REVIEW - RAHASIA RASA
Pada tahun 1967, didasari gagasan Presiden Soekarno, terbitlah buku Mustikarasa yang merangkum lebih dari 1600 resep masakan dari seluruh penjuru Indonesia. Terinspirasi dari warisan sejarah tersebut, Rahasia Rasa garapan Hanung Bramantyo ibarat masakan yang memaksakan diri memadukan beraneka resep, sehingga tersajilah fusion cuisine yang tidak pernah berhasil menyatukan semua rasanya secara sempurna meski terdengar unik di ranah konsep.
Ada dua cerita besar yang hendak dicampur oleh naskah hasil tulisan Hanung bersama Haqi Achmad dan Adi Nugroho. Pertama terkait pergulatan personal Ressa (Jerome Kurnia), chef hidangan Italia ternama yang selalu mual jika mencium aroma bumbu masakan Indonesia. Kedua, ada proses Ressa mempelajari eksistensi Mustikarasa bersama sahabatnya sejak kecil, Tika (Nadya Arina).
Ketimbang mengawinkan kedua kisah di atas supaya saling melengkapi, Rahasia Rasa justru menyajikannya secara bergantian. Alhasil narasinya bergerak tak terkendali, membesar, meliar, hingga akhirnya keluar jalur seiring berjalannya waktu.
Padahal penceritaannya diawali dengan baik. Kecintaan Hanung terhadap kehidupan "masyarakat biasa" menemukan fungsinya di sini. Sewaktu kisahnya mengambil latar Jakarta, Hanung memberi penggambaran yang amat dingin. Para manusianya bersikap tak manusiawi sembari membalut diri dengan gelimang harta mereka, makanannya pun nampak kurang menggugah selera walau penyajiannya luar biasa cantik.
Sampai suatu ketika, pasca mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan kemampuan merasa, Ressa memutuskan pulang ke kampung halamannya, yakni sebuah desa kecil di sekitar Magelang. Di sana semuanya terasa lebih hangat, dari orang-orangnya, termasuk Mbah Wongso (Yatti Surachman) yang merawat Ressa semasa ia kecil, maupun makanannya yang terlihat lebih lezat berkat tangkapan kamera Saudi Utama selaku pengarah sinematografi.
Rahasia Rasa sejatinya adalah proses si tokoh tuama menemukan rumahnya lagi. Sesederhana itu. Ketika tekanan rutinitas zaman modern memaksa banyak individu mematikan rasa mereka, rumah selalu bisa jadi pengobat luka yang mengembalikan sisi kemanusiaan seseorang. Bagi sebagian penonton, kesembuhan trauma masa lalu Ressa yang membuatnya mual tiap mencium bumbu lokal mungkin akan dirasa terlampau instan, tapi pada kenyataannya, psikis manusia memang sesuatu yang tidak selalu bisa dipahami logika.
Dilatari oleh tata kamera yang jeli memanfaatkan format wide screen guna menghadirkan gambar-gambar cantik, jajaran pemainnya memamerkan penampilan terbaik mereka. Jerome Kurnia sebagai sosok yang kehilangan jati diri selepas "membuang" masa lalu serta kampung halamannya, Nadya Arina yang memamerkan ketangguhannya, Yatti Surachman selaku penyangga semua tiang emosi kisahnya, bahkan Aksara Dena sebagai Tarjo si preman kampung yang kembali membuktikan kapasitas sebagai aktor pendukung yang bisa diandalkan.
Slamet Rahardjo memerankan Broto, mantan jenderal yang kini menjabat sebagai staf khusus Presiden. Melihatnya melahap masakan Ressa dengan sedemikian rakus, tidak sulit membaca apa yang coba Rahasia Rasa sampaikan melalui karakternya. Menariknya, Broto sempat mengucapkan sebaris kalimat yang secara tepat merangkum kekurangan terbesar film ini: "Terlalu banyak drama!"
Semakin ke belakang, Rahasia Rasa semakin terjebak dalam kerumitan yang ia ciptakan sendiri. Bahkan menjelaskan latar belakang Ressa yang sejatinya amat sederhana pun naskahnya kerepotan. Ide unik untuk menyelipkan dramatisasi fiktif ke dalam catatan sejarah yang menuntun karakternya ke dalam investigasi misteri ala The Da Vinci Code pun gagal tampil maksimal akibat metode pembagian narasi yang kurang tepat sebagaimana telah disinggung di awal tulisan. Tapi apakah keputusannya membawa tema berbeda di tengah cengkeraman horor klenik di perfilman Indonesia layak diapresiasi? Tentu.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar