REVIEW - VENOM: THE LAST DANCE
Venom: The Last Dance diniati sebagai babak akhir perjalanan Eddie Brock (mengetahui bagaimana Hollywood bekerja, pernyataan itu patut diragukan). Tapi bahkan setelah tiga film, Sony Pictures masih belum benar-benar yakin tentang cara menangani sang "Lethal Protector". Alhasil penutup trilogi ini bak dihinggapi oleh simbiot yang membuat inangnya terjangkit krisis jati diri.
Kelly Marcel kembali menulis naskah layaknya dua film pertama, namun kini sembari melakoni debut sebagai sutradara. Dia masih belum juga menemukan titik tengah terkait bentuk terbaik bagi karyanya. Pertama kali kita menemui Eddie dan Venom (Tom Hardy), keduanya tengah buron hingga ke Meksiko, terlibat perkelahian dengan kriminal setempat, kemudian menggigit kepala masing-masing dari mereka hingga putus.
Apakah adegan tersebut hendak dikemas menjadi sadisme serius atau gore hiperbolis yang konyol? Sang sineas gagal memberi jawaban pasti. Lalu kita belajar bahwa ancaman terbesar bagi Bumi berikutnya berasal dari Knull (Andy Serkis) sang Dewa Kegelapan yang juga merupakan pencipta para simbiot.
Setiap kali Knull (yang di film ini sebatas mengintai dari balik kegelapan layaknya Thanos di fase pertama MCU) muncul di layar, aura kelam menyelimuti filmnya. Serius. Masalahnya, serupa dua pendahulunya, The Last Dance selalu terasa membosankan ketika tampil serius. Kunjungan ke Area 51 untuk menemui Dr. Teddy Payne (Juno Temple) dan Rex Strickland (Chiwetel Ejiofor) senantiasa mendatangkan rasa kantuk.
Sebaliknya, tatkala fokus beralih ke bromance Eddie dan Venom dengan segala banter menggelitik mereka, daya hibur filmnya berangsur pulih. Filmnya menyenangkan tiap tidak menganggap dirinya terlampau serius. Termasuk saat membawa Eddie dan Brock dalam road trip guna kabur dari kejaran pasukan monster kiriman Knull, yang berujung mempertemukan mereka dengan Martin Moon (Rhys Ifans) beserta keluarga hippie-nya yang terobsesi pada alien.
Keluarga Moon mengajak Eddie menyanyikan Space Oddity milik David Bowie dalam van mereka, menciptakan "adegan musik" yang jauh lebih menghibur ketimbang pemakaian lagu-lagu populer lain yang diselipkan paksa bak daftar putar jukebox di sepanjang durasi.
Sampai datanglah rentetan pemandangan konyol, yang sejatinya didasari niat baik. Di situlah filmnya tak lagi memandang dirinya terlampau serius. Sayangnya timbul beberapa lubang. Pertama, penulisan yang kurang mumpuni membuat dua tone yang berseberangan itu saling bertabrakan dan memunculkan inkonsistensi.
Kedua, kekonyolan yang sang sineas hadirkan tak dibarengi kreativitas. Salah satu yang paling menonjol adalah saat protagonisnya bereuni dengan Mrs. Chen (Peggy Lu) di Las Vegas, yang berujung pada momen absurd kala Venom dan si perempuan paruh baya pemilik minimarket itu berdansa diiringi lagu Dancing Queen. Sudah berapa juta kali adegan menari konyol diselipkan secara acak dalam film untuk menyegarkan suasana?
Ketiga, jika Marcel sadar bahwa filmnya perlu lebih bersantai supaya menyenangkan untuk ditonton, mengapa tidak sekalian total menjadikannya suguhan konyol tak berotak? Keraguan tersebut membuat Venom: The Last Dance tak memiliki jati diri. Dia bukan film superhero serius, bukan pula presentasi konyol bernuansa so-bad-it's-good yang bersikap peduli setan pada pakem-pakem filmmaking.
Pengarahan sang sutradara di klimaks cukup berhasil membangun puncak pertempuran chaotic yang seru, meski di saat bersamaan, sekali lagi minimnya kreativitas membuatnya menyia-nyiakan potensi dari kemunculan beragam simbiot. Sewaktu ending yang digarap bagai video klip cheesy nan murahan untuk lagu Memories tiba, mungkin banyak orang bakal menyesali keputusan meluangkan uang dan waktu bagi Venom: The Last Dance. Sebuah penutup trilogi yang hanya menjadi jembatan butut alih-alih babak pamungkas epik.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar