REVIEW - SMILE 2
Berbeda dengan film pertamanya (saya termasuk minoritas yang tidak begitu memujanya), Smile 2 bukan menitikberatkan pada mitologi "senyuman terkutuk" maupun investigasi terhadapnya, melainkan penelusuran psikis yang terasa jauh lebih personal. Apa yang Parker Finn, selaku sutradara sekaligus penulis naskah, ingin capai di Smile dua tahun lalu (dan kurang berhasil), akhirnya berhasil diwujudkan oleh sekuelnya.
Menyaksikan sekuen pembuka yang dipresentasikan dalam format single take, juga dilengkapi atmosfer penuh ketidaknyamanan di tengah tumpukan salju yang memenuhi latarnya, daripada sekuel bagi horor populer arus utama, saya seolah tengah menyaksikan suguhan alternatif yang jadi idola di kalangan penikmat festival film.
Setelahnya, barulah kita berkenalan dengan Skye Riley (Naomi Scott), bintang pop ternama yang baru kembali muncul ke publik setelah setahun absen akibat kecelakaan maut yang menewaskan kekasihnya. Saat itu keduanya tengah mabuk, serta berada di bawah pengaruh narkoba. Kini Skye berusaha membangkitkan lagi karirnya, termasuk dengan melanjutkan tur yang sempat tertunda.
Hanya ada satu masalah: Skye belum benar-benar pulih. Selain luka fisik di punggung yang rasa sakitnya acap kali kambuh, trauma pun masih menghantui hari-hari sang bintang. Individu dengan kondisi seperti Skye memang mangsa empuk bagi si entitas penyebar kutukan. Benar saja, selepas menjadi saksi kematian kenalannya, kutukan itu pun berpindah ke dirinya.
Smile 2 tetap memberi ekspansi pada mitologinya, terutama selepas pertemuan Skye dengan Morris (Peter Jacobson) yang mengaku dapat membantunya lepas dari kutukan, namun secara keseluruhan, cakupan alurnya lebih kecil, lebih intim, dan terpenting, lebih terfokus, sehingga penceritaannya pun tampil solid. Biarpun tidak jarang saya berharap Finn bersedia memangkas beberapa menit durasinya, supaya mengurangi eksistensi beberapa titik yang terasa draggy.
Proses Skye menangani trauma jadi sorotan utama. Mengenai industri hiburan yang cuma ingin mengeksploitasi tanpa memedulikan kondisinya, juga soal kegagalan (atau keengganan?) sang ibu (Rosemarie DeWitt) yang juga menjadi manajernya, dalam memahami luka yang Skye rasakan, baik fisik maupun psikis.
Beruntunglah Smile 2 memiliki Naomi Scott yang mempunyai kapasitas untuk mengemban beban memerankan karakter utama dengan gejolak batin teramat berat. Scott mampu menampilkan transformasi Skye, yang pelan-pelan runtuh dan terjerumus dalam jurang di mana kewarasan semakin menghilang.
Memiliki penceritaan apik tidak membuat Smile 2 melupakan hakikatnya sebagai horor. Mempertahankan pendekatan teknis penuh gaya di film pertama, Finn, dibantu Charlie Sarroff selaku sinematografer, kembali menerapkan berbagai tata kamera kreatif. Pendekatan tersebut bukan gaya-gayaan semata, sebab kreativitas sang sutradara berpengaruh besar dalam membangun ketidakterdugaan kala filmnya menebar teror.
Alhasil, jumpscare dalam Smile 2 punya daya kejut luar biasa. Tidak hanya karena pilihan shot-nya, juga ketepatan timing, kejelian Finn mengecoh penonton lewat mise-en-scène rumusannya, sampai keunikan bentuk terornya (that "car" jumpscare tho!). Deretan kebrutalan yang menghiasi kematian tokoh-tokohnya pun terasa berdampak dan begitu menyakitkan berkat pemanfaatan tata suara secara efektif.
Smile 2 menutup penceritaan setelah melewati sebuah twist yang cukup berisiko. Sebuah bentuk twist yang tidak jarang menunjukkan kemalasan sekaligus kecurangan penulis cerita. Tapi di sini, Finn memastikan bahwa kejutan tersebut memang mendukung penceritaan. Konklusinya jadi pengingat tegas tentang betapa mematikannya trauma apabila dipandang sebelah mata, dan bagaimana di era modern seperti sekarang, selalu ada cara untuk menularkan trauma menyakitkan tersebut.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar