REVIEW - SUPERMAN

Perkenalan saya dengan komik pahlawan super Amerika terjadi lewat terbitan Misurind yang waktu itu menguasai pasar. Karena masih duduk di bangku SD, saya pun cuma asal mengambil beberapa judul tanpa memperhatikan urutan nomornya. Akibat tidak mengikuti cerita dari awal, banyak poin cerita luput saya pahami, sejumlah tokoh sampingan pun tidak saya kenali. Tapi pengalaman membaca yang dihasilkan sungguh luar biasa. Rasanya seperti bergabung di tengah jalan, dalam petualangan besar yang sudah berlangsung beberapa waktu. 

Superman karya James Gunn memantik perasaan serupa. Ketika film dimulai, sudah tiga dekade berlalu sejak kedatangan Kal-El (David Corenswet) ke Bumi, di mana selama tiga tahun terakhir, sang putra terakhir Krypton memulai karirnya sebagai Superman si pahlawan umat manusia. Permusuhannya dengan Lex Luthor (Nicholas Hoult) telah memanas, romansanya dengan Lois Lane (Rachel Brosnahan) pun telah terjalin. 

Perihal menumpas ancaman, Superman tidak sendiri. Anggota Justice Gang yang terdiri atas Guy Gardner/Green Lantern (Nathan Fillion), Mister Terrific (Edi Gathegi), dan Hawkgirl (Isabela Merced) turut ambil bagian. Dunianya sudah berjalan jauh sebelum penonton tiba, dan bakal terus bergulir selepas kita meninggalkan bioskop. 

Perayaan terhadap komik pahlawan super. Itulah yang ingin Gunn sajikan. Dia pun enggan membatasi Superman versinya dalam satu era. Fase Silver Age yang dikenal lewat kekonyolannya tidak luput dirayakan, misal saat Lex Luthor coba merusak reputasi Superman, dengan mengutus pasukan monyetnya untuk menciptakan ujaran kebencian di internet. Gunn memang jagonya menangani keanehan khas komik. Karakter macam Mister Terrific yang di permukaan terkesan konyol pun bisa dibuatnya beraksi secara keren.

Era modern yang lebih kompleks pun direpresentasikan dengan cara memanusiakan Superman. Sebagaimana film-film superhero lain buatannya, di sini Gunn kembali menunjukkan kalau karakterisasi solid yang tak menutup mata perihal ketidaksempurnaan si protagonis, tidak bersinonim dengan kegelapan atau keseriusan berlebih (walau ada kalanya pendekatan tersebut diperlukan). 

Kisahnya bermula kala Superman berada di titik paling rendah. Si metahuman terkuat untuk pertama kalinya mengalami kekalahan, hingga memerlukan pertolongan anjingnya, Krypto. Dari situlah narasi yang menjauhi pakem klise film pahlawan super digulirkan. Beberapa kali kita mendapati Superman kewalahan mengatasi ancaman Lex Luthor. Bukan berarti ia lemah. Kemenangan tak mendefinisikan kepahlawanan. Superman adalah perwujudan sisi terbaik manusia, yang senantiasa melihat sisi baik dari manusia. Sewaktu ia mengudara, kemudian lagu tema ikoniknya terdengar, harapan akan dunia yang lebih baik seketika menyeruak. Itulah kepahlawanan.

Karenanya, di hadapan kompleksitas dunia modern, pola pikir Superman nampak terlalu naif. Dia hanya ingin menyelamatkan semua makhluk, dari seekor tupai kecil, maupun manusia yang terkekang oleh represi. Di antara tetek bengek geopolitik, tendensi kolonisasi oleh negara-negara adidaya, juga prasangka-prasangka terhadap mereka yang dianggap berbeda, Superman tetap menomorsatukan cinta, bahkan tatkala cinta terkadang menyakitinya, entah dalam bentuk pertengkaran dengan Lois, maupun saat publik mencapnya "alien jahat".

David Corenswet memberi humanisme dalam diri karakternya, baik sebagai Clark Kent atau Superman. Dia masih hijau, belum stabil secara emosi, bukan pula "dewa di antara manusia" layaknya interpretasi Christopher Reeve. Corenswet melahirkan figur pahlawan yang lebih relevan untuk masa sekarang. Di kutub yang berlawanan, Hoult membuat penonton mudah mengutuk aksi Lex Luthor, yang sebagaimana banyak "penjahat" zaman modern, begitu gemar menyebarkan sudut pandang negatif.

Klimaks Superman memang cenderung mengecewakan. Puncak pertarungan sosok metahuman terkuat mestinya lebih bombastis daripada baku hantam generik sebagaimana yang Gunn sajikan di sini. Tapi bahkan di tengah penurunan kualitas tersebut, filmnya menolak kehilangan relevansi. Babak ketiganya tak melibatkan invasi alien atau monster interdimensional. Sebatas dampak dari keserakahan dan kebencian umat manusia yang tidak lagi bisa dikendalikan. Tapi setidaknya, semesta film ini mempunyai pahlawannya yang selalu bisa mendatangkan harapan. 

REVIEW - JAGAD'E RAMINTEN

Jika membicarakan kapasitas bercerita, dokumenter arahan Nia Dinata ini memang belum sampai taraf luar biasa. Meski demikian, ia berfungsi sebagai sesuatu yang lebih besar daripada sekadar "sinema berkualitas". Jagad'e Raminten memberi ruang aman bagi kaum marginal untuk berkisah secara bebas, sembari membanggakan identitas mereka sebagaimana adanya. 

Sesosok perempuan queer berusia paruh baya dengan dandanan khas Jawa. Mustahil melewatkan figur Raminten yang eksentrik nan ikonik kala menginjakkan kaki di Yogyakarta walau cuma sejenak. Entah sudah berapa banyak pula kenangan manusia pernah terekam di The House of Raminten, rumah makan 24 jam yang mengabadikan namanya. Melalui film ini, giliran kita yang mendengarkan kenangan tentangnya. 

Raminten sejatinya adalah nama karakter dari siaran ketoprak Pengkolan yang diperankan Hamzah Sulaeman, atau yang juga dikenal dengan nama Kanjeng Mas Tumenggung Tanoyo Hamijinindyo, selepas gelar tersebut dianugerahkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X. Seorang seniman, pengusaha, hingga abdi dalem keraton. Apa lagi yang belum kita tahu mengenai individu hebat yang baru saja meninggal dunia pada 23 April lalu tersebut? 

Sebagaimana judul filmnya, Nia Dinata mengajak penonton bertualang mengarungi semesta ciptaan Hamzah/Raminten. Sebuah semesta inklusif yang memanusiakan manusia, pula memanusiakan seniman. Salah satu narasumbernya adalah Ratri, anak angkat Hamzah yang paling muda. Tanpa ada keraguan ia sampaikan penerimaan sang ayah (dipanggil "Kanjeng" olehnya dan orang-orang terdekat lain) mengenai orientasi seksualnya sebagai lesbian. 

Inklusivitas itu paling diwakili oleh Raminten Cabaret Show yang diadakan di lantai atas Hamzah Batik, Malioboro. Pertunjukan tersebut banyak melibatkan individu LGBTQ, yang setiap hari Jumat dan Sabtu diberi kesempatan menjadi bintang di atas panggung, biarpun dalam rutinitas sehari-hari, stigma negatif masyarakat terhadap mereka belum juga lenyap. 

Nia Dinata menyusun narasi Jagad'e Raminten melalui wawancara dengan seluruh anggota kabaret. Semua diberi peluang bertutur. Di satu sisi, itu merupakan upaya bersikap adil yang patut dipuji, namun di sisi lain, prinsip "kuantitas di atas kualitas" membuat kisah para narasumber luput digali secara mendalam. Perkenalan kita dengan karakternya pun tak lebih dari sebatas nama (nama panggung mereka ditulis dengan teks besar sebagai penanda pergantian segmen) serta kulit luar, padahal masing-masing membawa cerita yang cukup kaya untuk dijadikan film tersendiri. 

Pergerakan narasinya acap kali begitu kasar, terutama karena tiap segmen bergulir teramat singkat. Akibat keterbatasan waktu pula, jawaban dari pertanyaan "Bagaimana sosok Hamzah di mata kalian?" yang diajukan ke narasumbernya gagal berkembang lebih luas dari sebatas rangkaian puja-puji mengenai kedermawanan yang kerap mendiang lakukan. 

Tapi cerita mengenai kemanusiaan seorang Hamzah Sulaeman beserta semangat inklusivitas miliknya memang tak pernah gagal memancarkan pelukan kehangatan. Terpenting, sebagaimana sosok legendaris yang ia angkat kehidupannya, Jagad'e Raminten, di luar kelemahannya bernarasi, mampu menjalankan peran selaku penyedia ruang aman bagi kaum marginal.

Lesbian, gay, transpuan, cross-dresser hetero beristri, perempuan berjilbab, para laki-laki cis, semua dibiarkan berkisah tanpa larangan. Karena begitulah semesta yang dicita-citakan Hamzah Sulaeman. Sebuah semesta tanpa stigma, tanpa prasangka, pula dipenuhi cinta antar sesama manusia yang diperlakukan sebagaimana mestinya manusia. 

(Artjog 2025)

REVIEW - SISTER MIDNIGHT

Belakangan semakin banyak sinema India yang membicarakan isu pemberdayaan perempuan. Melalui karya terbarunya, bukan kebaruan seputar topik tersebut yang Karan Kandhari coba sentuh, melainkan soal bentuk pendekatan. Sister Midnight tampil seperti kehidupan itu sendiri. Kadang ia tidak beranjak ke mana-mana, tapi sejurus kemudian melaju begitu liar hingga mustahil untuk diperkirakan destinasinya. 

Perjodohan telah mengguncang hidup Uma (Radhika Apte). Bukan cuma karena ia mesti menikahi Gopal (Ashok Pathak), yang hanya ia kenal lewat pertemuan singkat kala keduanya masih berumur 8 tahun, juga seputar realita sebagai istri di lingkungan konservatif India. Baik dalam hal domestik maupun seksual, perempuan acap kali diperlakukan bak manusia kelas dua. 

Pada malam pertama pernikahan, Gopal bahkan terlalu canggung untuk berganti baju di hadapan istrinya. Uma pun terusir, lalu hanya bisa duduk di teras rumah, merokok, sembari memamerkan ekspresi terkejut yang akan berulang kali ia pasang di sepanjang film. Jangankan membagi isi hati, bibir keduanya bahkan tertutup rapat untuk sekadar saling bertukar kata-kata sederhana. 

Setiap kecanggungan terjadi, Gopal akan segera mengenakan seragam kerja lalu buru-buru berangkat ke kantornya. Tapi naskah buatan Karan Kandhari enggan mengambil jalur mudah dengan sebatas menumpahkan kesalahan pada Gopal. Dia pun korban dari adat kolot yang memaksanya menjalani hidup baru tanpa kesiapan memadai. Gopal bukan suami pendosa layaknya iblis dari neraka, namun ia bersalah akibat tidak berusaha mengusahakan surga bagi sang istri. 

Awalnya Sister Midnight terkesan stagnan, bahkan seperti tanpa plot, kala mengetengahkan rutinitas Uma di rumah. Apabila si tetangga, Sheetal (Chhaya Kadam), sedang tidak tersedia untuk diajak berkeluh kesah, Uma bisa menghabiskan seharian penuh duduk di depan rumah. Di sinilah pendekatan unik Karan Kandhari mengambil peran. 

Ditolaknya gaya bertutur konvensional, seolah memberi pernyataan bahwa ketajaman bercerita tidak bersinonim dengan keseriusan. Kita diajak menertawakan kondisi Uma, bukan karena penderitaannya lucu, tapi di realita pun, terkadang nasib tragis terus datang silih berganti, dengan cara luar biasa absurd pula, sehingga yang bisa kita lakukan hanya tertawa. 

Didukung tata kamera arahan Sverre Sørdal yang kerap memotret penderitaan Uma dalam simetri cantik sehingga memunculkan ironi, juga setumpuk situasi canggung arahan Karan Kandhari yang ada kalanya makin diperkuat oleh cara Napoleon Stratogiannakis menyunting narasinya, Sister Midnight pun tampil bagaikan karya-karya Wes Anderson, minus kemeriahan warna yang digantikan oleh ruang-ruang gelap di sekitar protagonisnya. 

Di antara kegelapan tersebut, Radhika Apte memancarkan sinarnya, menunjukkan bagaimana seni berlakon yang memanfaatkan seluruh aset dalam diri seorang aktor. Wajah penuh kekagetan dan kebingungannya, olah tubuh kikuknya, semua memudahkan penonton bersimpati sekaligus tertawa menyaksikan keabsurdan jalur hidup yang takdir pilihkan baginya. 

Kelak sebuah peristiwa misterius menimpa Uma, mengubah dirinya menjadi sesuatu yang identik dengan malam kelam, pula membawa film ini bertransformasi menjadi wujud yang mengingatkan ke A Girl Walks Home Alone at Night (2014) karya Ana Lily Amirpour. Kisahnya bergerak liar menjamah ragam area yang tak terbayangkan, sementara lagu-lagu rock dari The Stooges, T. Rex, hingga Motorhead, yang sekilas terdengar tidak pada tempatnya, berfungsi menginjeksi kesan sureal, sekaligus menegaskan posisi Uma yang juga "tidak pada tempatnya", sebagai perempuan yang berani menggugat di tengah lingkungan konservatif yang mengelilinginya. 

Sayang, seiring waktu Sister Midnight mulai dirugikan oleh keanehannya sendiri. Ketajaman pesannya tenggelam di balik surealisme, yang makin lama terkesan datang bukan untuk menguatkan penuturan, tapi sebagai penambah daya kejut semata. Keunikannya mulai menampakkan sisi pretensius, ketimbang teriakan kritis terhadap ketidakadilan yang disuarakan secara ambisius.

Tapi Sister Midnight tetap salah satu judul terbaik yang saya tonton tahun ini. Serupa Taxi Driver (1976) buatan Martin Scorsese yang ia beri penghormatan melalui desain posternya, film ini mengingatkan akan kegelapan sebuah kota, yang apabila dipertemukan dengan rasa sepi yang sedikit demi sedikit menelan habis jati diri seseorang, bakal pelan-pelan menyabotase kewarasan si manusia. 

(Klik Film)

REVIEW - AGEN +62

Agen +62 adalah komedi-aksi-spionase, di mana si agen rahasia bukan tipikal pria atletis dengan setelan rapi yang presensinya memancarkan maskulinitas konservatif, sedangkan si penjahat merupakan perempuan modis yang rasanya akan menjadikan The Devil Wears Prada sebagai film favoritnya. Unik. 

Si agen bernama Dito (Keanu AGL). Anggota PUANAS (Pusat Agen Nasional) di bawah pimpinan Lukman (Totos Rasiti), yang kerap bertugas menggunakan samaran sebagai penjual bakso. Sayangnya dia kerap melakukan kesalahan, hingga akhirnya dilarang terjun ke lapangan. Singkatnya hidup Dito jauh dari keglamoran khas agen rahasia film Hollywood. 

Jangankan baju mahal atau mobil mewah. Dito bahkan baru kehilangan motor, yang oleh sang ayah (Tenno Ali) dijual untuk membayar pinjol, yang melilitnya selepas ia kecanduan judol. Alhasil, ketika dikirim bersama sang senior, Martha (Rieke Diah Pitaloka), guna menyelidiki Iqbal Mahardika (Chandra Satria) si calon gubernur unggulan terkait keterlibatannya dengan bisnis judol, Dito mempunyai motivasi personal. 

Keduanya menyusup ke pengajian yang digelar di rumah Iqbal, di mana Dito menyamar sebagai ustaz. Bagi saya itulah adegan terlucu di Agen +62. Naskah buatan Candra Aditya dan Diva Apresya mampu mengolah kebiasaan si protagonis berpantun untuk melahirkan situasi absurd nan konyol, sedangkan Keanu kembali membuktikan bahwa dia bisa menyulap celetukan sekecil apa pun menjadi kelucuan besar. 

Dinna Jasanti (Dua Hati Biru, My Annoying Brother) duduk sebagai sutradara. Kinerjanya tidak buruk. Diberikannya tenaga guna membuat beberapa momen tampil dinamis. Sayang, terkait penanganan terhadap komedi, Dinna belum cukup piawai mengamplifikasi ide-ide humor milik naskahnya, dan seolah terlampau bergantung pada talenta jajaran pemainnya. Apalagi selepas alurnya mengungkap bahwa alih-alih Iqbal, akar dari segala praktik ilegal tersebut adalah Jessica (Cinta Laura Kiehl).

Cinta nampak bersenang-senang memerankan si penjahat sekaligus pemilik salon, yang di tiap kemunculannya selalu memanjakan mata dengan koleksi baju-baju glamornya (Jeanne Elizabeth Fam berjasa atas penataan kostum film ini). Tapi Jessica bukan cuma jago memoles diri. Di satu titik, ia turut memamerkan kemampuan berkelahinya, kala membela Dito dan sang ayah dari kejaran penagih utang. 

Ya, Dito dan Jessica bersahabat. Sewaktu Martha menyamar sebagai perempuan desa polos, yang akan mengingatkan banyak penonton milenial pada karakter Oneng di Bajaj Bajuri, guna menyusup ke kantor Jessica, maka Dito berlagak bak "banci salon" dengan rambut pelangi serta tingkah polah heboh, yang justru memudahkannya menjalin pertemanan dengan si bos sekaligus target buruannya. Dinamika unik pun terjalin, meski sayang, naskahnya tak pernah memanfaatkannya untuk menambah bobot emosi di fase konklusi.

Nantinya Dito dan Martha bakal menemukan rahasia mencengangkan di salon milik Jessica, lalu terlibat di "adegan kolam renang" yang memproduksi kehangatan tak terduga. Siapa sangka pemandangan intim, magis, sekaligus heartbreaking, yang biasanya lebih banyak ditemui di barisan drama indi langganan festival, nyatanya dimiliki oleh tontonan ringan macam ini? Agen +62 memang bukan komedi konyol biasa. 

REVIEW - JURASSIC WORLD REBIRTH

Ketika jajaran karakter film ini pertama kali menjumpai Mosasaurus di tengah samudera, bukan ekspresi ketakutan yang menghiasi wajah mereka, melainkan kekaguman, dibarengi sorakan kegembiraan. Jurassic World Rebirth mengembalikan sense of wonder yang Steven Spielberg bawa lewat Jurassic Park (1993), setelah selama puluhan tahun berikutnya, para dinosaurus diubah jadi monster pengancam eksistensi manusia. 

Protagonisnya adalah Zora (Scarlett Johansson), spesialis dalam menjalankan misi rahasia yang diupah oleh Martin (Rupert Friend), perwakilan dari perusahaan farmasi bernama ParkerGenix, untuk menyusup ke Pulau Saint-Hubert, tempat di mana dinosaurus yang masih bertahan hidup, menemukan ekosistem yang cocok bagi mereka.

Lima tahun pasca peristiwa Jurassic World Dominion (2022), ilmuwan mendapati bahwa kondisi Bumi saat ini tidak ideal bagi dinosaurus. Mereka terancam kembali punah, sementara masyarakat umum telah kehilangan minat melihat makhluk prasejarah tersebut. Manusia membangkitkan kembali dinosaurus, hanya untuk membinasakannya lagi. Mungkin memang manusia merupakan ancaman terbesar bagi semesta.

Bersama Duncan (Mahershala Ali) selaku rekan kepercayaannya dan Dr. Henry (Jonathan Bailey) si ahli paleontologi, Zora pun berangkat menuju Saint-Hubert dengan target menyambangi tiga dinosaurus terbesar di masing-masing area: Mosasaurus di laut, Titanosaurus di darat, Quetzalcoatlus di udara. Tujuan mereka sebatas mengambil sampel. Bukan membunuh. Begitulah cara Jurassic World Rebirth mengembalikan franchise ini ke bentuk awalnya yang mengedepankan petualangan dan eksplorasi. 

Tentu beberapa kali nyawa mereka terancam oleh beragam jenis dinosaurus. Keluarga Reuben (Manuel Garcia-Rulfo), yang diselamatkan oleh tim Zora kala terombang-ambing di lautan, mesti berhadapan dengan T. Rex, sedangkan dinosaurus hasil mutasi laboratorium yang disebut Mutadon jadi lawan pamungkas bagi protagonisnya. Di kursi sutradara, Gareth Edwards memastikan tiap serangan berjalan intens. Dia begitu piawai menghadirkan situasi yang memposisikan karakternya dalam situasi "hampir mati".

Tapi semua serangan didasari oleh upaya bertahan hidup. Dinosaurus di sini, bahkan jajaran predatornya, bukan pemangsa yang semata menyukai banjir darah. T. Rex contohnya, yang cuma menyerang karena merasa manusia terlebih dahulu menginvasi zona pribadinya. Semua soal menghindari kepunahan. Bahkan konklusi filmnya menegaskan betapa bentuk kemenangan terbesar bukanlah keberhasilan membunuh, melainkan bertahan hidup. 

Naskah buatan David Koepp, yang kembali ke franchise ini sejak The Lost World: Jurassic Park (1997), sejatinya tak membekali filmnya dengan cerita mumpuni. Alurnya tipis, sebatas menyoroti ekspedisi dari satu destinasi ke destinasi berikutnya, tapi setidaknya, dalam perjalanan ini kita ditemani oleh barisan karakter yang cukup likeable, walau belum bisa disebut kompleks. Karakter bocahnya tidak hadir bak monster cilik, pun sosok yang awalnya menyebalkan lambat laun memamerkan sisi baiknya. 

Ketika tiba waktunya Zora dan tim mengekstraksi DNA Titanosaurus, sejenak mereka terpaku, terpukau oleh spesies setinggi 15 meter. Beberapa Titanosaurus memamerkan kedigdayaan mereka. Dua di antaranya bahkan melakukan gestur layaknya sepasang kekasih tengah bermesraan, sementara lagu tema magis karya John Williams yang digubah ulang oleh Alexandre Desplat mengalun indah, seolah mewakili rasa haru kita kala menyaksikan kehebatan ciptaan semesta. Jurassic Park pun kembali ke hakikatnya. 

REVIEW - JODOH 3 BUJANG

Jodoh 3 Bujang bekerja dengan baik selaku dramedi. Dramanya mampu membuat penonton merasakan gejolak emosi para karakter, sementara komedinya sesekali memancing tawa lewat situasi yang mereka lalui. Tapi seperti banyak film lokal yang coba membenturkan tradisi dan hak individu menggunakan perspektif berimbang, filmnya terkesan bermain terlalu aman. 

Mustafa (Arswendy Bening Swara) dan Fatimah (Cut Mini Theo) mengejutkan tiga anak mereka, Fadly (Jourdy Pranata), Kifly (Christoffer Nelwan), dan Ahmad (Rey Bong), dengan rencana menikahkan mereka secara bersamaan, atau yang disebut "nikah kembar". Awalnya semua lancar, sampai Fadly ditinggalkan oleh pacarnya, Nisa (Maizura), yang dipaksa menerima lamaran laki-laki lain oleh ayahnya, karena ia datang dengan uang panai 500 juta, sedangkan Fadly cuma sanggup memberi 50 juta.  

Bagaimana reaksi keluarga Fadly? Mustafa ngotot meneruskan rencana nikah kembar karena tak ingin harga dirinya hancur di hadapan orang-orang, kemudian mendorong putra sulungnya itu supaya segera mencari calon istri baru. "Cari pasangan jangan terlalu pilih-pilih!" "Cinta tidak penting karena akan tumbuh seiring berjalannya pernikahan!" Entah sudah berapa banyak hidup pasutri hancur akibat menuruti anggapan-anggapan konservatif di atas.

Fadly pun memulai pencariannya. Dia menemui kenalan keluarganya, kenalan temannya, hingga memakai aplikasi kencan. Tentu semua berujung kegagalan, yang acap kali menghadirkan peristiwa menggelitik. Barisan humornya cukup efektif, terutama berkat kelihaian para pemain menangani komedi supaya bergulir secara alami. Beberapa kali gaya bicara ala Jakarta masih tersisa kala melafalkan Bahasa Indonesia, namun usaha mereka bertutur dengan logat Makassar tidaklah buruk.

Fadly akan berkenalan dengan perempuan baru, merasa tidak cocok, pulang ke rumah dan mesti mendengar keluhan keluarganya, lalu pergi ke studio musik miliknya. Pola tersebut terus diulang, sampai di satu titik, naskah buatan Andi Arfan Sabran, Erwin Wu, dan Alwi Shihab cenderung repetitif dalam menggulirkan alurnya. Nugie memerankan Malik, pemilik studio yang Fadly sewa. Karakternya adalah "mesin petuah" yang di tiap kemunculannya, hanya bertugas memberi petuah bagi Fadly yang tengah gundah. 

Nantinya datanglah sosok dari masa lalu Fadly. Rifa (Aisha Nurra Datau) namanya, sahabat si protagonis semasa kuliah yang sempat kita temui di adegan pembuka. Sejak dulu Fadly sudah memendam rasa padanya, namun terlalu takut untuk mengutarakannya karena Rifa berasal dari keluarga kaya. Ditambah status sebagai anak perempuan tunggal serta lulusan S2, konon biaya uang panainya bisa menyentuh miliaran. 

Fadly dan Rifa terlihat manis saat bersama. Jourdy Pranata punya pesona membumi yang membuat penonton merasakan kedekatan dengan tiap karakter yang ia perankan, sementara Aisha Nurra Datau selalu mudah untuk dicintai. Sayang, karena baru benar-benar bersama di paruh kedua, hingga akhir hubungan mereka tersaji kurang matang. Eksplorasinya terlampau minim untuk membuat kita percaya bahwa selama ini memang Rifa-lah yang Fadly tunggu. 

Duet Arswendy Bening Swara dan Cut Mini Theo juga tampil luar biasa. Beberapa momen saat mereka menumpahkan emosi dengan bentakan bakal membuat siapa pun yang menyaksikannya seketika terdiam. Masalahnya, Jodoh 3 Bujang    yang mungkin eksplorasinya terbatasi oleh fakta kalau ceritanya diangkat dari kisah nyata    seolah menutup mata bahwa segala kekacauan ini adalah kesalahan orang tua Fadly.

Dosa Mustafa dan Fatimah cenderung dijustifikasi memakai alasan klise, "semua dilakukan karena orang tua mencintai anak dan ingin melihatnya bahagia." Tapi benarkah ia bahagia? Filmnya luput memahami kalau anak pun berhak menentukan bentuk cinta yang ingin mereka dapatkan. Biarpun Fatimah cenderung menampakkan simpati, sampai akhir, tak sedikitpun Mustafa menunjukkan rasa bersalah. Bahkan sewaktu Fadly sempat hendak menerima perjodohan, si ayah justru nampak bahagia. Sesulit itukah film kita mengakui ketidaksempurnaan orang tua?