REVIEW - UNTIL DAWN

Tidak ada komentar

Modifikasi yang Until Dawn terapkan berpotensi menyebabkan perdebatan di antara pecinta game berjudul sama yang jadi sumber adaptasinya. Tapi keputusan kontroversial itu turut berjasa menjadikan karya horor pertama David F. Sandberg sejak Annabelle: Creation (2017) ini sebagai salah satu adaptasi video game paling menghibur, sebab tujuan utama yang diusung adalah melakukan pendekatan unik terhadap formula film horor. 

Lima muda-mudi melakukan perjalanan melintasi hutan. Clover (Ella Rubin), Max (Michael Cimino), Nina (Odessa A'zion), Megan (Ji-young Yoo), dan Abel (Belmont Cameli) memulai misi untuk menemukan Melanie (Maia Mitchell), adik Clover yang sudah setahun menghilang. Pencarian menemui jalan buntu, hingga mereka menemukan sebuah kabin di tengah kota pertambangan bernama Glore Valley yang telah lama ditinggalkan. 

Tidak butuh waktu lama bagi naskah buatan Gary Dauberman dan Blair Butler untuk menunjukkan modifikasi terhadap formula klise "kabin di tengah hutan", ketika satu per satu karakternya tewas di tangan sesosok pembunuh bertopeng, sebelum akhirnya hidup kembali dan mesti mengulangi hari, sementara kematian senantiasa mengejar mereka. Kondisi itu akan terus terulang selama para protagonisnya belum memecahkan misteri seputar Glore Valley. 

Plot yang ditawarkan sejatinya tipis, setidaknya hingga pertengahan durasi di mana Until Dawn menerapkan pola penuturan layaknya sajian slasher. Keunggulan yang ditawarkan terletak pada metode kematian yang selalu berganti dalam setiap pengulangan waktu. Until Dawn punya opsi cara membunuh tak terbatas, yang untungnya bisa dimanfaatkan guna melahirkan beberapa adegan kematian kreatif nan brutal. 

Kuncinya adalah keengganan memakai hanya satu jenis "sumber maut". Berbekal konsep yang mengingatkan ke The Cabin in the Woods (2011), Until Dawn menjadi "hoserba" (horor serba ada) yang menggabungkan sosok-sosok seperti pembunuh bertopeng ala slasher, penyihir, raksasa, boneka setan, dan tentunya monster bernama Wendigos yang menjadi ciri khas game-nya. Bahkan air pun dapat menghadirkan kematian tak terduga di sini.

Tapi jangan dulu mengharapkan eksplorasi konsep secerdas The Cabin in the Woods. Dauberman dan Butler masih cenderung keteteran menangani world-building unik dalam naskahnya. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan dasar 5W1H yang gagal dijabarkan secara layak oleh kedua penulis. 

Untungnya di kursi sutradara, David F. Sandberg belum kehilangan sentuhannya perihal mengolah intensitas, termasuk melalui deretan jumpscare yang cukup efektif menggedor jantung. Satu hal yang agak disayangkan adalah keputusannya meredupkan pencahayaan secara berlebihan di babak akhir. Ketika penonton sulit mengidentifikasi peristiwa di layar, otomatis ketegangan juga sukar dihadirkan. 

Until Dawn turut menampilkan pembahasan mengenai emosi negatif manusia, terutama yang erat kaitannya dengan rasa takut dan duka. Upaya kelima protagonis kita untuk kabur dari lingkaran waktu sendiri merupakan representasi dari proses mereka beranjak dari rangkaian emosi negatif tersebut. Sampai di satu titik, kematian tak lagi sebegitu mengerikan, dan mereka bersedia menyambutnya dengan tangan terbuka.  

Penceritaan di atas mungkin tak pernah benar-benar melahirkan drama dengan bobot emosi besar, namun tidak pula berakhir hambar berkat penampilan solid jajaran pemainnya. Tatkala barisan muda-mudi di banyak film serupa tidak lebih dari seonggok daging yang menanti untuk dijagal, lima pelakon muda di Until Dawn mampu memberikan kepribadian bagi tiap-tiap karakter yang membuat proses mereka mengulangi ajal masing-masing menyenangkan untuk diikuti. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: