REVIEW - AGEN +62
Agen +62 adalah komedi-aksi-spionase, di mana si agen rahasia bukan tipikal pria atletis dengan setelan rapi yang presensinya memancarkan maskulinitas konservatif, sedangkan si penjahat merupakan perempuan modis yang rasanya akan menjadikan The Devil Wears Prada sebagai film favoritnya. Unik.
Si agen bernama Dito (Keanu AGL). Anggota PUANAS (Pusat Agen Nasional) di bawah pimpinan Lukman (Totos Rasiti), yang kerap bertugas menggunakan samaran sebagai penjual bakso. Sayangnya dia kerap melakukan kesalahan, hingga akhirnya dilarang terjun ke lapangan. Singkatnya hidup Dito jauh dari keglamoran khas agen rahasia film Hollywood.
Jangankan baju mahal atau mobil mewah. Dito bahkan baru kehilangan motor, yang oleh sang ayah (Tenno Ali) dijual untuk membayar pinjol, yang melilitnya selepas ia kecanduan judol. Alhasil, ketika dikirim bersama sang senior, Martha (Rieke Diah Pitaloka), guna menyelidiki Iqbal Mahardika (Chandra Satria) si calon gubernur unggulan terkait keterlibatannya dengan bisnis judol, Dito mempunyai motivasi personal.
Keduanya menyusup ke pengajian yang digelar di rumah Iqbal, di mana Dito menyamar sebagai ustaz. Bagi saya itulah adegan terlucu di Agen +62. Naskah buatan Candra Aditya dan Diva Apresya mampu mengolah kebiasaan si protagonis berpantun untuk melahirkan situasi absurd nan konyol, sedangkan Keanu kembali membuktikan bahwa dia bisa menyulap celetukan sekecil apa pun menjadi kelucuan besar.
Dinna Jasanti (Dua Hati Biru, My Annoying Brother) duduk sebagai sutradara. Kinerjanya tidak buruk. Diberikannya tenaga guna membuat beberapa momen tampil dinamis. Sayang, terkait penanganan terhadap komedi, Dinna belum cukup piawai mengamplifikasi ide-ide humor milik naskahnya, dan seolah terlampau bergantung pada talenta jajaran pemainnya. Apalagi selepas alurnya mengungkap bahwa alih-alih Iqbal, akar dari segala praktik ilegal tersebut adalah Jessica (Cinta Laura Kiehl).
Cinta nampak bersenang-senang memerankan si penjahat sekaligus pemilik salon, yang di tiap kemunculannya selalu memanjakan mata dengan koleksi baju-baju glamornya (Jeanne Elizabeth Fam berjasa atas penataan kostum film ini). Tapi Jessica bukan cuma jago memoles diri. Di satu titik, ia turut memamerkan kemampuan berkelahinya, kala membela Dito dan sang ayah dari kejaran penagih utang.
Ya, Dito dan Jessica bersahabat. Sewaktu Martha menyamar sebagai perempuan desa polos, yang akan mengingatkan banyak penonton milenial pada karakter Oneng di Bajaj Bajuri, guna menyusup ke kantor Jessica, maka Dito berlagak bak "banci salon" dengan rambut pelangi serta tingkah polah heboh, yang justru memudahkannya menjalin pertemanan dengan si bos sekaligus target buruannya. Dinamika unik pun terjalin, meski sayang, naskahnya tak pernah memanfaatkannya untuk menambah bobot emosi di fase konklusi.
Nantinya Dito dan Martha bakal menemukan rahasia mencengangkan di salon milik Jessica, lalu terlibat di "adegan kolam renang" yang memproduksi kehangatan tak terduga. Siapa sangka pemandangan intim, magis, sekaligus heartbreaking, yang biasanya lebih banyak ditemui di barisan drama indi langganan festival, nyatanya dimiliki oleh tontonan ringan macam ini? Agen +62 memang bukan komedi konyol biasa.
REVIEW - JURASSIC WORLD REBIRTH
Ketika jajaran karakter film ini pertama kali menjumpai Mosasaurus di tengah samudera, bukan ekspresi ketakutan yang menghiasi wajah mereka, melainkan kekaguman, dibarengi sorakan kegembiraan. Jurassic World Rebirth mengembalikan sense of wonder yang Steven Spielberg bawa lewat Jurassic Park (1993), setelah selama puluhan tahun berikutnya, para dinosaurus diubah jadi monster pengancam eksistensi manusia.
Protagonisnya adalah Zora (Scarlett Johansson), spesialis dalam menjalankan misi rahasia yang diupah oleh Martin (Rupert Friend), perwakilan dari perusahaan farmasi bernama ParkerGenix, untuk menyusup ke Pulau Saint-Hubert, tempat di mana dinosaurus yang masih bertahan hidup, menemukan ekosistem yang cocok bagi mereka.
Lima tahun pasca peristiwa Jurassic World Dominion (2022), ilmuwan mendapati bahwa kondisi Bumi saat ini tidak ideal bagi dinosaurus. Mereka terancam kembali punah, sementara masyarakat umum telah kehilangan minat melihat makhluk prasejarah tersebut. Manusia membangkitkan kembali dinosaurus, hanya untuk membinasakannya lagi. Mungkin memang manusia merupakan ancaman terbesar bagi semesta.
Bersama Duncan (Mahershala Ali) selaku rekan kepercayaannya dan Dr. Henry (Jonathan Bailey) si ahli paleontologi, Zora pun berangkat menuju Saint-Hubert dengan target menyambangi tiga dinosaurus terbesar di masing-masing area: Mosasaurus di laut, Titanosaurus di darat, Quetzalcoatlus di udara. Tujuan mereka sebatas mengambil sampel. Bukan membunuh. Begitulah cara Jurassic World Rebirth mengembalikan franchise ini ke bentuk awalnya yang mengedepankan petualangan dan eksplorasi.
Tentu beberapa kali nyawa mereka terancam oleh beragam jenis dinosaurus. Keluarga Reuben (Manuel Garcia-Rulfo), yang diselamatkan oleh tim Zora kala terombang-ambing di lautan, mesti berhadapan dengan T. Rex, sedangkan dinosaurus hasil mutasi laboratorium yang disebut Mutadon jadi lawan pamungkas bagi protagonisnya. Di kursi sutradara, Gareth Edwards memastikan tiap serangan berjalan intens. Dia begitu piawai menghadirkan situasi yang memposisikan karakternya dalam situasi "hampir mati".
Tapi semua serangan didasari oleh upaya bertahan hidup. Dinosaurus di sini, bahkan jajaran predatornya, bukan pemangsa yang semata menyukai banjir darah. T. Rex contohnya, yang cuma menyerang karena merasa manusia terlebih dahulu menginvasi zona pribadinya. Semua soal menghindari kepunahan. Bahkan konklusi filmnya menegaskan betapa bentuk kemenangan terbesar bukanlah keberhasilan membunuh, melainkan bertahan hidup.
Naskah buatan David Koepp, yang kembali ke franchise ini sejak The Lost World: Jurassic Park (1997), sejatinya tak membekali filmnya dengan cerita mumpuni. Alurnya tipis, sebatas menyoroti ekspedisi dari satu destinasi ke destinasi berikutnya, tapi setidaknya, dalam perjalanan ini kita ditemani oleh barisan karakter yang cukup likeable, walau belum bisa disebut kompleks. Karakter bocahnya tidak hadir bak monster cilik, pun sosok yang awalnya menyebalkan lambat laun memamerkan sisi baiknya.
Ketika tiba waktunya Zora dan tim mengekstraksi DNA Titanosaurus, sejenak mereka terpaku, terpukau oleh spesies setinggi 15 meter. Beberapa Titanosaurus memamerkan kedigdayaan mereka. Dua di antaranya bahkan melakukan gestur layaknya sepasang kekasih tengah bermesraan, sementara lagu tema magis karya John Williams yang digubah ulang oleh Alexandre Desplat mengalun indah, seolah mewakili rasa haru kita kala menyaksikan kehebatan ciptaan semesta. Jurassic Park pun kembali ke hakikatnya.
REVIEW - JODOH 3 BUJANG
Jodoh 3 Bujang bekerja dengan baik selaku dramedi. Dramanya mampu membuat penonton merasakan gejolak emosi para karakter, sementara komedinya sesekali memancing tawa lewat situasi yang mereka lalui. Tapi seperti banyak film lokal yang coba membenturkan tradisi dan hak individu menggunakan perspektif berimbang, filmnya terkesan bermain terlalu aman.
Mustafa (Arswendy Bening Swara) dan Fatimah (Cut Mini Theo) mengejutkan tiga anak mereka, Fadly (Jourdy Pranata), Kifly (Christoffer Nelwan), dan Ahmad (Rey Bong), dengan rencana menikahkan mereka secara bersamaan, atau yang disebut "nikah kembar". Awalnya semua lancar, sampai Fadly ditinggalkan oleh pacarnya, Nisa (Maizura), yang dipaksa menerima lamaran laki-laki lain oleh ayahnya, karena ia datang dengan uang panai 500 juta, sedangkan Fadly cuma sanggup memberi 50 juta.
Bagaimana reaksi keluarga Fadly? Mustafa ngotot meneruskan rencana nikah kembar karena tak ingin harga dirinya hancur di hadapan orang-orang, kemudian mendorong putra sulungnya itu supaya segera mencari calon istri baru. "Cari pasangan jangan terlalu pilih-pilih!" "Cinta tidak penting karena akan tumbuh seiring berjalannya pernikahan!" Entah sudah berapa banyak hidup pasutri hancur akibat menuruti anggapan-anggapan konservatif di atas.
Fadly pun memulai pencariannya. Dia menemui kenalan keluarganya, kenalan temannya, hingga memakai aplikasi kencan. Tentu semua berujung kegagalan, yang acap kali menghadirkan peristiwa menggelitik. Barisan humornya cukup efektif, terutama berkat kelihaian para pemain menangani komedi supaya bergulir secara alami. Beberapa kali gaya bicara ala Jakarta masih tersisa kala melafalkan Bahasa Indonesia, namun usaha mereka bertutur dengan logat Makassar tidaklah buruk.
Fadly akan berkenalan dengan perempuan baru, merasa tidak cocok, pulang ke rumah dan mesti mendengar keluhan keluarganya, lalu pergi ke studio musik miliknya. Pola tersebut terus diulang, sampai di satu titik, naskah buatan Andi Arfan Sabran, Erwin Wu, dan Alwi Shihab cenderung repetitif dalam menggulirkan alurnya. Nugie memerankan Malik, pemilik studio yang Fadly sewa. Karakternya adalah "mesin petuah" yang di tiap kemunculannya, hanya bertugas memberi petuah bagi Fadly yang tengah gundah.
Nantinya datanglah sosok dari masa lalu Fadly. Rifa (Aisha Nurra Datau) namanya, sahabat si protagonis semasa kuliah yang sempat kita temui di adegan pembuka. Sejak dulu Fadly sudah memendam rasa padanya, namun terlalu takut untuk mengutarakannya karena Rifa berasal dari keluarga kaya. Ditambah status sebagai anak perempuan tunggal serta lulusan S2, konon biaya uang panainya bisa menyentuh miliaran.
Fadly dan Rifa terlihat manis saat bersama. Jourdy Pranata punya pesona membumi yang membuat penonton merasakan kedekatan dengan tiap karakter yang ia perankan, sementara Aisha Nurra Datau selalu mudah untuk dicintai. Sayang, karena baru benar-benar bersama di paruh kedua, hingga akhir hubungan mereka tersaji kurang matang. Eksplorasinya terlampau minim untuk membuat kita percaya bahwa selama ini memang Rifa-lah yang Fadly tunggu.
Duet Arswendy Bening Swara dan Cut Mini Theo juga tampil luar biasa. Beberapa momen saat mereka menumpahkan emosi dengan bentakan bakal membuat siapa pun yang menyaksikannya seketika terdiam. Masalahnya, Jodoh 3 Bujang yang mungkin eksplorasinya terbatasi oleh fakta kalau ceritanya diangkat dari kisah nyata seolah menutup mata bahwa segala kekacauan ini adalah kesalahan orang tua Fadly.
Dosa Mustafa dan Fatimah cenderung dijustifikasi memakai alasan klise, "semua dilakukan karena orang tua mencintai anak dan ingin melihatnya bahagia." Tapi benarkah ia bahagia? Filmnya luput memahami kalau anak pun berhak menentukan bentuk cinta yang ingin mereka dapatkan. Biarpun Fatimah cenderung menampakkan simpati, sampai akhir, tak sedikitpun Mustafa menunjukkan rasa bersalah. Bahkan sewaktu Fadly sempat hendak menerima perjodohan, si ayah justru nampak bahagia. Sesulit itukah film kita mengakui ketidaksempurnaan orang tua?
REVIEW - F1 THE MOVIE
Pengetahuan saya tentang Formula One terbatas pada nama-nama jawara ternama yang disebut atau muncul sebagai cameo di film ini: Michael Schumacher, Ayrton Senna, Lewis Hamilton, Fernando Alonso, Max Verstappen. Bukan masalah, sebab F1 the Movie tak mengharuskan kita menggilai dunia otomotif. Film ini melakukan apa yang film olahraga harusnya lakukan, dengan membuat penonton awam memahami alasan mengapa para penggemar mencintai cabang olahraga yang diangkat.
"Apakah ini film biografi?" mungkin bakal jadi pertanyaan yang banyak mencuat di kalangan non-penggemar. Tapi bukan. Sonny Hayes yang diperankan Brad Pitt bukanlah figur nyata, meski sedikit mengambil inspirasi dari Martin Donnelly yang terpaksa pensiun di usia 26 tahun akibat kecelakaan fatal di sirkuit Jerez.
Hayes mengalami nasib nahas serupa, namun alih-alih pensiun, ia menjadi pengembara. Sesosok serigala penyendiri yang berpindah dari satu balapan ke balapan lain. Semuanya ia menangkan. "The greatest that never was", begitu sebutan yang disematkan oleh para pengamat balap mobil terhadapnya. Brad Pitt dengan perangai congkak bak koboi miliknya memudahkan penonton untuk percaya bahwa Hayes tak terkalahkan di atas lintasan.
Lalu datanglah tawaran dari Ruben Cervantes (Javier Bardem), mantan rekan setim Hayes yang kini jadi pemilik tim balap APXGP, untuk kembali ke ajang F1. APXGP tengah mengalami krisis, di mana satu poin pun belum diraih musim ini. Si pembalap andalan, Joshua Pearce (Damson Idris), punya talenta luar biasa, namun masih terlalu hijau untuk dapat melakukan analisa, guna membantu Kate McKenna (Kerry Condon) selaku direktur teknis memproduksi mobil terbaik bagi mereka.
Ketika seluruh pihak meragukan Hayes, interpretasi Pitt terhadap si karakter membuat penonton mendukung dan meyakini ia bakal sukses secara instan. Tapi di luar dugaan, uji cobanya walau tetap berakhir positif tidak berlangsung mulus. Sebuah keputusan cerdik dari Ehren Kruger selaku penulis naskah. Berkatnya intensitas berhasil dibangun, F1 tak kehilangan kredibilitasnya dengan membuat pembalap tua yang telah puluhan tahun absen tidak segampang itu menaklukkan sirkuit, sekaligus menegaskan ketidaksempurnaan si protagonis.
Sirkuit Silverstone menandai kembalinya Hayes ke F1. Sinematografi arahan Claudio Miranda membangun kemegahan bahkan sebelum balapan dimulai, menangkap keriuhan para spektator yang bersemangat, menciptakan realisme dengan merekam situasi British Grand Prix 2023 secara langsung, sementara lagu We Will Rock You milik Queen bergema, melengkapi atmosfer yang akan membuat bulu kuduk semua orang berdiri.
Begitu balapan dimulai, lesatan F1 the Movie tidak terbendung lagi. Melanjutkan pencapaiannya di Top Gun: Maverick, Joseph Kosinski kembali membangun kesan imersif dengan membuat penonton seolah turut duduk di kokpit mobil, dibantu oleh teknologi kamera baru yang dikembangkan Claudio Miranda bersama Sony.
Di luar tetek bengek teknis, gaya balapan Hayes yang ugal-ugalan dan kerap berjalan di garis batas aturan turut menambah nilai hiburan, sedangkan kontribusi tim konstruktor beserta segala analisis taktis mereka berjasa menekankan bahwa Formula One bukan sebatas kebut-kebutan nihil perhitungan. Saya pun seketika bergumam, "Jadi ini alasan jutaan orang bersedia memandangi lintasan selama dua jam".
F1 the Movie sejatinya masih dihantui keklisean khas film olahraga arus utama, sebutlah selipan romansa yang sesungguhnya tidak perlu ada, dramatisasi yang terkadang lebih baik ditekan kuantitasnya (dua kecelakaan besar di waktu berdekatan berujung mengurangi dampak emosi), maupun pola penuturan ala cerita from zero to hero yang diterapkan di tiap sudut tanpa modifikasi.
Apakah pilihan konklusinya terlampau mengada-ada? Penonton yang rutin mengikuti kompetisi olahraga apa pun cabangnya, tentu setuju kalau keajaiban bukanlah sesuatu yang asing. Individu atau tim di realita pernah menghasilkan kejutan yang lebih mendekati kemustahilan ketimbang sepak terjang Hayes. F1 the Movie bukannya mengada-ada, melainkan merangkul unsur keajaiban yang kerap memperindah dunia olahraga.
REVIEW - WARKOP DKI KARTUN
Di film ini, trio Warkop DKI bertarung melawan robot, bahkan berupaya menggagalkan rencana Korea Barat (ini bukan salah tulis) melancarkan serangan nuklir ke Indonesia di tengah pertandingan kualifikasi Piala Dunia. Tapi bagian terbaiknya justru datang dari cerita paling sederhana, yakni tentang investigasi terhadap kasus kebocoran soal ujian nasional.
Masih ada kejar-kejaran over-the-top yang memicu efek domino hingga ke luar angkasa, namun dibanding dua kisah lainnya, segmen yang bertajuk Contek Sana Contek Sini tersebut paling memiliki kedekatan pada realita, yang mana senada dengan sentilan khas humor Warkop DKI sebelum era 90-an, yang mengakar kuat pada keseharian. Walau jangan mengharapkan tingkat kritis yang sama, mengingat animasi ini didesain bagi segala usia.
Total ada tiga segmen, yang disatukan oleh tugas Dono (Wiwid Widyas Prihantoro), Kasino (Farie Judhistira), dan Indro (Mo Sidik) sebagai anggota CHIPS di bawah pimpinan sang komandan (Indro Warkop). Robot Antik bicara soal bagaimana trio jagoan kita membuat robot guna menyelesaikan "wabah paku" di jalan raya, Contek Sana Contek Sini membawa mereka menyamar sebagai siswa SD untuk mengungkap identitas penyebar bocoran jawaban ujian, sedangkan Maju Mundur Offside akan mewakili impian masyarakat Indonesia berlaga di Piala Dunia yang belakangan tengah meninggi.
Warkop DKI Kartun sebelumnya pernah hidup dalam format serial 13 episode yang rilis pada tahun 2021. Sebuah keputusan jitu, mengingat medium animasi membebaskan pembuatnya mengeksekusi ide seabsurd apa pun. Misal sewaktu adegan kejar-kejaran antara trio Warkop dan si robot sejenak berganti wujud menjadi seperti permainan platformer dengan gaya visual piksel.
Daryl Wilson yang sebelumnya menangani versi serial kembali duduk di kursi sutradara, kali ini berduet dengan Rako Prijanto. Beberapa kru yang sempat bekerja bersamanya mengerjakan dua film Si Juki pun turut bergabung. Serupa Si Juki the Movie, Warkop DKI Kartun digambar dengan garis-garis tegas yang membuat visualnya begitu menarik dilihat.
Tapi seperti Si Juki the Movie pula, masalah muncul ketika setiap frame dipaksakan agar selalu mengandung kelucuan, yang justru memberi hasil berlawanan. Perhatikan bagaimana film-film lawas Warkop DKI membiarkan dinamika yang lebih serius mengalir di sela-sela banyolan, sehingga: 1) Begitu tiba saatnya melucu, dampak humornya lebih besar; 2) Bangunan ceritanya tetap kuat.
Contek Sana Contek Sini jadi segmen terbaik pun berkat pondasi yang lebih solid. Mungkin tanpa sadar para penulisnya (total ada lima orang menggarap naskah film ini) bekerja lebih mudah kala mengembangkan lelucon berdasarkan problematika yang cenderung dekat dengan realita. Humornya kreatif, bahkan acap kali mengecoh ekspektasi. Di sini pula filmnya memanfaatkan kepemilikan Falcon Pictures atas deretan kekayaan intelektual terkenal, guna menyelipkan beberapa cameo menggelitik.
Film ini adalah bentuk modernisasi. Warkop DKI bukan lagi hanya milik generasi tua maupun orang dewasa, walau kesan "kekinian" itu agak diganggu oleh kehadiran humor-humor yang terkesan outdated, seperti penggunaan istilah "kids jaman now", tren tongsis, dll., namun kekurangan itu dipicu oleh pandemi yang memaksa proses produksi tertunda sejak 2019 (naskahnya ditulis pada 2018).
Setidaknya masih ada beberapa bentuk modernisasi lain yang layak diapresiasi, dari lagu-lagu ikonik Warkop DKI yang dibuat ulang tanpa menghapus identitasnya, sampai performa para aktor yang terdengar luar biasa mirip dengan trio legendaris yang mereka isi suaranya. Semua itu memastikan bahwa warisan Warkop DKI akan terus lestari dari generasi ke generasi.
REVIEW M3GAN 2.0
Ada beberapa film yang kerap jadi acuan Hollywood kala memproduksi sekuel: The Empire Strikes Back (1980), The Dark Knight (2008), Aliens (1986), dan Terminator 2: Judgment Day (1991). Mengingat M3GAN (2022) berkisah tentang robot pembunuh, merupakan hal natural saat sekuelnya mengambil opsi terakhir dengan lebih mengedepankan aksi ketimbang horor. Masalahnya Gerald Johnstone selaku sutradara sekaligus penulis naskah gagal memahami alasan keberhasilan mahakarya buatan James Cameron tersebut.
Selepas pembunuhan berantai di film perdana, kini M3GAN (gesturnya dihidupkan oleh Amie Donald, suaranya diisi oleh Jenna Davis) kembali sebagai antihero, dengan misi melindungi Cady (Violet McGraw), meski Gemma (Allison Williams) masih menaruh kecurigaan terhadapnya. Lawan mereka adalah robot lain bernama AMELIA (Ivanna Sakhno) yang dibuat berdasarkan cetak biru M3GAN, namun telah dimodifikasi supaya lebih canggih.
Alurnya "sangat T2". Tapi tatkala Cameron mengeliminasi nuansa horor sembari menggenjot kuantitas baku tembak, Johnstone cuma melakukan poin pertama. Sebagai syarat untuk menghidupkan M3GAN lagi, Gemma menaruh program yang membuat si robot tak bisa membunuh dan melontarkan sumpah serapah. Bayangkan bila T-800 dilarang memakai shotgun miliknya.
Horornya lenyap, tetapi aksinya minim. M3GAN 2.0 pun menjadi 120 menit tanpa taring. AMELIA tidak dipasangi program serupa, namun yang membatasi justru pendekatan sang sineas. Sekalinya pembantaian ia lakukan, semua terjadi begitu cepat, atau secara off-screen. Di satu adegan, ia melempar tombak ke dada korban dan tak setetes pun darah tumpah. AMELIA tidak menari-nari sembari mengamati rasa takut si calon mangsa. Berbeda dengan M3GAN di film pertama, pembunuhan bak pekerjaan rutin yang tidak AMELIA nikmati.
M3GAN 2.0 adalah tontonan penuh potensi yang gagal dipenuhi. Film ini bahkan tak mampu memenuhi janjinya menghadirkan pertarungan over-the-top antara dua robot. M3GAN dan AMELIA baru secara langsung beradu teknologi di babak puncak. Johnstone sejatinya memamerkan kapasitas mengolah aksi lewat permainan tata kamera yang lincah, tapi presentasinya terlalu singkat. Filmnya tidak merasa perlu melunasi janjinya kepada penonton yang sudah sabar menanti.
Di sisi lain, kadar komedinya ditingkatkan. Beberapa di antaranya adalah humor kekanak-kanakan tak lucu, misal saat salah satu karakternya yang berprofesi sebagai ilmuwan cerdas dengan bodohnya salah memakai sapu tangan berbalut obat bius untuk menyeka ingus. Upaya menghadirkan keabsurdan secara lebih kreatif, seperti kala M3GAN berlaku bak Putri Disney yang bernyanyi guna menyampaikan isi hati, dilucuti efektivitasnya oleh eksekusi yang terkesan menahan diri.
Apa gunanya melontarkan ide absurd jika takut akan kekonyolan berlebih? M3GAN 2.0 memang bak kebingungan menentukan jati diri. Belum lagi terkait pesan "pro-AI" yang disamarkan dalam bentuk pesan bijak mengenai harmoni antara manusia dan kecerdasan buatan yang disajikan secara dangkal oleh naskahnya. Apakah pembuat film ini belum menonton Terminator?