REVIEW - SOUL

11 komentar

Beberapa film berkata, “live your life” atau “life is for living”. Beberapa lainnya mengajarkan agar kita mengikuti passion, sebagai api yang membakar semangat hidup. Tanpanya, hidup tiada berarti. Semuanya benar, tapi Soul, yang lahir dari sentuhan emas Pete Docter (Monsters, Inc., Up, Inside Out), mengajak penonton kembali ke awal, membicarakan esensi dasar namun lewat tuturan ambisius. Pertanyaan eksistensial dilontarkan, “Percikan macam apa yang dibutuhkan dalam kehidupan?”.

Bagi Joe Gardner (Jamie Foxx), percikan itu adalah musik. Tepatnya musik jazz. Sejak dibawa sang ayah ke sebuah pertunjukan saat masih kecil, Joe meyakini bahwa ia terlahir untuk bermusik. Tapi kenyataan berkata lain. Karirnya jalan di tempat, dan kini Joe mengajar musik di SMP. Sebuah pekerjaan yang tak ia nikmati, meski sang ibu (Phylicia Rashad), menuntutnya agar melupakan mimpi bermusik dan mencari pekerjaan tetap.

Kesempatan datang sewaktu musisi jazz ternama, Dorothea William (Angela Bassett), menawari Joe menjadi pianis di pertunjukkannya. Joe berhasil meraih kesempatan tersebut, tapi akibat terlalu gembira, di perjalanan pulang ia jatuh ke lubang got. Begitu terbangun, Joe mendapati dirinya sudah berbentuk jiwa, dan berada di tengah antrean menuju Great Beyond alias akhirat. Di titik ini saya mulai menyayangkan tidak adanya theatrical release bagi Soul. Bagaimana tim animator menerjemahkan “pintu akhirat” sebagai sesuatu yang megah nan magis tanpa harus tampak rumit, jelas pantas disaksikan di layar lebar.

Menolak “pergi” di saat kesempatan mulai menghampiri, Joe mencoba kabur, tapi malah berakhir di Great Before. Tempat di mana jiwa-jiwa berkumpul guna diberi kepribadian sebelum menjalani hidup di bumi. Terjadi kesalahpahaman, dan Joe malah diminta menjadi mentor untuk 22 (Tina Fey). Walau sudah ribuan tahun berlalu, 22 belum juga menemukan “percikan” yang membuatnya ingin hidup. Padahal nama-nama seperti Bunda Teresa, Carl Jung, Abraham Lincoln, Muhammad Ali, dan lain-lain, pernah menjadi mentornya (salah satu humor terlucu sekaligus paling berani di film ini).

Demi membantu 22 menemukan “percikan” itu, sekaligus mengembalikan Joe ke bumi, keduanya pun melakoni petualangan “lintas alam” yang selalu berhasil membawa alurnya ke arah tak terduga, berkat eksplorasi luas dari ketiga penulis naskahnya: Pete Docter, Mike Jones (turut menulis naskah Luca yang rilis 2021), Kemp Powers. Jika Inside Out (2015) adalah penjelajahan ke dalam (otak manusia), maka Soul menjelajah ke luar, memperkenalkan penonton pada dunia-dunia imajinatif yang “menjelaskan” dinamika jiwa manusia. Salah satunya zona di mana orang-orang mengalami trance saat tenggelam dalam passion mereka, sekaligus tempat terperangkapnya jiwa-jiwa yang hilang akibat terobsesi akan hal tertentu.

Di zona itulah Soul melempar salah satu gagasannya, bahwa “passion yang menghidupkan” dan “obsesi yang mematikan” hanya memiliki perbedaan tipis. Bahkan dibanding Inside Out sekalipun, film ini lebih diperuntukkan bagi penonton dewasa. Khususnya mereka yang mempertanyakan tujuan hidup. “Those really aren’t purpose. That’s regular old living”, ucap Joe pada 22, yang menyebut hal-hal remeh seperti berjalan-jalan, menikmati permen, atau menangkap benih maple sebagai tujuannya menjalani hidup. Joe, sebagaimana banyak dari kita, sudah tenggelam dalam ambisi-ambisi serta tuntutan kehidupan. Sebaliknya, kemurnian 22 membantunya melihat “the beauty of life”.

Soul adalah soal keindahan. Keindahan yang efektif mengaduk-aduk emosi penonton, melalui perpaduan artistik dan penceritaan. Diiringi lantunan musik jazz bernyawa gubahan Trent Reznor dan Atticus Ross, filmnya kembali membuktikan menegaskan kehebatan Pixar membangun realisme melalui animasi. Contoh mudahnya adalah ketika Terry (Rachel House) yang bertugas menghitung jumlah jiwa di Great Beyond datang ke bumi untuk mencari Joe dan 22. Semua “petugas” di alam jiwa punya desain sederhana. Hanya berupa sambungan garis-garis. Dan ketika Terry membaur ke bumi, ia seperti figur animasi yang masuk ke dunia live action.

Emosi bakal mencapai puncak ketika pencapaian artistik di atas bertemu kisahnya, yang mengajak penonton merenungkan cara memaknai hidup. Menjawab pertanyaan di paragraf pembuka, “Percikan macam apa yang dibutuhkan dalam kehidupan?”. Rasanya kesadaran bahwa hidup itu sendiri sudah merupakan anugerah adalah percikan yang kita butuhkan.


Available on DISNEY HOTSTAR+

11 komentar :

Comment Page:
Andi mengatakan...

Baca review mas rasyid, auto mewek lagi ini 😭

Redo anggara mengatakan...

Bakal jadi best animasi terbaik tahun ini pasti nya. Animasi Pixar memang jarang mengecewakan.🤗

Rasyidharry mengatakan...

😭😭😭

Rasyidharry mengatakan...

Saingannya cuma Wolfwalkers. Paling nanti Over the Moon, Demon Slayer & Croods 2 jadi penggembira

SYAHRUL TRI RAMDHANI mengatakan...

Ternyata bukan film bocil wkwk, cocok bgt ditonton pas kita udh cape sm beban idup, a revelation

Bayu Prasetya mengatakan...

Mantap nih filmnya, mengajarkan kita bersyukur..
Ternyata semakin dewasa kita jadi lupa dan abai tentang nikmat yang dimiliki...
Terlalu fokus pada apa yang diinginkan padahal ketika sudah tercapai, kok gini yah biasa ajah sih, percis dengan yang dirasakan joe.

rahmadamazing mengatakan...

Kira² abis "tersetrum" di great beyond ada apa ya disana? 😳

reza mengatakan...

Huhu, sempet ngarep nanti2 bakal diputer di bioskop. Fix ga ada. Masih gak rela mau nonton di layar tak lebar

Chan hadinata mengatakan...

Sy malah menilai film ini jauh lebih dark dan kontemplatif
Setlah nonton ini tiba2 kepikiran kalo kt tiba2 mati.. udah siap gak?? Sdh nikmati hidup gak?? Punya bekal apa??
Seketika ingat kalo masi sering gak bersyukur dan abai dgn org2 disekitar..
Gagal mencapai sesuatu yg besar bisa bikin lost soul.. sementara hal yg "kecil" sj sdh bisa bikin kt hidup😢

Anonim mengatakan...

Tipikal film-film animasi Pixar. Punya pesan moral yang dalam, tapi bisa disampaikan secara sederhana. Mudah dipahami oleh orang dewasa tanpa terkesan menggurui. Memang benar, obsesi yang besar akan sesuatu hal kadang membuat kita tenggelam terlalu jauh, dan lupa menjalani kehidupan. Padahal jika kita mau berhenti sejenak, melihat ke sekitar dan bersyukur akan hal-hal kecil yang kadang lupa kita syukuri, seperti kesehatan, keluarga, matahari pagi, hembusan angin, dsb., kita akan menyadari bahwa life literally is the greatest gift we should be grateful for.
Great movie, and excellent review as always.

Anonim mengatakan...

One of my comfort film