Tampilkan postingan dengan label Prerna Sharma. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prerna Sharma. Tampilkan semua postingan

PIHU (2018)

Dalam sebuah suguhan berani yang terinspirasi dari kisah nyata yang dibaca sang sutradara, Vinod Kapri (Miss Tanakpur Haazir Ho), empat tahun lalu, Pihu melontarkan pertanyaan, “Apa jadinya bila balita ditinggal sendirian di rumah?”. Gabungkan itu dengan kelalaian mematikan beberapa peralatan elektronik, terciptalah skenario menerikan yang turut menampar kita lewat studi kasus perihal parenting.

Guna menghindari spoiler, saya cuma bisa bilang kalau film ini menceritakan bocah dua tahun bernama Pihu (Myra Vishwakarma) yang ditinggal sendirian di rumah tanpa bekal makanan layak, serta setrika dan kran air yang menyala. Seiring durasi berjalan, kita mulai mengetahui keberadaan orang tua Pihu, pula alasan ia sendirian, dalam cerita yang juga bicara soal konflik rumah tangga, termasuk dampaknya terhadap anak.

Melakukan pengambilan gambar selama dua jam tiap hari dengan tiga kamera ditempatkan di lokasi, Pihu memiliki dialog minimalis. Kita hanya mendengar beberapa pembicaraan melalui telepon dan sedikit interaksi di luar rumah Pihu. Lebih jauh lagi, selain sang titular character dan sang ibu (diperankan Prerna Sharma, ibunda Myra di dunia nyata), tidak ada karakter yang wajahnya diperlihatkan secara langsung. Entah sekedar kaki yang nampak, atau suara yang terdengar.

‘Pihu’ is a case study first, thriller later. Vinod Kapri yang turut bertindak selaku penulis bahkan bersedia mengubah naskahnya beberapa kali untuk menyesuaikan dengan perilaku aktris ciliknya, demi  menangkap gambar-gambar senatural mungkin. Dan usaha itu berhasil. Kita bisa merasakan kebebasan yang diberikan kepada Myra, di mana berbeda dengan banyak pelakon cilik, ia tak terlihat berpura-pura atau menjalankan instruksi. Dan terpenting, Pihu bertingkah sebagaimana mestinya balita berkelakuan jika ditempatkan dalam beragam situasi tersebut.

Kata kuncinya memang “balita”. Karena protagonisnya balita, hal-hal yang biasanya mengganggu, karena merupakan wujud kebodohan bagi karakter dewasa, di sini merupakan kewajaran yang didasari rasa ingin tahu khas anak kecil. Kita pun bisa duduk santai menikmati filmnya, Well, sebenarnya “santai” bukan pilihan kata yang pas, sebab keberadaan balita sebagai tokoh utama menjadikan kepedulian dan kekhawatiran kita berlipat ganda. Semakin menegangkan karena kemampuan bocah memecahkan masalah tentu belum sebaik orang dewasa. Apa yang bagi kita keseharian (memanaskan makanan, membuka kulkas) adalah petualangan menantang untuk mereka.

Pujian pantas disematkan kepada penulisan Vinod Kapri, yang sangup memikirkan deretan rintangan sederhana guna membangun ketegangan. Siapa sangka setrika bisa terlihat begitu mengerikan? Gabungkan dengan kapasitas penyutradaraan Vinod, yang piawai memilih timing pula sudut kamera, Pihu menjadi perjalanan yang dapat membuat anda kesulitan mengontrol jeritan kala mengkhawatirkan nasib karakternya.

Filmnya semakin menyiksa (in a good way) akibat rasa ketidakberdayaan yang dimunculkan. Pihu tidak memahami situasinya, pula pentingnya berusaha keluar dari rumah. Dia sekedar “mengikut arus”, bersikap sesuai insting untuk melakukan apa pun yang diinginkan. Kita hanya bisa berharap supaya dewi fortuna senantiasa menaunginya. Ya, terdapat penurunan tensi sekaligus kekosongan di sana-sini, sehingga durasi yang cuma 91 menit itu tetap agak terlalu panjang, namun setiap tensi meningkat, debaran jantung anda pun bakal ikut melonjak drastis.