika Serikat, yang lagi-lagi tak bernama dan hanya dipanggil “Doctora” (Julianne Nicholson). Kelak tugas tambahan menyusul, yakni merawat sapi sumbangan simpatisan. Sapi itu diberi nama Shakira.

Pun semua anggota Monos cuma kita kenal dengan noms de guerre, alias nama perang masing-masing. Ada Wolf, Bigfoot, Rambo, Lady, Swede, Smurf, sampai Dog. Seolah mereka bukan individu. Hanya bidak yang diglorifikasi lewat status “prajurit”. Bahkan, saat Wolf (Julián Giraldo) dan Lady (Karen Quintero) hendak menjalin romansa, keduanya perlu meminta izin The Messenger. Mereka tidak keberatan, membuktikan betapa patuh bocah-bocah ini.

Kata “keras” mungkin paling tepat menggambarkan kehidupan Monos. Tapi toh mereka menikmatinya. Mereka menikmati memukuli tiap anggota yang berulang tahun sesuai dengan usianya, juga deretan “ritual” gila lain yang bakal membuat pesta terliar sekalipun nampak jinak. Sebagai prajurit, tentu tiap anggota Monos dibekali senapan. Bisa dibayangkan bukan, apa yang akan dilakukan remaja-remaja awal tersebut? Ya, mereka gemar membuang-buang peluru. Hanya tinggal menunggu waktu sampai terjadi bencana.

Benar saja. Dog (Paul Cubides) tidak sengaja menembak mati Shakira, dan itulah awal dari segala rintangan yang semakin lama semakin ekstrim. Rintangan yang memicu terguncangnya psikis. Dan begitu psikis runtuh, ikatan antar personal pun menyusul tak lama kemudian. Teriakan-teriakan penuh nada frustrasi, tatapan yang makin lama makin hampa, pengkhianatan, pemberontakan, aksi saling serang, bahkan saling bunuh, mendominasi paruh kedua Monos.

Disokong sinematografi Jasper Wolf yang melalui perspektif kameranya membuat alam layaknya purgatory, serta musik synth-based garapan Mica Levi (Under the Skin, Jackie), Landes menciptakan suasana atmosferik, yang tak jarang menyentuh ranah psikedelik, termasuk di suatu sekuen sureal kala beberapa karakter memakan jamur yang tumbuh di kotoran sapi. Sementara visual malam harinya, dengan pencahayaan temaram dari api unggun ditambah tubuh manusia-manusia berbalut lumpur, kentara mengambil referensi dari Apocalypse Now (1979), selaku kiblat banyak sineas dalam membuat tuturan mengenai keruntuhan mental manusia berlatar peperangan.

Seperti telah disebut, Landes mengedepankan experience. Saat secara bertahap anggota Manos mulai tenggelam dalam “kegilaan”, fokus Landes adalah membuat penonton turut merasakan, tanpa memberi pemahaman menyeluruh terkait bagaimana karakternya bisa sampai ke titik itu. Sebuah pilihan yang sah, tapi meninggalkan tanda tanya yang mengganggu proses menikmati jalannya film. Alasannya bisa dipahami, namun tidak menutup fakta bahwa Landes melakukan simplifikasi terhadap kompleksitas dinamika psikis, semata demi shock value. Kesan mendadak demi shock value pula yang rasanya melatari pilihan konklusi yang diambil.

Biarpun memiliki lubang, pencapaian Landes, khususnya terkait keberhasilan merangkai barisan momen nightmarish sebagai sutradara, tetap patut diacungi jempol. Secara keseluruhan, Monos adalah pengalaman yang— walaupun jauh dari kesan nyaman dan ringan— takkan mudah dilupakan.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: