Jendela Seribu Sungai yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Miranda Seftiana dan Avesina Soebli memang jauh dari sempurna. Adanya cameo dari Ibnu Sina (Wali Kota Banjarmasin) dan Ian Kasela juga bisa membuatnya dipandang sebelah mata oleh banyak penonton. Tapi ia mampu membuktikan satu hal, bahwa cerita seklise apa pun dapat tampil lebih segar dengan balutan elemen kultural.
Berlatar "Kota Seribu Sungai" Banjarmasin, kita dipertemukan dengan tiga murid SD: Arian (Bima Sena) yang ingin melanjutkan jejak ayahnya (Ariyo Wahab) sebagai pemain kuriding, Kejora (Halisa Naura) yang bercita-cita menjadi dokter meski mendapat tentangan dari sang ayah (Ibrahim "Baim" Imran) selaku balian yang membenci praktik medis modern, dan Bunga (Sheryl Drisanna Kuntadi) yang enggan membuang impiannya menari meski menderita cerebral palsy.
Tidak perlu menjadi "ahli sinema" untuk meraba ke mana naskah buatan Swastika Nohara (Hari Ini Pasti Menang, 3 Srikandi) bakal mengarahkan alurnya. Tapi seperti telah disinggung di awal tulisan, aspek budaya berjasa mengangkat Jendela Seribu Sungai naik kelas.
Memang tidak secara signifikan. Apalagi penceritaannya tampil bak keping-keping fragmen yang dipaksa melebur berisikan sederet konflik pendek episodik, alih-alih satu kesatuan kisah besar yang bergerak runtut. Tapi ketika banyak film-film formulaik bertema "melawan dunia demi mimpi" sudah mengundang kantuk sebelum menginjak separuh perjalanan, Jendela Seribu Sungai tidak demikian.
Kalimat-kalimat inspiratif nan menggurui kerap dipercantik dengan cara mengaitkannya ke perenungan filosofis berbasis kultural. Selalu ada sentuhan budaya yang menarik untuk diamati di tiap sudutnya, termasuk gesekan antara adat dan modernisasi. Naskahnya membawa perspektif berimbang dalam mengangkat persoalan tersebut.
Ambil contoh konflik Kejora dengan ayahnya. Ketimbang memojokkan salah satu pihak, Jendela Seribu Sungai menyandingkan keduanya. Ilmu medis kekinian diperlukan, namun kemampuan balian menyembuhkan warga tidak dikerdilkan. Mereka bisa eksis bersama, bahkan saling melengkapi.
Barisan pemainnya pun cukup solid. Bima Sena kembali membuktikan diri sebagai salah satu bintang muda paling potensial, Ariyo Wahab menghadirkan kehangatan, sedangkan Agla Artalidia tidak ketinggalan memamerkan talenta dramatik memadai sebagai Bu Guru Sheila yang rela memperjuangkan mimpi murid-muridnya.
Kelemahan paling mengganggu di film ini justru berasal dari sesuatu yang tidak terduga: CGI. Entah apa alasan Jay Sukmo (Catatan Akhir Kuliah, Love Reborn) selaku sutradara memakai CGI di berbagai titik yang sejatinya tak memerlukan polesan efek komputer. Apalagi kualitasnya buruk (lihatlah bayi-bayi yang tampak bak monster mengerikan di paruh awal). Rasanya bukan ini keseimbangan "tradisi/modernisasi" yang coba dicapai filmnya.
sayang banget, film bagus, sepi penonton
BalasHapushilang sudah di layar bioskop, nggak tayang entah kemana dimana
BalasHapussaya belum nonton, sudah tidak ada jadual tayang di layar bioskop
BalasHapusfilm bagus, nggak di tonton, bikin drop layar bioskop
BalasHapuspenonton suka film horror
BalasHapusReview Oppenheimer mana nih takut diserang fans Nolan ya karena filmnya jelek?
BalasHapusfilm bagus, nggak di tonton
BalasHapusfilm jelek, di tonton
nggak bagus ini film
BalasHapusnetflix menanti
BalasHapuslumayan 1200 penonton daripada film nya joko anwar superhero cinematic universe
BalasHapusgood film
BalasHapusindahnya masa anak anak, baik
BalasHapusthanks mas rasyid
BalasHapusmakasih
BalasHapusMas terimakasih
BalasHapusada film yang lebih bagus nggak
BalasHapusromantisme perkampungan sungai
BalasHapusmendidik menghibur
BalasHapusfilm bagus anak anak
BalasHapuskomikal film absurd
BalasHapusbagus
BalasHapusfilm bagus dimanaya alur nya aja bingung ntah kemana,terus banyak yang di edit apalagi di sungainya
BalasHapus