REVIEW - TWISTERS

Tidak ada komentar

Twisters adalah usaha mengulangi keseruan Twister (1996), film bencana yang sedemikian populer hingga meningkatkan peminat jurusan meteorologi di Amerika Serikat sebanyak 10%, sembari menambal hal yang banyak dipercaya sebagai kekurangan dari karya Jan de Bont tersebut, yakni drama humanis. Walau status legendaris yang sama bakal sukar didapat, film arahan Lee Isaac Chung (Minari) ini berhasil menjustifikasi eksistensinya. 

Meski menyebut diri sebagai standalone sequel, menilik minimnya relasi dengan film pertama ditambah caranya bercerita, Twisters lebih cocok disebut remake. Keduanya sama-sama dibuka oleh gempuran mematikan tornado F5 yang menewaskan orang terdekat si tokoh utama sekaligus mendatangkan trauma baginya. Hanya saja, adegan milik Twisters lebih brutal, mengejutkan, pula menghasilkan luka yang lebih membekas. 

Kate (Daisy Edgar-Jones) adalah nama si tokoh utama. Beberapa tahun selepas tragedi yang membuatnya berhenti dari kegiatan mengejar tornado, reuni dengan si teman lama, Javi (Anthony Ramos), membawa Kate kembali ke dunia penuh bahaya tersebut. Dunia di mana perempuan muda sepertinya dipandang sebelah mata. 

Tapi bakat Kate memang mengungguli banyak orang di bidangnya. Jika protagonis film pertamanya menciptakan alat bernama Dorothy guna mengumpulkan data terkait tornado, sejalan dengan prinsip "the bigger the better" dalam sekuel, di sini Kate melangkah lebih jauh. Dia bermimpi menciptakan alat untuk "membunuh" tornado. 

Kate turut bersinggungan jalan dengan Tyler (Glen Powell), seorang pesohor YouTube yang dikenal luas berkat kenekatannya berburu tornado. Berkat chemistry solid Daisy Edgar-Jones sebagai figur perempuan tangguh dan Glen Powell yang karismatik, juga naskah buatan Mark L. Smith (The Revenant, The Midnight Sky) yang menjauhi kesan corny, jalinan romansa dua karakternya tidak terasa mengganggu.

Tyler terjun ke lapangan bersama timnya, yang berlawanan dengan Javi dkk. dengan penampilan rapi serta teknologi canggih milik mereka, terdiri atas individu-individu serampangan. 

Naskahnya dengan cerdik mengecoh penonton, memposisikan kelompok Tyler layaknya antagonis di paruh awal, sebelum banting setir dan melempar pesan mengenai pantangan menilai manusia dari tampilan luar belaka. Berangkat dari situ, Twisters juga menghantarkan benturan antara keserakahan korporasi dengan perjuangan akar rumput. 

Biarpun menggunakan kerangka alur yang serupa (penonton bisa membuat checklist panjang mengenai kemiripan poin plot kedua film), Twisters memang lebih banyak bercerita ketimbang pendahulunya. Hasilnya adalah pisau bermata dua. 

Di satu sisi, para pencari tontonan yang bergerak sekencang tornado F5 macam film pertamanya mungkin bakal terganggu oleh babak kedua yang dipenuhi titik perhentian. Tapi di sisi lain, perhentian-perhentian itu berguna menguatkan pondasi dramatis kisah humanisnya. 

Alhasil klimaksnya tidak lagi sebatas diisi perjuangan bertahan hidup dari terjangan tornado. Kali ini karakternya tidak hanya lari. Di hadapan putaran angin dahsyat yang dihidupkan oleh CGI mumpuni, sang protagonis melaju kencang ke pusat bencana didasari satu tujuan: menyelamatkan nyawa sesamanya. Twisters bukan sekadar menciptakan kehancuran demi hiburan, ia pun mengingatkan penonton akan pentingnya kemanusiaan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: