REVIEW - MADS

Tidak ada komentar

Mads akan lebih banyak dibicarakan karena format one-shot miliknya, tapi pencapaian impresif film ini bukan soal teknis semata. David Moreau selaku sutradara sekaligus penulis naskah turut memberi twist menarik pada formula usang film zombi, termasuk sebuah relevansi seputar isu yang akan terasa begitu dekat di benak penonton Indonesia saat ini: penembakan oleh aparat. 

Alurnya yang diawali dengan cukup lambat, bukan menyoroti puncak ledakan wabah, melainkan fase awal ketika semua masih jadi misteri yang coba ditutupi oleh para pemegang kuasa. Semua berawal sewaktu Romain (Milton Riche) mengonsumsi narkoba jenis baru berwarna merah. Keanehan mulai terjadi. Romain merasakan ketidakberesan di tubuhnya, pun di perjalanan pulang, ia dihadang sesosok perempuan yang secara membabi buta menusuk-nusuk lehernya sendiri.

Bahkan sejak menit-menit awal, cara Mads mengeksekusi teknik one-shot sudah mengundang decak kagum. Kamera arahan Philip Lozano merekam tanpa pernah putus, pula terus bergerak liar bak sedang di bawah pengaruh halusinogen, yang seiring waktu makin mengagumkan kala David Moreau mulai memandu penonton mengarungi perjalanan berkeliling kota bersama karakternya. 

Presentasinya tidak pernah benar-benar mengerikan atau menegangkan. Tidak pula mengumbar kekerasan layaknya jajaran film zombi dengan daya hibur tinggi. Tapi ada kepuasan besar melihat betapa bagus Mads menangani kompleksitas teknisnya. 

Hebatnya, Mads tak hanya berfokus pada perspektif satu protagonis. Kelak kita akan meninggalkan sudut pandang Romain untuk beralih ke pacarnya, Julia (Lucille Guillaume), kemudian berpindah lagi ke Anaïs (Laurie Pavy), sahabat Julia yang menyimpan rahasia. Pergeseran sudut pandangnya luar biasa mulus, sekaligus didukung penampilan solid ketiga pelakonnya, yang sejalan dengan realisme incaran sang sutradara.

Julia dan Anaïs juga memakai narkoba merah yang sama sebelum perlahan kehilangan kendali. Mads punya pendefinisian soal zombi yang agak berbeda dibanding mayoritas "kepercayaan" arus utama. Alih-alih mematikan otak, virusnya cenderung membangkitkan sisi feral manusia. Sebelum tertarik memangsa korban, mereka yang terjangkit lebih dulu bersikap anarkis, merusak properti, atau seperti yang nampak di judulnya, "menggila". 

Tapi film ini memiliki gerombolan yang lebih gila dibanding para zombi, yakni pasukan paramiliter yang seketika memenuhi kota, kemudian melakukan penembakan tanpa pandang bulu. Warga sipil tak bersalah dihabisi, ditembak di tempat, hanya karena mereka berpapasan dengan individu pembawa virus, yang juga belum sempat memahami keanehan dalam tubuh mereka. 

Sejatinya Mads tak pernah secara gamblang menjabarkan asal virus tersebut. Apakah dari narkoba, atau akibat perempuan misterius di awal film (disiratkan ia adalah subjek suatu eksperimen) yang darahnya sempat mengenai wajah Romain. Justru ketidaktahuan itulah poinnya. Bagaimana pihak berwajib enggan memberi penjelasan, dan begitu ringan mencabut nyawa tanpa sedikit pun rasa kemanusiaan, jadi sentilan tajam yang Moreau hendak sampaikan. 

Mads mendobrak beberapa formula klise subgenre-nya, terutama dengan memposisikan para "infected" juga selaku mangsa ketimbang predator penghuni puncak rantai makanan. Tapi ia tetap mempertahankan salah satu fungsi cerita zombi, yakni sebagai alat penyampai metafora kondisi sosial. Pada masa di mana umat manusia seolah makin kehilangan kemanusiaan mereka, cerita-cerita macam ini akan terus memiliki relevansi. 

(JWC 2025)

Tidak ada komentar :

Comment Page: