Tampilkan postingan dengan label Laura Haddock. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Laura Haddock. Tampilkan semua postingan
TRANSFORMERS: THE LAST KNIGHT (2017)
Rasyidharry
Suatu ketika saya membaca wawancara suatu majalah film dengan Michael Bay. Disebutkan bahwa menikmati gelaran eksplosi sang sutradara bagai menjual jiwa pada setan. Penonton tahu filmnya buruk ditinjau dari standar sinematik namun tak kuasa menolak dan akhirnya menerima kegembiraan yang dirasa. Istilah umumnya "guilty pleasure". Saya kurang setuju. Benar Bay bukan jagoan pembangun tensi layaknya Cameron atau ahli mengawinkan aksi dengan hati seperti Spielberg. Tapi ia diberi talenta yang didukung passion dan kecintaan. Talenta berupa menyajikan epic cinema berbasis ledakan "cantik". Bayhem (begitu gayanya disebut) adalah soal spektakel yang saking bombastisnya jadi terasa dramatis, poin yang tidak semua sutradara blockbuster punya.
The Last Knight menawarkan formula familiar, dan mencapai installment kelima seri Transformers memang enggan ke mana-mana. Pasca tease menarik di konklusi Age of Extinction saat Optimus Prime lepas landas menuju Cybertron toh kisahnya tetap berpijak di Bumi, menyoroti invasi robot yang hendak menabrakkan Cybertron ke planet ini (tak jauh beda dibanding Dark of the Moon). Pembuka menjanjikan kala kita diajak ke era medieval menyaksikan Raja Arthur bersama Merlin si penyihir dan 12 Kesatria Meja Bundar berperang dibantu para Transformers pun bertahan sejenak saja. Sekedar prolog, eksposisi singkat bagi cerita selanjutnya di masa kini. Padahal melihat naga robot berkepala sukses mengundang decak kagum sekaligus bukti Transformers bisa bekerja dengan baik di setting waktu dan tempat non-kontemporer.
Cerita kembali berpusat di Cade Yeager (Mark Wahlberg) yang kini menetap di junkyard penampung Autobots sementara Optimus pergi. Di tengah penelusuran terkait makin banyaknya robot mendarat di Bumi, sesosok Transformers sekarat memberi Yeager sebuah jimat. Tanpa dia tahu, benda itu menggiringnya ke rahasia ribuan tahun mengenai eksistensi robot dan manusia. Bersama Sir Edmund Burton (Anthony Hopkins) sang pemimpin organisasi rahasia, mekanik cilik pemberani bernama Izabella (Isabela Moner), Viviane (Laura Haddock), Profesor dari Oxford, dan tentunya Autobots, Yeager memperjuangkan keselamatan Bumi. Perjuangan berujung semakin berat karena "pengkhianatan" Optimus Prime.
Tuturan bahwa tokoh legendaris semisal Einstein, Galileo, dan Wright Bersaudara tergabung dalam organisasi rahasia yang menyembunyikan keberadaan Transformers, juga keterlibatan robot pada peristiwa sejarah (kematian Hitler misalnya) hanya jadi bumbu penyedap. Menarik di awal kemudian dilupakan. Proses Yeager dan Viviane memecahkan teka-teki soal tongkat Merlin yang bak diambil dari salah satu chapter The Da Vinci Code pun bukan konflik pintar, meski setidaknya menstimulus otak penonton berproses, memancing gejolak naik-turun alur yang lebih menggigit ketimbang sepenuhnya "hit and run" macam film-film sebelumnya. The Last Knight memang penuh pernak-pernik kurang substansif tapi memperkaya warna. Sebutlah pembuatan tokoh Cogman dan Sqweeks selaku "tiruan" C-3PO dan R2-D2 dari Star Wars.
Pergantian penulis dari Ehren Kruger menjadi trio Art Marcum, Matt Holloway, dan Ken Nolan mungkin urung menambah bobot, namun sukses memperbaiki kelemahan terkait komedi. Kita ingat betul Revenge of The Fallen dan Dark of the Moon dirusak oleh lelucon menyebalkan, berlebihan nan dipaksakan di waktu tak tepat. The Last Knight bisa menghadirkan beberapa tawa berkat dosis humor secukupnya, entah berbentuk banter karakter maupun situasi absurd (yang sesungguhnya klise) kala Cogman mendadak memainkan musik dramatis mengiringi pembicaraan. Sayangnya, Bay kurang cakap meramu momen komedik. Timing menyelipkan kesunyian tiba-tiba sering meleset, begitu pula transisi kasar antar adegan yang kerap melemahkan daya bunuh humor.
Penampilan jajaran cast turut membaik. Setelah meraba-raba di Age of Extinction, sekarang Wahlberg maksimal melakoni peran sebagai leading hero di antara kepungan robot-robot raksasa, seutuhnya menghapus memori buruk bernama Shia LaBeouf. Walau bukan performa kelas Oscar, Hopknis nampak jelas bersenang-senang di sini. Lalu tatkala Isabela Moner memamerkan kapasitas sebagai bintang muda potensial, Laura Haddock akhirnya mengobati kehilangan atas Megan Fox. Selain paras serupa, sewaktu Rosie Huntington-Whiteley dan Nicola Peltz sekedar berusaha tampak cantik, Haddock memiliki sensual presence tinggi. Haddock dan Wahlerg pun saling mengimbangi, menciptakan interaksi raunchy yang jauh lebih bernyawa dibanding duo tokoh utama lain franchise ini.
Tidak perlu mempertanyakan eksekusi aksi Michael Bay. Ledakan bombastic artistic dengan staging yang dipikir masak-masak atau penggunaan slow-motion tepat guna sehingga aksi Autobots makin badass adalah alat pacu kegembiraan yang hanya bisa diimpikan banyak kompatriotnya sesama blockbuster filmmaker. Hanya ada satu minus, di mana intensitas gagal mencapai titik maksimum akibat set-piece acap kali berlangsung terlampau singkat. Bukan sepenuhnya kekeliruan Bay (the anticlimactic third act was his fault though), sebab terburu-burunya naskah merangkum konklusi ikut jadi penyebab. Tengok resolusi konflik seputar Optimus sebagai contoh. Kekurangan tersebut masih termaafkan, apalagi sensibiltas visual Bay dalam melukiskan massive landscape tetap terjaga. Salah satu momen menampilkan pertarungan Autobots melawan Decepticon di tengah padang rumput hijau dengan Stonehenge sebagai pusat, api bergelora di sana-sini, sementara di angkasa Cybertron berukuran raksasa ikut melatari. What a chaotic beatuy.
Juni 22, 2017
Action
,
Anthony Hopkins
,
Art Marcum
,
Isabela Moner
,
Ken Nolan
,
Laura Haddock
,
Lumayan
,
Mark Wahlberg
,
Matt Holloway
,
Michael Bay
,
REVIEW
,
Science-Fiction
Langganan:
Postingan
(
Atom
)