REVIEW - BANGSAL ISOLASI

Di luar durasi yang cuma 76 menit, Bangsal Isolasi memang film yang bergerak cepat. Begitu cepat, alih-alih seru ia lebih terasa buru-buru. Intensitas dan misteri pun jadi tumbal. Padahal karya penyutradaraan Adhe Dharmastriya (#Modus, Nikah Yuk, Iblis dalam Kandungan) ini punya potensi mengeksplorasi subgenre women in prison yang masih sangat jarang di sinema Indonesia modern. 

Weni (Kimberly Ryder) baru saja dijebloskan ke dalam penjara akibat kasus narkoba. Bukan penjara biasa, melainkan kurungan bak neraka dunia di mana Herman (Piet Pagau) si kepala sipir memimpin dengan tangan besi, sedangkan Bella (Wulan Guritno) jadi tahanan yang paling ditakuti karena tak ragu menghabisi siapa pun yang melawannya. 

Misteri yang ditanam di awal sejatinya cukup menarik. Seperti judulnya, muncul tanda tanya di benak Weni mengenai bangsal isolasi, selaku sumber suara misterius yang kerap terdengar di malam hari. Benarkah gosip mengenai teror makhluk halus di ruang hukuman tersebut? 

Jawabannya "tidak". Bangsal Isolasi masih dihantui kewajiban untuk menyelipkan jump scare berisi penampakan-penampakan demi memenuhi selera mayoritas penonton Indonesia, namun tak ada gangguan gaib di sini. Lalu bagaimana wujud rahasia bangsal isolasi sesungguhnya? Dari situlah ketertarikan penonton coba (dan sempat berhasil) dibangun.

Sayangnya ketertarikan terhadap misteri tersebut takkan berlangsung lama, karena seperti sudah disinggung sebelumnya, Bangsal Isolasi bergerak secepat kilat. Pertanyaan dan jawaban datang silih berganti dalam hitungan menit, tanpa menyisakan ruang bagi rasa penasaran dan ketegangan untuk tumbuh. Naskah buatan J.P. Mulyadi an Oscar Haviv Sebastian seperti rangkuman dari sebuah draft yang justru lebih utuh dibanding versi final. 

Padahal Bangsal Isolasi memiliki modal memadai guna melahirkan film women in prison yang memperkaya variasi sinema tanah air. Tata artistik miliknya cukup apik dalam menciptakan sebuah penjara kumuh (walau sebagian besar telah disediakan oleh interior Benteng Van der Wijck yang jadi lokasi pengambilan gambar), sedangkan isian musik Ganden Bramanto yang membentang dari rock blues hingga heavy metal mampu membangun suasana unik ala film era 60-an dan 70-an. 

Di jajaran cast, nama-nama seperti Kimberly Ryder dan Wulan Guritno menghadirkan penampilan "aman" sesuai kebutuhan. Niniek Arum sebagai Imah, seorang tahanan dengan gangguan jiwa malah jadi pelakon yang paling menonjol. Sementara Ibrahim Risyad sebagai Adit si sipir berada di kutub berlawanan, tatkala mendadak mengeluarkan teriakan luar biasa kaku yang mampu memecah keheningan studio lewat tawa penonton.

Tentu sulit mengharapkan kadar eksploitasi setingkat film-film women in prison pada umumnya, baik dalam bentuk kekerasan atau seksualitas, mengingat ketatnya sensor di Indonesia, namun setidaknya Bangsal Isolasi masih berusaha menyelipkan beberapa baku hantam berdarah. Andai saja ia tahu kalau pedal gas tidak harus selalu dipacu.

REVIEW - DEADPOOL & WOLVERINE

Ada anggapan bahwa belakangan ini MCU terlalu bergantung pada cameo. Mungkin benar, tapi Deadpool & Wolverine mampu memanfaatkan deretan penampilan spesial miliknya untuk sesuatu yang lebih esensial. Setiap kemunculan merupakan jawaban bagi harapan, baik harapan para penggemar maupun sang bintang, Ryan Reynolds. Deadpool & Wolverine bukan sebatas dibumbui cameo, namun menjadikannya bahan baku utama.

Kecintaan Reynolds terhadap superhero nampak jelas di sini, terutama jagoan-jagoan yang mendominasi layar lebar di era 2000-an tatkala genrenya mulai bertumbuh. Banyak di antaranya dimiliki 20th Century Fox (Fantastic Four, X-Men, Daredevil), dan Deadpool & Wolverine ibarat wujud ketidakrelaan Reynolds, jika pasca akuisisi Disney, tokoh-tokoh idolanya tersebut dibuang begitu saja, dibiarkan terlupakan di ruang hampa. 

Sulit membahas alur film ini tanpa membocorkan bagian-bagian yang sebaiknya dibiarkan menjadi rahasia. Tapi sederhananya, para penulis naskahnya (Ryan Reynolds, Rhett Reese, Paul Wernick, Zeb Wells, Shawn Levy) menerjemahkan kondisi dunia nyata, di mana tanpa akusisi Disney sekalipun, semesta superhero milik Fox bakal sulit mempertahankan eksistensi setelah kematian "sang jangkar", yakni Wolverine (Hugh Jackman) di Logan (2017). Sebuah kecerdikan bertutur yang kemungkinan bakal kurang diapresiasi. 

Singkat cerita, pertemuan antara Deadpool / Wade Wilson (Ryan Reynolds) dan agen TVA bernama Mr. Paradox (Matthew Macfadyen) membawa "Merc with a Mouth" bersinggungan jalan dengan Wolverine. Konon ia adalah variant Wolverine terburuk yang telah mengecewakan semestanya. 

Seolah bertindak selaku penyeimbang bagi keliaran mulut Reynolds yang enggan berhenti melempar lelucon, Hugh Jackman menghadirkan salah satu penampilan paling menyakitkan dari semua jagoan MCU. Kedua aktor saling mengisi, sebagaimana kedua karakternya mendapati satu sama lain bak partner yang memfasilitasi tendensi kekerasan masing-masing. Terciptalah hubungan bromance yang menjadikan aksi saling tusuk sebagai ungkapan kasih sayang.

Beberapa pihak mungkin bakal mengeluhkan alurnya yang cenderung tipis maupun konklusi yang terkesan menyederhanakan terkait konflik dengan Cassandra Nova (Emma Corrin menciptakan antagonis yang menarik), namun semuanya terbayar lunas saat di kursi sutradara, Shawn Levy (Real Steel, Free Guy, The Adam Project) berhasil melahirkan salah satu aksi paling stylish (dan tentunya paling brutal) sepanjang sejarah MCU, dibantu tata kamera garapan George Richmond yang menolak hanya diam di tempat saat menangkap darah yang terus muncrat. 

Tanpa cameo, Deadpool & Wolverine bakal tetap menyenangkan walau daya hiburnya tentu berkurang. Tapi itulah tujuan filmnya. Sekali lagi, ia memang menjadikan cameo sebagai bahan baku utama. Reynolds ingin mengabulkan sebanyak mungkin harapan penonton. Entah lewat kemunculan sosok-sosok tak terduga, atau penampakan benda-benda tertentu. Deadpool & Wolverine dibuat oleh penggemar untuk para penggemar. 

REVIEW - HIJACK 1971

Pada 23 Januari 1971, pesawat penumpang yang tengah menuju Seoul dibajak oleh pria bersenjatakan granat, sebelum akhirnya mendarat darurat di pantai dekat area Sokcho. Ledakan granat di udara membunuh si pembajak dan seorang kru pesawat. Sebuah bahan baku sempurna yang hanya memerlukan taburan sedikit bumbu tambahan guna melahirkan tontonan emosional khas sinema Korea Selatan. 

Hijack 1971 bakal mengabulkan harapan penonton yang mencari banjir air mata, melalui perjuangan para kru pesawat yang menghadapi ancaman pembajak bernama Yong-dae (Yeo Jin-goo). Gyu-sik (Sung Dong-il) adalah kapten di penerbangan tersebut, sedangkan Tae-in (Ha Jung-woo) menjadi kopilot. Yong-dae menuntut agar pesawat berganti arah menuju Korea Utara. 

Sebelum lepas landas, kita menyaksikan bagaimana para penumpang berlarian dari pintu bandara guna berebut kursi. Di antara mereka nampak dua perempuan tua. Satu orang melepas alas kaki sewaktu memasuki pesawat, satu lagi membawa ayam ke kabin. Raut kekaguman merekah di wajah banyak orang melihat gedung-gedung yang makin mengecil setelah pesawat mengudara. 

Sungguh masa yang amat berbeda dibanding sekarang. Bayangkan betapa mencekamnya kala dalam hitungan menit, perasaan takjub itu berubah jadi ketakutan. Naskah buatan Kim Kyung-chan secara cerdik menjadikan kondisi tersebut sebagai pondasi bagi jalinan emosi kisahnya.

Perihal politis turut disentil di sini. Yong-dae ingin membelot karena ia kerap jadi korban persekusi aparat, diberi cap "komunis", gara-gara sang kakak kabur ke Korea Utara. Bagaimana bisa sebuah negara menuntut patriotisme, sementara warganya hidup menderita akibat ulah negara itu sendiri? 

Paruh keduanya agak tersendat oleh minimnya variasi konflik yang naskahnya beri. Bandingkan dengan bagaimana Emergency Declaration mengisi durasinya yang hampir menyentuh dua setengah jam dengan ragam permasalahan. Tapi rupanya Kim Kyung-chan menyimpan senjata rahasia bernama "third act".

Di babak akhir itulah segalanya dilepaskan: aksi aerial berbalut CGI solid yang membuktikan bahwa Kim Seong-han yang baru menjalani debut penyutradaraan menyimpan potensi besar, rentetan masalah teknis yang silih berganti menggerogoti pesawat, hingga penggambaran menggugah terkait tindakan kepahlawanan si tokoh utama yang niscaya bakal membuat mata banyak penonton sembap. 

Naskahnya yang dipenuhi kalimat-kalimat quotable dibawakan secara mumpuni oleh barisan pelakonnya. Selain Ha Jung-woo yang sukses menghidupkan sisi heroik karakternya (dibuat berdasarkan Park Wan-gyu, kopilot di kejadian aslinya) maupun Yeo Jin-goo yang akan mudah kita benci, nama-nama lain tampil tak kalah hebat meski dengan screen time minim, terutama Sung Dong-il dan Im Se-mi (memerankan Moon-young, istri Tae-in) yang mampu memicu dampak emosi besar berbekal satu-dua baris kalimat saja. 

REVIEW - LONGLEGS

Banyak film berusaha menjadi "psikologis", tapi jarang yang seperti Longlegs buatan Osgood Perkins (putera Anthony Perkins, pemeran Norman Bates di Psycho). Semua elemen artistiknya diciptakan supaya penonton memahami perasaan karakternya, sembari tanpa sadar tertular perasaan yang sama. Seolah setan sedang turun tangan menjangkiti umat manusia dengan menyebarkan segala jenis emosi negatif. 

Longlegs memang bakal sering mendapat cap "satanic". Bayangkan jika setan sendiri yang menulis sekaligus menyutradarai The Silence of the Lambs (1991) atau Seven (1995), sehingga membuat formula cerita yang sesungguhnya familiar terasa segar, dan tentunya, lebih kejam nan mencekam. 

Mengambil latar 90-an, kita dibawa mengikuti kinerja Lee Harker (Maika Monroe) yang baru direkrut sebagai agen FBI. Biarpun sama-sama pemula, Lee bukanlah Clarice Starling (Jodie Foster) yang kokoh serta dipenuhi kepercayaan diri. Jangankan mengejar pembunuh, berinteraksi dengan sesama manusia saja nampak berat bagi Lee yang senantiasa terlihat canggung. 

Padahal Lee memiliki modal besar sebagai agen. Intuisinya di atas rata-rata. Dia bisa mengetahui lokasi persembunyian kriminal tanpa satu pun petunjuk. Pihak FBI bahkan berasumsi bahwa anggota baru mereka ini adalah cenayang. Kemampuan spesial itu ia pakai untuk mengejar Longlegs (Nicolas Cage), pembunuh berantai yang telah beraksi selama beberapa dekade. 

Modus operandi Longlegs sungguh misterius. Tidak ada bukti ia pernah menginjakkan kaki di TKP, seolah mampu menggerakkan korban dari jauh supaya saling bunuh. Longlegs pun diyakini sebagai pemuja setan. Apakah rangkaian kasus ini memang melibatkan perihal supernatural, atau terdapat trik rumit yang belum terungkap? Naskah buatan Perkins menjadikan pertanyaan tersebut sebagai pondasi solid bagi misterinya yang dipresentasikan secara menarik. 

Sementara investigasi terjadi, kengerian rutin disebar di tiap sisi. Perkins enggan menerapkan teknik murahan dalam menakut-nakuti. Dibuatnya penonton mendengarkan musik atmosferik gubahan Zilgi (alias Elvis Perkins, adik sang sutradara), sembari menatap ke arah ruang kosong, kemudian sesekali melihat gambar-gambar aneh yang tiba-tiba terselip dalam adegan. 

Hal-hal di atas turut merepresentasikan konflik yang berkecamuk di batin protagonisnya. Kita diajak memahami itu, lalu tanpa sadar ikut merasakannya. Ibarat stimulus subliminal yang menerobos masuk ke dalam bawah sadar penonton guna menyuntikkan rasa takut. Bisa jadi banyak orang bakal tak menyadari mengapa jantung mereka mendadak berdetak lebih cepat, atau napas mereka makin berat kala menyaksikan beberapa adegan film ini. 

Kesan mencekam sekaligus tak berdaya juga dibangun oleh dinamika Lee Harker dan Longlegs. Nicolas Cage dengan kegilaan khasnya melahirkan sosok yang menjauhi tiap sisi kemanusiaan, dan sebaliknya, Maika Monroe mewakili kerapuhan yang amat humanis. Jika The Silence of the Lambs memberi penonton "pegangan" dalam sosok Clarice yang tangguh, maka Lee yang rapuh bakal membuat kita merasa sendirian mengarungi teror si pembunuh dengan riasan tebal. 

Walau tidak mendominasi durasi, Longlegs tetap mempersenjatai diri dengan sentuhan kekerasan, terutama pada babak ketiga. Di klimaks itu Perkins bukan ingin memamerkan kebrutalan semata, melainkan benar-benar memakainya untuk membangun kengerian dan ketegangan, selaku pengantar menuju konklusi kelam yang mengingatkan pada nihilisme Seven (keseluruhan alurnya didesain menyerupai karya David Fincher tersebut). Hail Satan! 

REVIEW - PROJECT SILENCE

Project Silence bakal selalu diingat sebagai salah satu film final Lee Sun-kyun (Land of Happiness yang rilis di Korea Selatan pada 14 Agustus jadi kemunculan terakhirnya di layar lebar) sebelum ia meninggal akhir tahun lalu. Sebuah kehilangan besar bagi sinema dunia, tapi setidaknya, karya penyutradaraan Kim Tae-gon ini adalah blockbuster seru yang secara cerdik mencampur elemen film bencana dengan natural horror. 

Lee Sun-kyun memerankan Cha Jung-won, ajudan dari Jung Hyun-baek (Kim Tae-woo), seorang capres yang paling dijagokan memenangkan pemilu. Bagaimana nantinya sang aktor menampilkan transformasi kepribadian karakternya bakal membuat penonton makin merindukan sosoknya. 

Jung-won cuma mementingkan kemenangan Hyun-baek hingga menelantarkan banyak hal, dari sisi kemanusiaan miliknya, juga sang puteri, Cha Kyung-min (Kim Su-an), yang hendak berangkat bersekolah ke luar negeri. Sewaktu Jung-won mengantar puterinya, terjadilah kecelakaan berantai di jembatan yang menghubungkan bandara dan pusat kota Seoul. Semua diawali oleh tindak tak bertanggung jawab seorang streamer yang menyiarkan aksinya memacu mobil di jalan raya. Tidak sulit menebak bagaimana opini trio penulis naskahnya, Kim Tae-gon, Kim Yong-hwa, dan Park Joo-suk, terhadap kultur media sosial modern. 

Doktor Yang (Kim Hee-won) termasuk salah satu yang terjebak kecelakaan. Bersama beberapa anggota militer, ia sedang mengantar kontainer berisi puluhan anjing yang dijadikan subjek eksperimen bernama "Project Silence" guna menciptakan senjata mematikan. Bisa ditebak, suatu kesalahan membuat anjing-anjing tersebut kabur dan mengancam nyawa semua orang yang berada di jembatan. 

Situasinya makin buruk di saat: 1) Jembatan nyaris runtuh, 2) Muncul kabut tebal yang membatasi jarak pandang. Sebuah latar sempurna bagi sebuah tontonan menegangkan. Bayangkan kombinasi antara The Mist (2007), Cujo (1983), dan barisan film-film bencana buatan Roland Emmerich. 

Ditunjang CGI kelas satu yang membuat berbagai ledakan serta serbuan para anjing terlihat cukup meyakinkan, Kim Tae-gon memamerkan kemampuannya menggerakkan blockbuster secara cepat, dinamis, sembari dengan apik menjaga intensitas. Apalagi naskahnya mampu menyediakan amunisi memadai supaya 96 menit durasinya tampil padat. 

Beberapa poin di ceritanya mungkin terkesan konyol (termasuk soal alasan mengapa para anjing menyerang), pun selain Cha Jung-won dan puterinya, karakter lain seperti Yoo-ra (Park Ju-hyun) si atlet golf ternama beserta sang manajer, Mi-ran (Park Hee-von), maupun Joe Park (Ju Ji-hoon) si sopir truk derek yang berfungsi sebagai comic relief, tak mendapat eksplorasi mumpuni. 

Tapi Project Silence adalah film Korea, yang tidak peduli sedangkal apa pun penokohannya, senantiasa piawai mengaduk-aduk emosi penonton. Di sini, momen emosional tersebut hadir kala salah satu karakternya berkorban bagi orang lain. Itu pula pesan utama yang film ini coba sampaikan. 

Seiring waktu kita menyaksikan bagaimana pihak pemerintah tidak ragu untuk berbohong, menyuap, sampai mengorbankan masyarakat demi menjaga reputasi dan kekuasaan. Sebaliknya, rakyat jelata bersedia mempertaruhkan nyawa demi orang-orang tercinta. Bahkan anjing buas pun rela mati demi anak mereka. Mungkin para pemegang kuasa itu memang lebih rendah dari anjing. 

REVIEW - TWISTERS

Twisters adalah usaha mengulangi keseruan Twister (1996), film bencana yang sedemikian populer hingga meningkatkan peminat jurusan meteorologi di Amerika Serikat sebanyak 10%, sembari menambal hal yang banyak dipercaya sebagai kekurangan dari karya Jan de Bont tersebut, yakni drama humanis. Walau status legendaris yang sama bakal sukar didapat, film arahan Lee Isaac Chung (Minari) ini berhasil menjustifikasi eksistensinya. 

Meski menyebut diri sebagai standalone sequel, menilik minimnya relasi dengan film pertama ditambah caranya bercerita, Twisters lebih cocok disebut remake. Keduanya sama-sama dibuka oleh gempuran mematikan tornado F5 yang menewaskan orang terdekat si tokoh utama sekaligus mendatangkan trauma baginya. Hanya saja, adegan milik Twisters lebih brutal, mengejutkan, pula menghasilkan luka yang lebih membekas. 

Kate (Daisy Edgar-Jones) adalah nama si tokoh utama. Beberapa tahun selepas tragedi yang membuatnya berhenti dari kegiatan mengejar tornado, reuni dengan si teman lama, Javi (Anthony Ramos), membawa Kate kembali ke dunia penuh bahaya tersebut. Dunia di mana perempuan muda sepertinya dipandang sebelah mata. 

Tapi bakat Kate memang mengungguli banyak orang di bidangnya. Jika protagonis film pertamanya menciptakan alat bernama Dorothy guna mengumpulkan data terkait tornado, sejalan dengan prinsip "the bigger the better" dalam sekuel, di sini Kate melangkah lebih jauh. Dia bermimpi menciptakan alat untuk "membunuh" tornado. 

Kate turut bersinggungan jalan dengan Tyler (Glen Powell), seorang pesohor YouTube yang dikenal luas berkat kenekatannya berburu tornado. Berkat chemistry solid Daisy Edgar-Jones sebagai figur perempuan tangguh dan Glen Powell yang karismatik, juga naskah buatan Mark L. Smith (The Revenant, The Midnight Sky) yang menjauhi kesan corny, jalinan romansa dua karakternya tidak terasa mengganggu.

Tyler terjun ke lapangan bersama timnya, yang berlawanan dengan Javi dkk. dengan penampilan rapi serta teknologi canggih milik mereka, terdiri atas individu-individu serampangan. 

Naskahnya dengan cerdik mengecoh penonton, memposisikan kelompok Tyler layaknya antagonis di paruh awal, sebelum banting setir dan melempar pesan mengenai pantangan menilai manusia dari tampilan luar belaka. Berangkat dari situ, Twisters juga menghantarkan benturan antara keserakahan korporasi dengan perjuangan akar rumput. 

Biarpun menggunakan kerangka alur yang serupa (penonton bisa membuat checklist panjang mengenai kemiripan poin plot kedua film), Twisters memang lebih banyak bercerita ketimbang pendahulunya. Hasilnya adalah pisau bermata dua. 

Di satu sisi, para pencari tontonan yang bergerak sekencang tornado F5 macam film pertamanya mungkin bakal terganggu oleh babak kedua yang dipenuhi titik perhentian. Tapi di sisi lain, perhentian-perhentian itu berguna menguatkan pondasi dramatis kisah humanisnya. 

Alhasil klimaksnya tidak lagi sebatas diisi perjuangan bertahan hidup dari terjangan tornado. Kali ini karakternya tidak hanya lari. Di hadapan putaran angin dahsyat yang dihidupkan oleh CGI mumpuni, sang protagonis melaju kencang ke pusat bencana didasari satu tujuan: menyelamatkan nyawa sesamanya. Twisters bukan sekadar menciptakan kehancuran demi hiburan, ia pun mengingatkan penonton akan pentingnya kemanusiaan. 

REVIEW - JURNAL RISA BY RISA SARASWATI

Jurnal Risa by Risa Saraswati. Kenapa mesti ada repetisi kata "Risa" dalam judulnya? Jika ingin membedakan dengan serial Jurnal Risa (2023) buatan Awi Suryadi, bukankah cukup menambahkan "The Movie" di belakang? Mungkin orang-orang di balik film ini berambisi tampil beda, yang akhirnya malah memberi kesan berlebihan, di saat kesederhanaan klise semestinya sudah cukup. 

Bukan cuma judul, masalah serupa juga menggerogoti hasil akhir filmnya. Sebuah horor mokumenter yang berbuat terlalu banyak, baik terkait narasi maupun gaya presentasi. Padahal esensi subgenre itu terletak pada kesederhanaannya. Kelahirannya didasari upaya membawa suatu karya sedekat mungkin dengan realita. Jurnal Risa by Risa Saraswati amatlah jauh dari itu. 

Alurnya bercerita mengenai para pembuat film yang sedang menyusun dokumenter seputar budaya klenik Indonesia. Gagasan yang menarik, sampai mereka memutuskan untuk mengikuti Risa Saraswati dkk. memproduksi konten penelusuran, dan esensi dari eksistensi tim pembuat dokumenter itu pun lenyap. Tanpa mereka, film ini tetap bisa berjalan tanpa perubahan. 

Sekali lagi, naskah buatan Lele Laila berambisi tampil beda sekaligus lebih berbobot dibanding konten YouTube Risa (yang mana tidak perlu), namun berujung melahirkan sesuatu yang sama persis. Intinya, pasca Prinsa (sebagaimana semua pelakon lain di film ini, Prinsa Maandagie memerankan versi fiktif dirinya) selaku salah satu peserta uji nyali memanggil nama "Samex", peristiwa aneh mulai menghantui hidupnya. 

Konon Samex adalah hantu yang paling ditakuti oleh Risa. Nantinya usaha membebaskan Prinsa dari gangguan gaib membawa tim Jurnal Risa mengunjungi desa tempat kelahiran Samex. Jangan harap ada eksplorasi mitologi memadai di sana. Bahkan fakta mendasar seperti arti namanya ("Sawarga Malapetaka" bila mengacu pada novel Samex: Sawarga Malapetaka karya Risa Saraswati) pun luput dibahas. 

Naskahnya bahkan gagal menuturkan hal sederhana seputar kaitan antara kutukan yang melanda desa tempat Samex berasal dengan gangguan yang Prinsa alami dengan rapi serta mudah dipahami. Alhasil babak puncaknya melahirkan kekacauan, di tengah kegagalan Rizal Mantovani selaku sutradara mengkreasi teror. Sebagaimana deretan jumpscare medioker tak bertaring yang telah banyak muncul sebelumnya, klimaks film ini tersaji minim intensitas. 

Saya takkan mempermasalahkan kualitas kamera yang jernih. Realisme mokumenter tidak berbanding lurus dengan buruknya resolusi gambar. Tapi lain cerita dengan pemakaian musik serta efek suara yang terlampau riuh, atau keberadaan sudut kamera "gaib" yang entah berasal dari mana. Semuanya bermuara kembali pada satu poin: upaya berlebihan yang tidak perlu dilakukan. 

Jika ada yang semestinya ditambah, itu adalah kemunculan Risa Saraswati yang menghilang di mayoritas durasi termasuk klimaks. Orang yang namanya dua kali muncul di judul malah punya screen time paling sedikit. Sungguh film yang penuh dengan "kebalikan". 

REVIEW - ESCAPE

Escape mengambil formula film-film tentang upaya kabur dari penjara, lalu memberi twist menarik: Apa jadinya kalau penjara yang dimaksud bukan sebuah bangunan berterali besi melainkan sebuah negara, di mana kepercayaan terhadap "takdir" menumbuhkan tembok-tembok tebal tak kasat mata? 

Setelah 10 tahun menjalani wajib militer sebagai prajurit Korea Utara, Lim Gyu-nam (Le Je-hoon) akhirnya akan segera bebas. Tapi kebebasan itu tak terasa membebaskan akibat sistem ketat di Korea Utara yang mengatur masa depan warganya. Si miskin tetaplah miskin, si kaya semakin kaya. Gyu-nam yang enggan menyerah pada takdir pun memutuskan membelot ke Korea Selatan. 

Setiap malam selepas semua orang di markas terlelap, Gyu-nam mempersiapkan pelariannya. Jarak tempuh diukur, lokasi ranjau dekat garis perbatasan ditandai, peta pun dibuatnya. Tapi sebagaimana film-film bertema "prison break" lain, persiapan matang tersebut bakal diganggu oleh hal-hal di luar perkiraan. 

Naskah buatan Kwon Seong-hwi dan Kim Woo-geun cerdik menyediakan rintangan bagi sang protagonis, sehingga membuat Escape memiliki konflik yang padat selama 94 menit durasinya. Situasi bertambah rumit, skala cerita pun membesar hingga tak lagi cuma berkutat pada upaya Gyu-nam kabur dari markasnya yang terletak dekat perbatasan dua negara. 

Salah satu batu sandungan yang harus dilewati Gyu-nam adalah Mayor Lee Hyun-sang (Koo Kyo-hwan) yang bertugas untuk memburunya. Jika Lee Je-hoon mampu mewakili semangat manusia yang memperjuangkan kebebasan melalui aktingnya, maka Koo Kyo-hwan, seperti sudah sering ia lakukan, tampil layaknya magnet yang begitu kuat menarik atensi penonton. Sang aktor membawakan sosok Lee Hyun-sang secara eksentrik dan menarik, mengingatkan pada Christoph Waltz sebagai Hans Landa di Inglourious Basterds (2009). 

Dinamika Gyu-nam dan Hyun-sang menghadirkan gesekan dua kutub berlawanan. Gyu-nam mewakili sisi yang mendambakan kebebasan dan bersedia mengalami kegagalan selama melangkah di jalannya sendiri, sedangkan Hyun-sang percaya pada suratan takdir, meski itu memaksanya menanggalkan jati diri (di sinilah penampilan spesial dari Song Kang berperan). 

Narasi Escape tidak selalu sempurna. Pertemuan Gyu-nam dengan sekelompok nomad menjanjikan subplot penyelamatan seru yang tak pernah terealisasi, sehingga pertemuan itu seolah hanya dipakai untuk memfasilitasi kemunculan berbagai cameo (Esom, Lee Ho-jung, Hyun Ji Shin). Cukup disayangkan pula, setelah mengisi alur dengan berbagai adu taktik menarik, Escape beralih memakai "leap of faith" yang terkesan malas di babak puncak, tatkala mengharuskan Gyu-nam melintasi ladang ranjau. 

Untungnya pengarahan Lee Jong-pil (Born to Sing, Samjin Company English Class) sanggup menjaga intensitas yang memudahkan penonton memaafkan beberapa kelemahan di atas. Berjalan cepat, padat, akhirnya menutup penceritaan dengan lembut nan hangat, membuat Escape mampu berdiri tegak di tengah banyaknya suguhan bertema konflik Utara dan Selatan. 

REVIEW - DADDIO

Pada era di mana individualisme makin diutamakan (yang mana tidak keliru), banyak individu lalai untuk saling terhubung. Terlibat dalam obrolan di dunia nyata, berbagi perasaan, atau bertukar opini. Sederhananya, berinteraksi. Daddio mengingatkan tentang indahnya saat manusia mampu membangun koneksi dengan sesamanya. 

New York nampak tiada beda dengan kota-kota lain di malam hari. Aktivitas mulai surut seiring waktu yang semakin larut. Di tengah kesunyian itu, seorang perempuan yang tidak kita tahu namanya (Dakota Johnson) menaiki taksi dari bandara JFK. Apartemen miliknya di Manhattan jadi destinasi. Kita panggil saja perempuan ini "Girlie" sesuai dengan yang tercantum di kredit. 

Sepanjang perjalanan, sesekali ia membaca pesan dari seorang pria yang bakal segera kita asumsikan sebagai kekasih Girlie. Pesan bernada mesum itu membuatnya tak nyaman. Dia malah menemukan kenyamanan berinteraksi dengan pria paruh baya yang menyopiri taksinya. Clark (Sean Penn) nama pria itu. 

Clark bagaikan spesies yang hampir punah. Seorang pria tua yang membenci aplikasi modern, sama seperti ketidaksukaannya terhadap penumpang yang membayar menggunakan kartu kredit karena mengurangi kemungkinan ia menerima tip. Sebaliknya, Girlie dengan usia muda serta profesi sebagai programmer bak personifikasi masa kini. 

Naskah buatan sang sutradara, Christy Hall, segera membenturkan dua manusia dalam taksi ini dalam pembicaraan yang menelanjangi ruang intim masing-masing. Girlie yang memancarkan aura "perempuan independen" nyatanya tak sekuat dan semandiri itu, Clark pun tidak sedingin kelihatannya. Kemacetan mendadak akibat sebuah kecelakaan makin memfasilitasi obrolan mereka yang menyentuh beragam topik dari cinta, seks, gender, hingga trauma. 

Satu hal yang segera terasa adalah, bahwa dinamika manusia tidak bisa disederhanakan memakai angka 0 dan 1 layaknya program komputer. Lebih kompleks. Interaksi langsung di dunia nyata berfungsi untuk menguraikan kompleksitas tersebut. Acapkali memancing pemikiran, bahkan sesekali terasa tidak nyaman. Begitulah obrolan antar manusia yang semestinya bukan kita hindari, melainkan pelajari. 

Girlie merasa jengah tatkala Clark mengutarakan pendapatnya yang bernada misoginis, namun tak serta merta menampiknya. Sebaliknya, ia berusaha menggali penyebab hadirnya perspektif tersebut, sekaligus alasan mengapa Clark merasa perlu menyampaikannya. Dari situlah si perempuan muda memulai proses berpikir dan merasakan. 

Tapi toh pada akhirnya era akan berubah, di mana hal-hal yang ketinggalan zaman bakal punah. Clark sesungguhnya menyadari itu. Dia menerima dengan senang hati kala Girlie membayar menggunakan kartu kredit. Zaman berubah, pola pikir berganti, namun manusia tetaplah manusia yang ingin dimanusiakan seharusnya saling memanusiakan.

Girlie dan Clark menunjukkan bagaimana cara memanusiakan orang lain dalam berinteraksi. Keduanya menaruh perhatian besar pada ucapan masing-masing, entah lewat gestur, kata-kata, atau sekadar tatapan mata. Akting Dakota Johnson dan Sean Penn pun sama-sama membuat saya yakin bahwa yang nampak di layar bukan sebatas dua karakter rekaan yang terlibat obrolan sesuai skenario, melainkan dua manusia sungguhan yang bertukar isi hati. 

Christy Hall seolah menggerakkan filmnya mengikuti arus keheningan malam. Tenang. Tidak ada ledakan emosi, bahkan saat hati karakternya bergejolak. Temponya dibuat bak taksi yang enggan menginjak pedal gas terlampau dalam, sebagai cara mengajak penonton berkontemplasi. Lalu perjalanan mencapai tujuan, obrolan tuntas, dan masing-masing manusia kembali menatap kesendiriannya sembari menunggu saat terlelap, merindukan esok hari di mana koneksi yang sama bakal terjalin kembali.

REVIEW - SEKAWAN LIMO

Melalui Sekawan Limo, Bayu Skak berhasil mencapai apa yang gagal dicapai Raditya Dika beberapa tahun lalu, yakni mengentaskan diri dari citra pria lucu yang mengakrabi patah hati, dengan mengeksplorasi genre di luar komedi romantis. Didukung naskah kreatif hasil tulisan Nona Ica, Bayu telah menguasai "seni menertawai memedi". 

Berlatar Gunung Madyopuro, kita berkenalan dengan Bagas (Bayu Skak) dan Lenni (Nadya Arina) yang hendak memulai perjalanan menuju puncak. Bagas bersedia repot-repot menemani pendakian Lenni tidak lain karena ia menyukai teman sekampusnya tersebut. Sedangkan Lenni nampak menyimpan rahasia di balik kemurungan yang selalu menghiasi wajahnya. 

Tiga orang asing turut serta dalam pendakian: Dicky (Firza Valaza) si sombong yang menyebut diri sendiri sebagai ketua kelompok, Juna (Benidictus Siregar) yang baik hati walau bertampang "intimidatif", serta Andrew (Indra Pramujito) yang ditemukan pingsan di hutan. Seiring waktu, kelimanya justru mulai mendapati rangkaian peristiwa aneh, yang mengerucut pada kemungkinan bahwa salah satu di antara mereka sesungguhnya adalah hantu. 

Sekawan Limo mungkin bukan whodunit cerdas, tapi sekali lagi, penulisan solid Nona Ica melahirkan misteri ringan nan menyenangkan, ketika mampu memancing kecurigaan terhadap tiap karakter. Semua orang pantas dicurigai sebagai hantu, pun kelak terungkap bahwa mereka sama-sama menyimpan rahasia. 

Deretan rahasia itu, ditambah mitos Gunung Madyopuro berupa larangan bagi para pendaki untuk menengok ke belakang sepanjang perjalanan, dipakai sebagai pondasi elemen drama. Kilas balik pun nantinya dipakai secara efektif untuk memberi latar belakang bagi setiap pendaki. Sebagaimana presentasi whodunit tadi, naskahnya tak sampai memberi eksplorasi karakter yang luar biasa mendalam, tapi memadai.

Serupa film-film Bayu sebelumnya, Sekawan Limo masih berkutat pada upaya melupakan luka masa lalu. Bedanya, bukan manis-pahit cinta yang mesti dihadapi, melainkan barisan problematika yang jauh lebih kompleks sekaligus kelam. Gunung dengan segala misteri yang juga kerap dianggap selaku lokasi berkontemplasi merupakan panggung yang sempurna bagi kisahnya

Humor milik Sekawan Limo adalah apa yang saya sebut sebagai "komedi pinggir jurang". Dia mempersenjatai diri dengan berbagai banyolan khas tongkrongan yang cukup berisiko. Jika tidak mempermasalahkan tipikal komedi macam itu (mengolok-olok tampang "kurang ganteng" Juna misalnya), maka Sekawan Limo bakal memproduksi tawa tanpa henti. Apalagi ia ditunjang jajaran pemain yang piawai melucu. Tidak hanya para pemeran utama, karakter pendukung seperti si tukang bakso yang diperankan Cak Ukil pun sukses mencuri perhatian.

Terpenting, Sekawan Limo bisa mengajak penontonnya menertawakan para demit yang menampakkan diri, dari pocong, kuntilanak, hingga genderuwo, dengan cara yang tak jarang kreatif. Mungkin hantu-hantu berparas menyeramkan itu memang tidak sedemikian menyeramkan bila dibanding "hantu masa lalu" yang bahkan tak sanggup diusir oleh jimat sesakti apa pun.