REVIEW - LONGLEGS

2 komentar

Banyak film berusaha menjadi "psikologis", tapi jarang yang seperti Longlegs buatan Osgood Perkins (putera Anthony Perkins, pemeran Norman Bates di Psycho). Semua elemen artistiknya diciptakan supaya penonton memahami perasaan karakternya, sembari tanpa sadar tertular perasaan yang sama. Seolah setan sedang turun tangan menjangkiti umat manusia dengan menyebarkan segala jenis emosi negatif. 

Longlegs memang bakal sering mendapat cap "satanic". Bayangkan jika setan sendiri yang menulis sekaligus menyutradarai The Silence of the Lambs (1991) atau Seven (1995), sehingga membuat formula cerita yang sesungguhnya familiar terasa segar, dan tentunya, lebih kejam nan mencekam. 

Mengambil latar 90-an, kita dibawa mengikuti kinerja Lee Harker (Maika Monroe) yang baru direkrut sebagai agen FBI. Biarpun sama-sama pemula, Lee bukanlah Clarice Starling (Jodie Foster) yang kokoh serta dipenuhi kepercayaan diri. Jangankan mengejar pembunuh, berinteraksi dengan sesama manusia saja nampak berat bagi Lee yang senantiasa terlihat canggung. 

Padahal Lee memiliki modal besar sebagai agen. Intuisinya di atas rata-rata. Dia bisa mengetahui lokasi persembunyian kriminal tanpa satu pun petunjuk. Pihak FBI bahkan berasumsi bahwa anggota baru mereka ini adalah cenayang. Kemampuan spesial itu ia pakai untuk mengejar Longlegs (Nicolas Cage), pembunuh berantai yang telah beraksi selama beberapa dekade. 

Modus operandi Longlegs sungguh misterius. Tidak ada bukti ia pernah menginjakkan kaki di TKP, seolah mampu menggerakkan korban dari jauh supaya saling bunuh. Longlegs pun diyakini sebagai pemuja setan. Apakah rangkaian kasus ini memang melibatkan perihal supernatural, atau terdapat trik rumit yang belum terungkap? Naskah buatan Perkins menjadikan pertanyaan tersebut sebagai pondasi solid bagi misterinya yang dipresentasikan secara menarik. 

Sementara investigasi terjadi, kengerian rutin disebar di tiap sisi. Perkins enggan menerapkan teknik murahan dalam menakut-nakuti. Dibuatnya penonton mendengarkan musik atmosferik gubahan Zilgi (alias Elvis Perkins, adik sang sutradara), sembari menatap ke arah ruang kosong, kemudian sesekali melihat gambar-gambar aneh yang tiba-tiba terselip dalam adegan. 

Hal-hal di atas turut merepresentasikan konflik yang berkecamuk di batin protagonisnya. Kita diajak memahami itu, lalu tanpa sadar ikut merasakannya. Ibarat stimulus subliminal yang menerobos masuk ke dalam bawah sadar penonton guna menyuntikkan rasa takut. Bisa jadi banyak orang bakal tak menyadari mengapa jantung mereka mendadak berdetak lebih cepat, atau napas mereka makin berat kala menyaksikan beberapa adegan film ini. 

Kesan mencekam sekaligus tak berdaya juga dibangun oleh dinamika Lee Harker dan Longlegs. Nicolas Cage dengan kegilaan khasnya melahirkan sosok yang menjauhi tiap sisi kemanusiaan, dan sebaliknya, Maika Monroe mewakili kerapuhan yang amat humanis. Jika The Silence of the Lambs memberi penonton "pegangan" dalam sosok Clarice yang tangguh, maka Lee yang rapuh bakal membuat kita merasa sendirian mengarungi teror si pembunuh dengan riasan tebal. 

Walau tidak mendominasi durasi, Longlegs tetap mempersenjatai diri dengan sentuhan kekerasan, terutama pada babak ketiga. Di klimaks itu Perkins bukan ingin memamerkan kebrutalan semata, melainkan benar-benar memakainya untuk membangun kengerian dan ketegangan, selaku pengantar menuju konklusi kelam yang mengingatkan pada nihilisme Seven (keseluruhan alurnya didesain menyerupai karya David Fincher tersebut). Hail Satan! 

2 komentar :

Comment Page:
Saru mengatakan...

Semua aspek nya bagus, cuma agak kecewa kenapa ada unsur supranaturalnya, saya kira kayak seven yg memang pembunuhnya cerdik dan bisa dicerna logika, yah mungkin saya yg kurang jeli melihat genrenya yang mengandung horor thriller, bukan thriller murni

Abhiem mengatakan...

agak males ya kalo udah menyentuh unsur supranatural. kaya Terrifier contohnya. badut psikopat. harusnya bisa dibuat tetap berpijak pada logic.