REVIEW - THE ARCHITECTURE OF LOVE

30 komentar

Di The Architecture of Love yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa, latar luar negeri bukan sekadar destinasi jalan-jalan yang ditangkap keindahannya melalui sudut pandang turis. Setiap sudut kota New York ibarat alat perekam kenangan yang mengabadikan cerita-cerita dua protagonisnya. 

Raia (Putri Marino) adalah novelis sukses yang karyanya telah diadaptasi ke layar lebar. Pada malam pemutaran perdana filmnya, Alam (Arifin Putra), sang suami yang selama ini merupakan inspirasi terbesarnya, ketahuan berselingkuh. Raia hancur, mengalami writer's block, kemudian pergi ke New York, menumpang di apartemen sahabatnya, Erin (Jihane Almira), guna mencari inspirasi. 

Ketakutan menjalin hubungan sejatinya menghantui Raia, namun ia berusaha meredamnya. Sehingga, saat di sebuah pesta perhatiannya tertuju pada arsitek bernama River (Nicholas Saputra), secara aktif Raia berusaha menjalin kedekatan. River juga menyimpan trauma terkait hubungan yang menimbulkan berbagai gejala PTSD. 

Dua protagonis kita ibarat dua sisi koin. Serupa tapi tak sama. Sewaktu Raia coba beranjak dari memori percintaan lamanya, River masih terjebak. Ketika Raia ingin membuka lembaran baru, River beranggapan bahwa cerita baru bakal menghapus kenangan yang lebih berharga. "Sesuatu yang kosong tidak harus diisi", ucapnya. 

The Architecture of Love bukan berniat menuding pihak mana yang lebih baik/buruk, melainkan memaparkan bahwa peristiwa traumatis dapat menghasilkan dampak berbeda di tiap individu. Bahkan, kecuali Alam si tukang selingkuh, tak satu pun karakter layak disebut "jahat". Ada pesaing cinta yang terluka, hingga sosok yang takut mengutarakan perasaan, tapi (nyaris) tiada manusia kejam di sini. 

Dari situlah naskah buatan Alim Sudio memasang pondasi romansanya, menciptakan dinamika manis antara dua manusia yang kesulitan beranjak dari luka. Diiringi musik beraroma jazz gubahan Ricky Lionardi, Raia dan River menghabiskan waktu, bertukar pikiran, pula berbagi lara, dengan berbagai titik kota New York menjadi saksi bisu yang merekam jejak keduanya. 

Di kursi sutradara, Teddy Soeriaatmadja tidak ingin menyajikan opera sabun. Presentasinya amat elegan. Letupan-letupan emosi dijaga supaya tidak terlampau eksplosif tanpa harus kehilangan kekuatannya. Barisan kalimat quotable yang naskahnya "ambil" dari novel Ika pun terdengar lebih indah berkat pendekatan Teddy tersebut. 

Tentunya Teddy juga dibantu oleh performa dua pelakon utamanya. Nicholas Saputra menghadirkan salah satu penampilan paling berwarna sepanjang karirnya, menghidupkan dua wajah River yang ada kalanya tenang nan memesona, tapi tak jarang kehilangan kendali atas emosinya. 

Sedangkan Putri Marino meyakinkan saya kalau dia adalah aktris terbaik yang saat ini dimiliki Indonesia. Caranya mengangkat deretan momen kasual menjadi pertunjukan akting kelas satu sungguh luar biasa. Bagaimana sang aktris meletakkan jeda dalam tuturan verbal, bagaimana tiap reaksi baik dalam bentuk gestur atau ekspresi terlihat begitu kaya, seluruhnya mengagumkan. Seorang aktris hebat dalam sebuah film yang hebat. 

30 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

scene ciuman nya nanggung klise

Anonim mengatakan...

sulitnya move on

Anonim mengatakan...

gagal paham

Anonim mengatakan...

film baik bukan terbaik

Anonim mengatakan...

stress depresi aja healing ke new york, busyet dah

Anonim mengatakan...

kisah orang kebanyakan duit jika lagi stress

Anonim mengatakan...

kalau stress sebaiknya masuk pesantren

Anonim mengatakan...

bakar cuan, nggak jelas motivasi nya

Anonim mengatakan...

horror banget ini film

Anonim mengatakan...

para tokoh karakter yang tidak mempunyai landasan agama yang kuat

Anonim mengatakan...

depresi jangan nonton film ini nanti kena trigger

Anonim mengatakan...

cuaks nih movie

Anonim mengatakan...

nggak rekomendasi nonton

Anonim mengatakan...

tunggu streaming aja

Anonim mengatakan...

disney plus

Anonim mengatakan...

skor ini film : 7/10

Anonim mengatakan...

film remeh temeh nggak jelas

Anonim mengatakan...

akting biasa aja B

Anonim mengatakan...

ftv masuk xxi

Abhiem mengatakan...

Salah satu film romance Indonesia yang mengisahkan percintaan kaum kelas atas. Kena depresi, healingnya ke New York. Dari premis itu saja sebenarnya bukan film yang menggambarkan masyarakat Indonesia. Tapi namanya film ya sah sah saja.

IMHO, film ini punya beberapa plot hole yang emang dipaksakan. Beberapa kali tiba-tiba saja Nicolas muncul di dekat Putri Marino. Kebetulan yang malah jadi terlihat konyol sekali. Kurang smooth. Belum lagi menjelang ending, gebetan sahabatnya Putri Marino malah ternyata suka sama Putri Marino - sebuah pertanyaan besar yang muncul: sejak kapan dia suka? Kontak mata pun enggak ada. Eh, mendadak muncul bilang suka. Lah, gak ada hubungannya dengan tema utama film.

But anyway, akting Putri Marino ini effortless sekali. Nicolas kebanting performa aktingnya, kalo mau jujur ya. Chemistry keduanya pun terasa kurang dapet.

Film romance yang bukan hebat, but just okey.

For me: 7,5/ 10.

thanks

Anonim mengatakan...

Ada adegan dimana Raia dan Erin VC tp kamera Raia gak aktif/nyala, selebihnya film ini sweet bgt

Anonim mengatakan...

Kalau gebetan Erin yg tiba2 suka sm Raia, ada sih adegan ketika makan bersama dimana mata cowok tuh kayak menatap Raia penuh makna, di trailer pun ada.

Anonim mengatakan...

nothing special sih

Anonim mengatakan...

kiss nya kurang hot

Anonim mengatakan...

nggak ada chemistri 70% aja

Anonim mengatakan...

kok bs ada yg blg bagus ya..basii

Anonim mengatakan...

New York Gi Tu Loh

Anonim mengatakan...

Gue kalau lagi stress cukup makan kaki lima aja sebagai healing, nggak perlu sampai ke New York

Anonim mengatakan...

Kelakuan Kalangan Atas Yang Cakep Banget : HEDON

Anonim mengatakan...

wow tayang di bioskop kencang banget layar dan jam tayang nya, pasti mau lihat reza rahardian main film TOAL TOEL