Tampilkan postingan dengan label Kazuki Kitamura. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kazuki Kitamura. Tampilkan semua postingan
THE BATTLE: ROAR TO VICTORY (2019)
Rasyidharry
Bayangkan ada orang asing memasuki
rumahmu, memakan makananmu, menjadikan anakmu anaknya, meniduri istrimu, lalu
berkata, “Ayo hidup bersama”. Kiasan itu dipakai Hwang Hae-cheol (Yoo Hae-jin),
seorang ahli pedang anggota pasukan kemerdekaan Korea, guna menggambarkan
kemarahannya terhadap para penjajah dari Jepang. Kemarahan itulah, yang menurut
The Battle: Roar to Victory, menyulut
semangat perlawanan, yang membuat rakyat sipil bersedia angkat senjata, terjun
ke medan pertempuran.
Mengambil latar tahun 1920,
tepatnya hari-hari jelang Pertempuran Fengwudong, filmnya memposisikan
Hae-cheol sebagai sentral cerita. Saat kecil, ia menyaksikan adiknya tewas
akibat granat pasukan Jepang, dan kini ia memimpin pasukannya sendiri, yang
terdiri atas mantan bandit, mantan nelayan, atau mantan petani, menjalankan
misi mengirimkan sejumlah uang untuk menyokong perjuangan kemerdekaan.
Sampai ia bertemu Jang-ha (Ryu
Jun-yeol), komandan pasukan muda sekaligus penembak jitu, yang dahulu pernah
jadi anak didiknya. Hae-cheol pun tergerak membanu Jang-ha yang tengah mengemban
misi memancing pasukan elit Jepang yang dipimpin seorang letnan satu bengis
(Kazuki Kitamura), ke pegunungan Bongo-dong. Di sanalah rencananya bakal
dilakukan penyergapan oleh pasukan Korea.
The Battle: Roar to Victory punya segalanya untuk jadi film
pemancing gelora nasionalisme, namun ketimbang mengedepankan humanisme, naskah
buatan Chun Jin-woo (The Hunt) justru
terjebak dalam kekacauan penceritaan. Nama-nama baru terus muncul, begitu pula beragam
misi dan fakta yang silih berganti mengisi narasi tanpa memberi cukup
kesempatan bagi penonton memahaminya satu demi satu. Membingungkan, koneksi
emosi terhadap karakternya pun makin sulit terbentuk.
Bukan berarti filmnya sepenuhnya
melupakan presentasi drama, sebab selain paparan luas mengenai perjuangan
rakyat Korea, secara khusus terdapat banyak subplot seperti usaha Jang-ha
mencari kakak perempuannya, nasib tragis gadis cilik bernama Choon-hee (Lee
Jae-in) yang kehilangan semua keluarga pasca penyerbuan pasukan Jepang ke
desanya, hingga proses Yukio (Kotaro Daigo) si prajurit muda Jepang yang
menyadari kekejaman bangsanya sendiri selama menjadi tawanan Hae-cheol.
Sayang, akibat penuturan setengah
matang, tak satu pun elemen di atas sanggup menggugah perasaan. Kisah soal
Choon-hee maupun Yukio berakhir begitu saja tanpa penebusan berarti pada
konklusi, sedangkan Jang-ha kurang mendapat eksplorasi guna dapat memancing
simpati. Naskahnya kesulitan membagi fokus, bahkan seringkali muncul kesan
bahwa Hae-cheol selaku protagonis justru menghalangi potensi berkembangnya
kisah lain, di saat ia sendiri tak memiliki story
arc menarik.
Yoo Hae-jin mampu menghidupkan
ketangguhan Hae-cheol si prajurit tanpa rasa takut yang gemar memasang sikap “peduli
setan”, tapi dia tak dianugerahi cukup kharisma guna memanggul beban pemeran
utama. Hae-jin, yang selama ini memang identik dengan peran pendukung, belum
punya kapasitas protagonis. Dia bahkan gagal membakar semangat dalam satu momen
kala Hae-cheol berorasi di depan pasukannya. Kekurangan ini semakin kentara
ketika filmnya memperkenalkan cameo mengejutkan
dari seorang bintang besar penuh wibawa jelang akhir.
Beruntung, The Battle: Roar to Victory memiliki senjata pamungkas berupa
sekuen aksi. Berlatarkan lokasi-lokasi lapang seperti padang rumput maupun
bentangan pegunungan, bentrokan pasukan Korea melawan Jepang dimanfaatkan sutradara
Won Shin-yun (Seven Days, The Suspect)
sebagai ajang memamerkan kemampuan staging-nya,
mengorkestrasi kerusuhan berskala besar menjadi tontonan kompleks yang tertata
rapi. Apalagi ditambah elemen kekerasan berdarah yang mewakili horor medan
perang, gelaran aksi film ini makin memikat.
Ditangani oleh Kim Young-ho,
sinematografinya berhasil menerjemahkan visi sang sutradara akan sebuah pertempuran
masif, saat kameranya banyak menerapkan wide
shot guna menggambarkan bentangan luas lokasinya, bergerak dinamis menyapu
seluruh lanskap, sambil sesekali menggunakan single take demi menguatkan intensitas serta realisme. Bagi film
yang mengedepankan kata “battle” pada
judul, kesuksesan merangkai pertarugan secara memikat sudah cukup memberi obat
penawar atas setumpuk kelemahannya.
September 07, 2019
Action
,
Chun Ji-woo
,
Cukup
,
Kazuki Kitamura
,
Korean Movie
,
Kotaro Daigo
,
Lee Jae-in
,
REVIEW
,
Ryu Jun-yeol
,
War
,
Won Shin-yun
,
Yoo Hae-jin
JCW 2018 - COLOR ME TRUE (2018)
Rasyidharry
Apalah cinta kalau tidak saling
mewarnai hidup sepasang manusia? Dalam Color
Me True a.k.a. Tonight, at the Movies,
tokoh Puteri fiktif dari film hitam-putih lawas yang terlupakan, tiba-tiba keluar
dari layar. Tapi bukan menyeberang ke dunia nyata yang memberinya warna,
melainkan pertemuan dengan sineas muda yang tiap hari, seorang diri, mendatangi
bioskop demi melihat si gadis impian yang takkan mampu dia
jangkau.....setidaknya hingga keajaiban datang.
Pemuda itu bernama Kenji (Kentaro
Sakaguchi), yang berprofesi sebagai asisten sutradara. Artinya, ia dituntut
berlarian ke sana-kemari mengerjakan tugas, dari melukis properti layar, sampai
melayani megabintang Ryunosuke Shundo (Kazuki Kitamura dalam performa komikal
menghibur) yang menyebut dirinya sendiri “Pria Tampan”. Bagi Kenji, kemunculan
Puteri Miyuki (Haruka Ayase) turut mewarnai kehidupan membosankan miliknya,
walau menariknya, di awal pertemuan, Miyuki dengan polah antiknya justru
merepotkan Kenji. Tapi seiring proses saling mengenal dan memahami, Miyuki
justru menginspirasi naskah film perdana Kenji, sebab cinta memang sumber inspirasi
terbesar, termurni, dan terjujur.
Kita semua menyimpan mimpi serupa
Kenji, di mana sosok pujaan (fiktif atau bintang dunia nyata), secara ajaib
muncul di samping kita. Color Me True
bukan film pertama yang mengusung konsep tersebut, bukan juga yang terbaik
dalam hal eksekusi elemen fantasinya. Setelah Miyuki mewarnai tubuhnya dengan
riasan dan pakaian, sejatinya film ini tak ubahnya romansa bernuansa “head over heels” biasa. Miyuki memanggil Kenji “pelayan”, dan sang pemuda menuruti
segala keinginan sang Puteri.
Color Me True diawali sebagai ode bagi sinema, dengan narasi
mengenai tendensi dilupakannya film-film lama, yang teronggok di dalam lemari
berdebu, atau lebih buruk, hilang. Protagonisnya adalah seseorang yang
mencintai film namun begitu jarang kita mendengar ia bicara soal film. Pun Color Me True menghabiskan banyak durasi
di studio film namun urung menunjukkan sihir pembuatan film, padahal Miyuki
meminta Kenji membawanya ke sana untuk melihat bagaimana dunia tempat
tinggalnya dibuat.
Ya, meninjau eksplorasi konsep, Color Me True belum menawarkan
pendekatan baru, meski sulit ditampak, efektivitasnya sebagai hiburan cukup
tinggi. Komedinya bekerja dengan baik, sementara interaksi kedua tokoh utamanya
mudah memancing senyum. Bukan kejutan tatkala pertemuan seorang Puteri yang
bertindak semaunya, memukul semuanya yang ia anggap tidak sopan dengan pria
pemalu yang selalu meragu menghasilkan beragam pemandangan lucu.
Kentaro Sakaguchi melakoni perannya
dengan apik, lewat gestur canggung dan senyum penuh kepolosan, membuat sosoknya
bisa dipercaya sebagai pemuda naif. Sedangkan Haruka Ayase memancarkan pesona
bintang film masa lalu yang bersinar teranng dalam tiap kemunculannya di layar.
Berhiaskan puluhan baju elegan beraneka warna dan gaya, Haruka nampak seperti
reinkarnasi Audrey Hepburn.
Color Me True bisa saja berakhir menjadi romansa biasa, yang solid
namun jauh dari kesan spesial, kalau bukan karena 30 menit terakhirnya: parade
momen mengharukan yang enggan memberi penonton waktu mengatur napas maupun
menahan banjir air mata. Ketika anda kira sebuah momen sudah cukup emosional,
momen lain yang lebih menyesakkan segera menyusul. Terus demikian hingga shot penutup.
Film ini mengesampingkan pendekatan
subtil demi gaya melodramatik, yang untungnya berhasil mencapai tujuannya terkait
olah rasa. Sutradara Hideki Takeuchi (Thermae
Romae) dan penulis naskah, Keisuke Uyama, tahu apa yang membuat penonton
terisak serta bagaimana memaksimalkannya. Entah melalui dialog bertaburan
kalimat manis nan memorable, atau
sentuhan kecil semisal penempatan fokus kamera pada senyum simpul karakternya. Scoring bergaya orkestra megah gubahan
Norihito Sumitomo (Whiteout, Dragon Ball
Z: Resurrection ‘F’) yang setia mengiringi tiap situasi, terdengar layaknya
musik yang mengalun dalam hati kala kita berlinang air mata karena cinta. Sejak La La Land, belum pernah saya menangis sekeras ini, hingga dada dan tenggorokan terasa sakit. Such a beautiful love story!
Desember 10, 2018
Fantasy
,
Haruka Ayase
,
Hideki Takeuchi
,
Japanese Movie
,
Kazuki Kitamura
,
Keisuke Uyama
,
Kentaro Sakaguchi
,
Norihito Sumitomo
,
REVIEW
,
Romance
,
Sangat Bagus
Langganan:
Postingan
(
Atom
)