REVIEW - WICKED

Tidak ada komentar

Bayangkan bila ternyata semua yang kita tahu hanya kebohongan hasil fabrikasi para pemegang kuasa. Begitulah rasanya menonton Wicked, yang mengadaptasi pertunjukan Broadway berjudul sama, yang juga berasal dari novel Wicked: The Life and Times of the Wicked Witch of the West karya Gregory Maguire. Tatanan dunia The Wonderful Wizard of Oz karya L. Frank Baum diobrak-abrik, dan lewat ayunan tongkat ajaib John M. Chu selaku sutradara, melahirkan salah satu film musikal terbaik di era modern. 

Melalui film legendaris The Wizard of Oz (1939), banyak orang berkenalan dengan keajaiban dunia Oz. Penyihir Oz yang pemurah walau memalsukan kekuatannya, Glinda si penyihir baik hati, hingga Wicked Witch of the West yang ditakuti. Kita familiar dengan mereka semua. Tapi bagaimana kalau realitanya jauh berbeda?

Si penyihir jahat dari Barat rupanya hanya perempuan bernama Elphaba Thropp (Cynthia Erivo) yang menjadi korban perundungan, bahkan oleh ayahnya sendiri, akibat terlahir dengan kulit berwarna hijau. Sedangkan Glinda (Ariana Grande) bukan figur suci nan sempurna sebagaimana citranya selama ini, melainkan gadis manja penyuka warna merah muda, yang bisa mendapatkan apa pun keinginannya berkat segala privilege miliknya. 

Keduanya berkenalan di Universitas Shiz, dan awalnya saling tidak menyukai akibat kesenjangan di antara mereka. Terlebih saat Glinda tahu kalau Elphaba, yang diam-diam memiliki kekuatan sihir, merupakan siswi kesayangan Madame Morrible (Michelle Yeoh), si kepala sekolah yang jadi idolanya. Tapi seiring waktu Elphaba dan Glinda mulai bersahabat, lalu bersatu untuk menghadapi banyaknya ketidakadilan yang menggelayuti Oz. 

Jika Elphaba adalah manifestasi drama kisah ini, maka Glinda mewakili sisi komedik yang lebih ringan. Baik Cynthia Erivo yang mengangkat kekuatan emosi banyak adegan, maupun Ariana Grande dengan kehebatannya mengolah ragam gerak-gerik menggelitik, sama-sama tampil luar biasa. 

Dari situlah formula familiar dunia Oz dimodifikasi. Naskah buatan Winnie Holzman dan Dana Fox menyelipkan subteks rasisme yang tak hanya berkutat di ranah isu sosial, tapi juga politis. Wicked adalah soal "framing". Ketika para penguasa memanfaatkan golongan yang dianggap berbeda dengan menyetir citra mereka ke arah negatif, dan membangun stigma bahwa perbedaan tersebut adalah hal mengerikan yang harus diwaspadai. Relevansinya begitu tinggi. 

Jubah hitam, topi kerucut yang juga berwarna hitam, serta sapu terbang. Karena kisah yang telah diwariskan sedari dulu, secara otomatis, kesan negatif langsung mencuat di benak kebanyakan orang sewaktu mendengar imageries di atas. Tapi bagaimana kalau ternyata semua itu hanya gaya berpakaian yang tak ada kaitannya dengan baik/jahat? 

Durasinya memang bergulir agak terlalu lama (Part One ini berdurasi 160 menit, di saat versi Broadway total "cuma" berlangsung 150 menit), tapi di sinilah musikalnya berperan. Sebuah musikal yang benar-benar berperan menggerakkan alur sekaligus menguatkan penokohan tiap karakternya. 

Dentuman musik gubahan John Powell dan Stephen Schwartz, deretan koreografi asyik yang tak jarang mampu memancing senyum, tata artistik sarat kreativitas (adegan berlatar "perpustakaan yang berputar" jadi contoh terbaik) juga sinematografi megah arahan Alice Brooks, mampu disatukan oleh John M. Chu guna menghantarkan ragam nomor musikal epik yang tidak hanya memikat mata, pula mengikat hati. 

Dua musikal tampil paling menonjol terkait presentasi emosi, yakni Dancing Through Life yang mengawali persahabatan Elphaba dan Glinda lewat sebuah "tarian sunyi" yang begitu menyentuh, dan tentunya Defying Gravity yang menciptakan klimaks dengan banyak ledakan rasa. 

Berlatar langit senja Oz, Chu memotret Elphaba layaknya sosok agung yang akhirnya memutuskan untuk melayang di angkasa, menatap orang-orang yang berdiri diam di bawahnya sembari membiarkan diri mereka dikuasai ketakutan akibat stigma, sebelum kemudian pergi menempuh jalan pilihannya sendiri. Tatkala orang-orang memilih ruang aman dengan mengamini manipulasi penguasa, Elphaba berani melawan, biarpun itu membuatnya dicap sebagai penebar teror. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: