REVIEW - TEBUSAN DOSA
Rasanya kata "dosa" sekarang sudah terdengar murah. Apa yang semestinya dihindari, menjadi sesuatu yang begitu jamak dialamatkan terhadap hal-hal remeh sekalipun. Melalui Tebusan Dosa, Yosep Anggi Noen seolah ingin mengembalikan kesakralan kata tersebut. Mengingatkan betapa tidak semestinya manusia dengan gampang menuduhkan dosa kepada sesamanya.
Selepas peristiwa yang belum diungkap, Wening (Happy Salma) memulai hidup baru bersama putrinya, Nirmala (Keiko Ananta), dan sang ibu, Uti Yah (Laksmi Notokusumo), di kota fiktif bernama Majakunan. Suami keduanya, Suleiman (Eduward Manalu), yang dahulu berjanji memperbaiki hidup Wening, hilang pasca serangkaian kekerasan yang ia lakukan.
Tebusan Dosa diawali dengan agak terbata-bata. Alur dalam naskah yang Anggi Noen tulis bersama Alim Sudio terkesan melompat-lompat akibat pergerakan yang terlampau cepat. Pengarahan Anggi Noen di sini seperti berusaha lebih menyesuaikan diri dengan selera pasar, dan ironisnya, pacing lambat penuh kesabaran sebagaimana karya-karya arthouse miliknya bakal mengeliminasi masalah penceritaan di atas.
Tapi seiring waktu penceritaan Tebusan Dosa semakin stabil, terutama setelah kecelakaan yang Wening sekeluarga alami. Uti Yah meninggal di tempat, sedangkan Nirmala secara misterius menghilang. Nirmala diduga telah terseret arus sungai. Ketika pihak kepolisian dan tim SAR dirasa kurang dapat diandalkan, Wening mulai meminta bantuan dari orang-orang di sekelilingnya. Ada Tirta (Putri Marino) si guru renang yang tertarik menjadikan Wening sebagai bintang tamu di siniarnya, juga Tetsuya (Shogen), pria asal Jepang yang mempekerjakan Uti Yah sebagai asisten rumah tangga.
Tebusan Dosa memang bagai sebuah usaha berkompromi dengan pasar, baik oleh Anggi Noen maupun Palari Films selaku rumah produksi. Termasuk perihal elemen horornya, yang bak ditambahkan paksa ke sebuah naskah misteri yang sejatinya telah utuh. Beberapa penampakan dan jumpscare pun akhirnya jadi selipan yang tidak perlu hadir.
Apakah berbagai penampakan itu memang benar terjadi, sebatas representasi rasa bersalah tokoh-tokohnya, atau malah keduanya? Naskahnya kurang mumpuni dalam memainkan tanda tanya tersebut. Belum lagi jika membahas lemahnya Anggi Noen kala mengemas teror. Triknya cenderung murahan, dan didominasi oleh jumpscare berisik berupa kemunculan hantu yang bahkan tidak karakternya sadari. Seolah si hantu hadir hanya untuk meneror penonton alih-alih si protagonis.
Lain cerita jika membicarakan unsur lainnya. Setiap horornya absen, Tebusan Dosa bertransformasi menjadi karya yang sama sekali berbeda. Kualitasnya melonjak seketika. Investigasi misteri yang tersaji rapi serta efektif memancing rasa penasaran, juga drama sarat makna mengenai proses karakternya, saling berkelindan dengan apik.
Seperti telah disinggung di awal tulisan, Anggi Noen membawa perspektif menarik perihal dosa manusia. Seiring rasa frustrasi akibat kesulitan menemukan putrinya, Wening menerima saran Tirta untuk mendatangi dukun bernama Mbah Gowa (Bambang Gundhul), yang kemudian menyuruh Wening untuk menebus dosanya terlebih dahulu.
Tapi benarkah Wening berdosa? Bila benar demikian, apakah dosa Wening sedemikian besar sampai membuatnya kehilangan Nirmala? Ataukah sesuatu yang dianggap "dosa" itu sesungguhnya adalah wujud ketidakadilan perspektif masyarakat, yang punya tendensi menyalahkan perempuan?
Happy Salma tampil kuat menghidupkan sesosok individu yang makin lama makin tersudut, terhimpit di antara keputusasaan, namun menolak mengibarkan bendera putih. Demikian pula Putri Marino, yang seperti biasa mampu memberi ragam warna serta bobot pada situasi dan kalimat "seremeh" apa pun.
Tebusan Dosa turut mengingatkan soal dualisme yang setia menghiasi semesta. Air misalnya, yang dapat menjadi sumber kehidupan, tapi juga berpotensi mematikan. Sama halnya dengan karakter Tirta (namanya juga berarti "air") beserta siniar miliknya, yang bisa merugikan atau menguntungkan tergantung pemanfaatannya. Perihal mistis pun tidak jauh beda. Apakah sekadar teror mengerikan sebagaimana diperlihatkan oleh kebanyakan film horor, atau bagian dari semesta yang memiliki perannya sendiri? Selalu ada dua wajah dalam semua hal di kehidupan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar