REVIEW - GJLS: IBUKU IBU-IBU

Tidak ada komentar

Di GJLS: Ibuku Ibu-Ibu, blooper muncul di tengah film alih-alih dipakai mengiringi kredit penutup. Kalau ia dibuat oleh seorang auteur dalam bentuk arthouse, niscaya film ini bakal disebut "eksperimental". Sebuah sinema avant-garde yang meleburkan batasan antara fiksi dan realita, alih-alih sebatas komedi konyol biasa. 

Tapi Monty Tiwa selaku sutradara beserta trio komedian GJLS yang membintanginya memang tak berniat melahirkan avant-garde. Mereka hanya ingin bersenang-senang dalam membuat film yang    sebagaimana telah disiratkan di judul    "gak jelas". 

Rispo (Ananta Rispo), Rigen (Rigen Rakelna), dan Hifdzi (Hifdzi Khoir) adalah kakak-beradik putra Pak Tyo (Bucek Depp), pemilik kos-kosan yang berantakan selepas kematian istrinya. Tunggu sampai kalian tahu rupa ibu para pemuda gila itu. Masalah hadir saat ketiganya tidak menyetujui sang ayah memacari Feni (Nadya Arina), SPG rokok yang berusia lebih muda dari mereka. 

Di sisi lain, Rispo tengah terlilit pinjol akibat ketagihan judol, Rigen mesti mengganti mobil temannya yang ia hilangkan saat jadi korban gendam, sedangkan Hifdzi mesti segera menikahi pacarnya, Yuni (Reynavenzka), yang hamil. Belum lagi membahas kedatangan Sumi (Luna Maya), teman Tyo semasa sekolah yang motivasinya patut dicurigai. GJLS: Ibuku Ibu-Ibu mencampur segala problematika di atas menjadi 95 menit yang bersikap peduli setan pada segala prinsip filmis.

Saya sudah menyinggung soal blooper-nya. Para aktor yang tak bisa menahan tawa, obrolan dengan para kru di balik layar, hingga adegan yang berkali-kali diulang, merupakan pemandangan biasa di sini. Penyuntingan yang ditangani oleh Oliver Sitompul bak mengacungkan jari tengah pada kaidah sinema apa pun. 

Tiba-tiba muncul adegan musikal dengan lagu yang membicarakan perihal feromon, tiba-tiba genrenya beralih ke horor, tiba-tiba pula karakter Mulyo Nurut yang diperankan Benidictus Siregar datang dan pergi dengan cara luar biasa absurd. Jangan pikirkan hal-hal di luar nalar, pula tanpa jawaban, yang bisa mendadak kita temukan. GJLS: Ibuku Ibu-Ibu memang dibuat oleh sekumpulan orang goblok, dengan target pasar penonton goblok. Saya salah satunya. 

GJLS: Ibuku Ibu-Ibu tidak takut melangkah ke "zona berbahaya" kala melempar humornya, termasuk lewat lelucon yang berpusat pada orang-orang dengan cacat fisik. Saya bisa membayangkan dalam seminggu ke depan, media sosial bakal dibuat membara oleh debat panas mengenai cara melucu film ini. 

Saya menganggap deretan "lelucon pinggir jurang tersebut" lumayan kreatif, namun tidak dengan banyolan yang menjadikan perempuan sebagai objek. Setiap jenis komedi semacam itu muncul di layar, saya berharap ide-ide khas GJLS, seperti yang mereka tampilkan di film pendek Kuyup (2020) lebih diberi ruang (naskahnya ditulis oleh sang sutradara, Monty Tiwa, bersama Rza Kumar, Mohammed Syazsa, dan Erik Tiwa, tanpa melibatkan trio pemeran utamanya). 

Saya tidak menyebut Rispo, Rigen, dan Hifdzi bakal lebih bermoral atau bersikap politically correct, tapi trio goblok ini tentu punya segudang ide yang lebih kreatif dibanding sekadar adegan "masturbasi dadakan". Seketika saya teringat film-film Warkop DKI, terutama sebelum era Soraya yang dimulai sejak Atas Boleh Bawah Boleh (1986). Warkop selalu memastikan, polah mesum karakter dalam film mereka langsung mendapat hukuman setimpal tanpa harus menunggu sampai ending. 

Tapi jika membicarakan talenta trio GJLS dalam hal mengocok perut, tak ada keluhan sama sekali. Rigen dengan amarah tanpa akhirnya, Hifdzi dengan Bahasa Thailand dan goyangan sensualnya, serta Rispo yang bisa membuat semua kata-kata dari mulutnya berubah jadi materi humor brilian. Mungkin Rispo memang seorang sinema avant-garde bertopeng komedian goblok.  

Tidak ada komentar :

Comment Page: