REVIEW - HANSAN: RISING DRAGON
Prekuel film Korea Selatan dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa. Satu informasi itu saja sudah cukup membuat semua mata tertuju ke Hansan: Rising Dragon, selaku bagian kedua dari trilogi soal Admiral Yi Sun-sin, yang rencananya bakal ditutup tahun depan lewat Noryang: Sea of Death. Hingga tulisan ini dibuat, filmnya telah mengumpulkan 6,84 juta penonton. Jauh di bawah The Admiral: Roaring Currents (17,6 juta), tapi tetap pencapaian luar biasa (segera masuk daftar 50 besar).
Sebagaimana disiratkan di akhir The Admiral, kali ini giliran Battle of Hansan Island pada 1592 yang disoroti, di mana pasukan Jepang untuk kali pertama berhadapan dengan kapal kura-kura milik angkatan laut Joseon. "Bokkaisen" alias "monster laut", begitu sebutan julukan bagi kapal yang sanggup menebar ketakutan bagi semua musuhnya itu.
Tidak demikian dengan Wakisaka (Byun Yo-han), Admiral Jepang yang yakin bakal mengungguli Yi Sun-sin (Park Hae-il) dan pasukannya. Tanpa mengecilkan ancaman kapal kura-kura, posisi Jepang memang di atas angin. Hanyang (sekarang menjadi Seoul) diduduki hanya dalam 15 hari, sedangkan Raja Joseon mulai mempertimbangkan untuk kabur.
Yi sun-sin sendiri diganggu banyak dilema. Apakah ia mesti menyerang atau bertahan? Strategi macam apa yang bakal dipakai? Apakah kapal kura-kura bakal tetap jadi senjata utama, tatkala tersimpan banyak kelemahan di luar daya hancur luar biasa miliknya? Berlawanan dengan perannya di Decision to Leave, kali ini Park Hae-il tampil kokoh sebagai figur pahlawan legendaris, walau naskah buatan Yun Hong-gi bersama sang sutradara, Kim Han-min, sejatinya kurang berhasil menuliskan penokohan menarik. Terlebih, siapa pun aktornya, bakal sulit menandingi karisma Choi Min-sik (Kim Yoon-seok bakal menerima tongkat estafet di film ketiga).
Di ranah penceritaan, poin terbaik Hansan adalah saat memperlihatkan proses latihan kapal-kapal Joseon. Penonton diajak memahami detail formasi serta strategi yang dirumuskan Yi Sun-sin, sekaligus kesukaran yang dihadapi. Nantinya, sewaktu taktik tersebut diterapkan di medan perang, muncul kepuasan tersendiri begitu terbukti betapa si admiral merupakan ahli strategi jenius. Hansan adalah tentang bagaimana sebuah pemikiran sederhana, andai diterapkan secara tepat dan terstruktur, dapat menciptakan perangkap mematikan tanpa jalan keluar.
Sayangnya, selain perihal taktik di atas, sampai babak keduanya berakhir (sekitar 75 menit pertama), filmnya cenderung melelahkan diikuti. Terasa betul naskahnya menyimpan segala daya tarik untuk ditumpahkan pada klimaks. Bukan masalah andai dibarengi penuturan solid, tapi bahkan kedua penulisnya gagal menangani berbagai subplot yang ada.
Romansa dua mata-mata, Lim Jun-young (Ok Taec-yeon) dan Jeong Bo-reum (Kim Hyang-gi) sekadar numpang lewat. Sementara kisah potensial mengenai Junsa (Kim Sung-kyu) selaku prajurit Jepang yang membelot, menyisakan harapan akan adanya ruang eksplorasi lebih. Terutama karena subplot itulah yang akhirnya bertugas merangkum pesan menggugah tentang "pertarungan memperjuangkan kebenaran".
Terselip ide menarik terkait sudut pandang. Alih-alih Yi Sun-sin, kisahnya justru dibuka oleh kalimat dari mulut Wakisaka, seolah naskahnya hendak memakai sudut pandang si Admiral Jepang. Niatan itu didukung oleh banyaknya porsi pihak Jepang, yang membuat penampilan gemilang Byun Yo-han lebih mendapat sorotan. Tapi inkonsistensi naskah mengaburkan pilihan perspektifnya. Apakah kisah dari kacamata Jepang? Atau epos kepahlawanan konvensional dari sudut pandang Joseon?
Anda mesti bersabar sebelum Hansan: Rising Dragon mencapai jualan utamanya, yakni klimaks berupa naval battle sepanjang 45 menit tanpa henti. Benar bahwa kita sudah pernah melihatnya di The Admiral: Roaring Currents, pun kali ini tiada gimmick bombastis "perang 12 versus 333", namun semua itu tak mengurangi pencapaian Kim Han-min menyuguhkan sekuen pertempuran laut epik.
Pilihan shot-nya sempurna dalam menangkap detail peperangan. Kapal mana yang melancarkan serangan? Serangan berbentuk apa? Sesekali wide shot diterapkan guna menegaskan kemegahan, sekaligus memberi tahu penonton formasi macam apa yang tengah diterapkan kedua pihak. Klimaksnya menunjukkan kematangan seorang sineas blockbuster, yang semoga kelak turut dibarengi peningkatan pada departemen penceritaan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar