REVIEW - GURU-GURU GOKIL

4 komentar

Guru-Guru Gokil menandai beberapa hal. Inilah film panjang Indonesia perdana yang rilis selepas pandemi, sekaligus jadi yang pertama mengubah perilisan layar ke layanan streaming (berikutnya judul-judul MD dan Falcon bakal mengambil langkah serupa di Disney+ Hotstar). Pun ini menandai debut Dian Sastrowardoyo sebagai produser, di samping turut meramaikan jajaran cast filmnya. Jajaran trivia di atas sudah secara otomatis membuat filmnya tercatat di buku sejarah perjalanan industri perfilman tanah air. 

Tapi apabila khusus membicarakan pencapaian dari sisi kualitas, apakah Guru-Guru Gokil juga spesial? Film keempat sutradara Sammaria Simanjuntak (Cin(T)a, Demi Ucok, Sesat) ini sebenarnya serupa dengan komedi-komedi ringan yang membanjiri layar bioskop kita tiap Kamis, mampu menghibur lewat beberapa tawa sepanjang durasi, namun penceritaan yang kurang solid membuatnya mudah terlupakan. Tapi tidak bisa dipungkiri, Guru-Guru Gokil sedikit mengobati kerinduan atas karya teranyar sineas tanah air, setelah absen sekitar lima bulan lamanya. 

Gading Marten memerankan Taat Pribadi, pria kampung yang nekat mengadu nasib ke ibukota, akibat enggan mengikuti jejak ayahnya, Pak Purnama (Arswendi Bening Swara), yang berprofesi sebagai guru. Dia susah memahami, mengapa ayahnya, bukan cuma betah mengajar di kampung dengan gaji minim, juga menikmatinya. Pak Purnama adalah guru favorit, yang mana membuat puteranya bertanya, kenapa sang ayah seolah lebih memedulikan dan mendengarkan murid-murid ketimbang anaknya sendiri?

Sayang, sebagaimana banyak perantau, Taat mengalami kegagalan. Tanpa ijazah apalagi uang, ia terpaksa pulang kampung. Dasar nasib, usahanya mencari pekerjaan justru membawa Taat menjadi guru sejarah pengganti di SMA sang ayah. Tentu Taat tidak sedikitpun mengerti sejarah, pula metode mengajar. Tapi bukan cuma itu masalahnya. Suatu sore, dua perampok membawa kabur gaji para guru. Pelakunya adalah anak buah Pak Le (Kiki Narendra), mafia setempat yang memiliki banyak "jaringan" sehingga susah diringkus tanpa bukti kuat. 

Taat berinisiatif mengusut kasus itu bersama tiga guru lain: Rahayu (Faradina Mufti) si guru matematika merangkap kepala tata usaha merangkap penjaga perpustakaan (plus mantan satpam sekolah); Nirmala (Dian Sastrowardoyo) si guru kimia yang tengah hamil tua, dan biarpun cerdas, gampang kehilangan fokus; Nelson (Boris Bokir) yang diam-diam menyukai Nirmala.

Tentu saja terjalin subplot romansa antara Taat dan Rahayu, yang hadir memuaskan berkat dinamika menarik Gading-Faradina dalam memerankan dua individu bertolak belakang. Taat selalu bercanda, sedangkan Rahayu ibarat "rem" yang menahan ketidakseriusan Taat. Ada romantisme manis yang subtil kala Rahayu memelototi Taat, karena si "guru gokil" tidak bisa menjaga mulutnya. Sebuah tatapan yang hanya bisa muncul saat dinding pembatas antara dua individu mulai runtuh, atau malah sudah sepenuhnya hilang.

Berbeda dengan Rahayu, saya tak mengeluh ketika Taat, maupun tokoh-tokoh lain, silih berganti menampilkan tingkah yang memancing tawa. Di situlah kekuatan utama Guru-Guru Gokil. Talenta Gading tak perlu diragukan. Materi-materi yang bisa berakhir cringey (sewaktu Taat menggoda Rahayu sambil mencuci piring misal) dijadikannya jenaka. Tapi tidak ada pencuri perhatian sebesar Dian Sastrowardoyo, dengan jerawat memenuhi wajah, dan keluhan-keluhan soal rengginang. Menghibur. 

Tapi Guru-Guru Gokil ingin berakhir lebih dari sekadar menghibur. Ada nilai-nilai soal guru selaku pahlawan tanpa tanda jasa. Ada hubungan guru dan guru, guru dan murid, pula ayah dan anak. Ada banyak hal. Terlalu banyak, sampai naskah buatan Rahabi Mandra (Hijab, Night Bus) kewalahan menyatukannya. Filmnya berusaha menekankan kegokilan para guru, sampai lupa menggambarkan mereka sebagai guru yang berbagi setumpuk pelajaran serta kebersamaan berharga dengan para murid, agar babak ketiganya, tatkala kedua pihak akhirnya bersatu, punya dampak emosi. Satu sesi memecahkan bentuk tato yang bergulir singkat tidaklah cukup.

Kenapa Pak Purnama (dan banyak guru lain) bahagia menjalani profesi mereka? Taat menanyakan itu. Mungkin sebagian dari penonton pun demikian. Filmnya berhasil memberi jawaban. Apresiasi para murid merupakan alasannya. Tapi, walau adegan saat Taat menerima hadiah "kecil" dari muridnya jadi pemandangan sederhana yang hangat (dibantu reaksi natural Gading), ada juga beberapa momen berlebihan yang dipaksa hadir demi menguatkan pesan tersebut. Murid SMA mana yang sedemikian mencintai suatu pelajaran hingga serempak bersorak dan bertepuk tangan dalam kelas? 

Sedangkan subplot ayah dan anak, meski menyimpan permasalahan serupa soal minimnya porsi eksplorasi, setidaknya memberikan resolusi emosional berkat kepiawaian kedua pemerannya menyampaikan rasa. Arswendi secara subtil melalui mata yang berbicara banyak mengenai isi hati, sedangkan Gading lebih "meledak". Hasilnya saling melengkapi, mewakili dinamika seorang anak yang ingin didengar, dan ayah yang menyimpan harapan bercampur kekecewaan. 

Di departemen akting lain, Asri Welas tampil lebih serius. Hasilnya cukup solid, meski di antara kekonyolan-kekonyolan filmnya, pilihan itu terasa menyia-nyiakan potensi. Sementara, setelah kemunculan singkat nan berkesan di Perempuan Tanah Jahanam, akhirnya Faradina mendapat kesempatan melakoni peran utama. Kesempatan yang dimanfaatkan secara maksimal lewat kemampuan memberikan warna bagi sosok Rahayu, membuatnya tak tenggelam berdiri di samping tokoh-tokoh yang jauh lebih "gila". 

Available on NETFLIX

4 komentar :

Comment Page:
adnanman mengatakan...

Sayang sih tema perjuangan gurunya sm.interaksi guru-muridnya kurang. Kalo dijadikan series mungkin bisa mirip series GTA yg dari jepang

Akbar Pradhana mengatakan...

GTO (Great Teacher Onizuka), bos. GTA mah Grand Theft Auto

adnanman mengatakan...

Oh iya sorry gan. Sdh lama ngga ngga nonton.

Panca mengatakan...

GTO San Andreas