REVIEW - SELEPAS TAHLIL

Tidak ada komentar

Tidak ada yang benar-benar memalukan dari adaptasi untuk salah satu cerita horor dari siniar Lentera Malam ini. Selepas Tahlil, yang bicara tentang harga yang mesti dibayar oleh manusia pendosa, cuma mempunyai satu dosa: meneruskan kemonotonan dan minimnya keberagaman dalam horor Indonesia. Masih cerita yang sama dengan cara menakut-nakuti yang juga serupa. 

Alurnya masih membahas soal kematian yang tidak berlangsung mulus akibat semasa hidupnya, almarhum melakukan perjanjian dengan setan untuk mendapatkan ilmu, masih soal duka yang dirasakan keluarganya, masih berpusat pada acara tahlilan sebagaimana terpampang jelas di judul, masih pula sangat Jawasentris dan Islam-sentris. 

Saras (Aghniny Haque) dan Yudhis (Bastian Steel) hanya ingin mengubur ayah mereka, Hadi (Epy Kusnandar), namun rintangan selalu datang menghadang. Di satu kesempatan kala tahlilan tengah berlangsung, jenazah Hadi pelan-pelan bangkit, terduduk, sebelum mengucapkan kalimat yang menyiratkan bahwa maut bakal menjemput keluarganya. Entah sudah berapa kali pemandangan serupa dipakai oleh horor kita.

Konflik lain berasal dari wasiat Hadi, yang meminta dimakamkan di kampung halamannya. Ketika adik Hadi, Setyo (Adjie N.A.), tiba guna menjemput jenazah kakaknya, Saras menolak. Dia enggan terpisah jauh dari sang ayah. Naskah buatan Husein M. Atmodjo sejatinya membawa niat baik, dengan memperlihatkan fase denial yang mengiringi proses berduka manusia. Aghniny pun (seperti biasa) tampil total menyuarakan carut-marut perasaan karakternya. 

Sayang, naskahnya sendiri tidak sebegitu dalam menyelami dinamika psikis tersebut. Durasi 96 menitnya pun tersusun atas alur yang tipis, minim misteri yang bisa mengikat atensi, pula terkesan repetitif akibat ketidakmampuan pembuatnya mengatasi agar acara tahlilan yang beberapa kali dilangsungkan tidak cuma berakhir sebagai pengulangan monoton. 

Upaya positif untuk menggarap horor secara sungguh-sungguh sebenarnya terasa betul dimiliki oleh Selepas Tahlil. Departemen teknis digarap cukup solid, Adriano Rudiman selaku sutradara mampu mengambil titik tengah dalam hal mengolah pacing supaya filmnya bergerak penuh kesabaran tanpa harus terkesan berlarut-larut, alurnya pun menolak sekadar mengumbar penampakan. Tapi apa yang tersisa dari sebuah film yang ingin bercerita namun tak dibarengi penceritaan mumpuni?

Apalagi terornya tampil tak seberapa mencekam. Masalah sudah terasa sedari opening-nya, yang luput membangun intensitas atau sekadar menyiratkan kengerian. Padahal adegan pembuka berperan besar memengaruhi antisipasi serta kesediaan penonton menaruh atensi bagi sebuah film. Sewaktu babak puncaknya sebatas diisi rukiah ala kadarnya yang berlangsung tanpa ketegangan maupun kebaruan, saya pun tidak lagi terkejut. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: