REVIEW - LOOK BACK

Tidak ada komentar

Berdurasi tidak sampai satu jam, Look Back yang mengadaptasi manga one-shot berjudul sama karya Tatsuki Fujimoto memang bergerak amat cepat. Bukan berarti tuturannya tergesa-gesa. Temponya seperti cerminan kehidupan yang acap kali berlangsung secepat kilat. Tidak terasa kita sudah tumbuh dewasa, berkembang, dan mengalami banyak kehilangan.  

Semua diawali saat Fujino (Yumi Kawai) masih duduk di bangku SD, dan menggambar manga empat panel yang diterbitkan di koran sekolah dengan hati gembira. Sampai ia mendapati manga buatan Kyomoto (Mizuki Yoshida) yang jauh lebih superior. Di usia begitu muda, Fujino dihadapkan pada pertanyaan berat, "Haruskah ia mencurahkan hidupnya untuk menggambar supaya lebih baik, atau menyerah pada fakta bahwa ia tak diberkahi bakat alami?".

Orang-orang seperti Fujino tak memiliki privilege. Impian mereka bukan sesuatu yang dipandang positif oleh masyarakat hingga disertakan dalam rapor seperti prestasi di bidang olahraga. Mereka harus memilih. Mereka terpaksa berkorban. Kesempurnaan pun semakin menjauhi hidup mereka. 

Poin itulah yang ditekankan oleh Kiyotaka Oshiyama selaku sutradara sekaligus penulis naskah. Jika hidup tak pernah terasa utuh dengan segala kegagalan dan kehilangan di dalamnya, untuk apa kita lanjut berjalan? Di situlah hubungan Fujino dan Kyomoto yang kelak menjalin persahabatan menyimpan kunci jawaban. 

Fujino yang lebih banyak "memimpin", Kyomoto yang cenderung pasif layaknya latar belakang dalam suatu gambar. Melalui pertemanan keduanya yang membentang selama beberapa tahun, Look Back membahas berbagai problematika kehidupan secara subtil. Oshiyama enggan menyuapi penonton, membiarkan kita memetik pesan dan pelajaran sendiri, termasuk saat menjelang akhir, filmnya menghadirkan skenario what if yang membubuhkan sedikit aroma magis. 

Oshiyama membungkus proses dua tokoh utamanya dengan animasi indah yang sangat efektif menangkap dinamika rasa. Gayanya memang sederhana. Bahkan tidak jarang ia diisi gambar diam ala slideshow yang sayangnya sempat mengurangi dampak emosi di babak akhir. 

Tapi visualnya (yang mampu "meniru" goresan Fujimoto di manga) begitu piawai memancarkan emosi yang dirasakan oleh para karakter.  Apalagi Oshiyama juga jeli mengolah tata audio, di mana ia cukup sering menerapkan keheningan, seperti ingin membiarkan penonton tenggelam dalam pergulatan rasa yang sama dengan karakternya. Komposisi musik yang digubah secara indah oleh Haruka Nakamura hanya diperdengarkan kala benar-benar diperlukan. 

Selama sekitar 57 menit durasi visualnya tampil amat variatif, namun ada satu jenis gambar yang mendominasi, yakni shot yang menampilkan Fujino duduk membelakangi "kamera" sambil menggambar. Latarnya terus berubah, alat-alat yang ia pakai senantiasa berganti, tapi punggung Fujino tetap memperlihatkan pemandangan yang sama. 

Kita semua mempunyai itu. Satu titik yang selalu kita tempati sehingga membuat hidup kadang terasa monoton. Tapi di situ pula mimpi kita tercurah, membentuk kerinduan akan kebahagiaan yang memberi kita kekuatan untuk terus berjalan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: